86 - Made of Stone

967 92 15
                                    

Rafael Lazuardi

"Ini aku. Aku bukan Daria."

Hening tercipta selama beberapa saat setelah aku membaca nama kontak si penelepon. Sosok di seberang sana pun belum berencana untuk bicara. Entah itu menungguku, atau ia sudah kesal karena aku salah memanggilnya. Aku memasuki mobil tanpa mematikan sambungan telepon.

Napasku berembus keras setelah mengentakkan pantat di bangku kemudi, kemudian menaruh ponselku di dashboard mobil, tak lupa kuaktifkan speaker hingga memperdengarkan suara embusan napas orang di seberang. Ketika kunyalakan mobil, akhirnya orang itu bicara lebih dulu.

"El, kamu oke?"

"Oke, Kak."

Kak Tiara yang meneleponku. Terakhir kali menghubungiku ia hanya menanyakan tentang hubungan kami dan kabar Zara. Aku sudah memberinya nomor Zara agar bisa langsung meneleponnya, tetapi ia selalu menolak dan berujung bertanya padaku. Katanya, Zara terlalu tertutup untuk didekati. Apalagi Kak Tiara terlalu supel, ia sering kali tidak sabar menghadapi orang yang tertutup.

"Lagi di mana? Sama Zara, nggak?"

Aku menghela napas. Jika bersama Zara, mana mungkin aku akan menerima telepon dari seseorang yang awalnya kukira Daria.

"Di jalan pulang dan nggak sama Zara."

"Tadi kamu nyebut Daria kayak ngegas gitu. Ada masalah?"

Sulit untuk tidak terbuka pada Kak Tiara. Meski jarang mengobrol, tetapi apa yang kukatakan padanya selalu hal-hal yang jujur. Ia punya sesuatu dalam dirinya yang membuat orang lain akan merasa nyaman terbuka dengannya. Namun, untuk masalah ini, apa tidak terlalu terlambat jika kuceritakan padanya? Aku tidak ingin apa yang terjadi sekarang membuatnya kaget dan mungkin memberi usul agar aku membatalkan rencana pernikahan dengan Zara. Tidak, tidak, aku tidak sanggup membayangkan itu terjadi.

"Cuma kesal biasa, Kak." Akhirnya aku membalas seperti itu. Jika dipikir-pikir lagi, mungkin jangan sekarang dulu aku bercerita, tetapi nanti setelah aku tiba di rumah.

"Sebenarnya, Rafael, aku udah denger dari Felix. Dia bilang mantanmu itu masih sering mengganggu. Benarkah?"

Aku lupa. Hubungan di antara kami berempat, tidak ada yang bisa mengalahkan kedekatan Felix dengan Kak Tiara. Aku masih ingat ketika Felix selalu dibela olehnya meski saat berkelahi denganku, dia yang salah karena sudah menggangguku. Itu adalah hubungan adik kakak yang pernah membuatku sangat tidak menginginkan kehadiran Felix.

"Apa yang dikatakan Felix, semuanya benar." Tentu saja, Si Bungsu itu tidak akan bisa berbohong pada Kak Tiara.

"Lalu gimana hubunganmu sama Zara?" Ada nada kekhawatiran yang tertangkap oleh pendengaranku. "Pernikahan kalian udah makin dekat, aku nggak mau hal-hal buruk terjadi sama kalian."

Aku pun selalu berdoa demikian, Kak.

"Sebulan lagi, baru aku bisa bicara sama dia, Kak. Aku benar-benar tersiksa selama sebulan terakhir ini."

Aku mendapati lampu lalu lintas menyala merah beberapa meter di depanku. Jadi, aku segera memperlambat laju mobil sebelum benar-benar berhenti di belakang sebuah mobil berwarna hitam.

"Zara baik banget, ya."

Aku mengernyit tak suka pada responsnya. Entah itu ujaran sarkastik atau Kak Tiara memang menganggapnya begitu. Sebenarnya aku bisa segera menyelesaikan masalah ini tanpa harus menunggu dua bulan lamanya. Soal Daria, aku tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi. Cukup ia yang perlu lebih sadar diri bahwa sudah tidak ada apa-apa lagi di antara kami.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang