56 - Unwanted

910 92 6
                                    

Rafael Lazuardi

"Rafael!"

Aku menoleh ke sumber suara di sisi kiri kami dan menemukan seorang wanita melambai kuat ke arah kami. Alih-alih menghampirinya, aku lebih memilih menunggu di sini. Diminta menunggu hampir setengah jam membuatku kehilangan hasrat untuk beramah-tamah dengannya.

Wanita itu menghampiri kami, sementara di sisi kanannya ada mobil yang mengiringi. Kadang aku tidak ragu untuk menyebutnya agak bodoh. Buktinya, ia memilih berlari untuk menghampiri kami daripada ikut suaminya yang tengah mengemudi mobil di sebelahnya itu. Aku bersyukur karena tak banyak yang tahu kalau kami bersaudara.

"Kita nggak ke sana, El?"

Aku menatap Zara dan mengulum senyum. "Kita tunggu di sini aja, toh mereka bawa mobil."

"Tapi dia jalan kaki ke sini, jauh lagi, El. Kita sambil jalan yuk."

Zara menggamit lenganku, mengajakku untuk berjalan dengannya, tetapi aku menahannya.

"Bawaan kita banyak, Ra. Kamu di sini aja, nanti capek."

Zara enggan menurutiku, tetapi aku menatapnya cukup lama sekadar memberi kode agar ia menurut saja padaku. Dan Zara selalu membuatku terkesan karena ia tidak merengek manja seperti mantan-mantanku dulu.

"Kurang ajar banget kamu nggak nyusul aku," protes Naya setelah tiba di hadapan kami.

Wajah Naya memerah dan napasnya terengah. Tangannya yang terkepal membuatku mengira ia akan memukulku. Namun, yang terjadi justru ia menarik kerah mantelku dan menarikku dalam pelukannya. Badannya cukup pendek-beberapa senti di bawah bahuku-dan aku harus membungkuk agar ia bisa meletakkan dagunya di bahuku.

"Lama banget kita nggak ketemu. Kamu nggak kangen apa?"

Aku mengerutkan wajah kepada Zara ketika ia terkikik melihatku. Naya memukul punggungku berkali-kali dan itu membuatku malu. Usiaku sudah cukup banyak, tetapi Naya tidak pernah berhenti memperlakukanku seperti anak kecil.

Naya melepas pelukannya dan menangkup wajahku. Untung aku sudah bercukur kemarin, jika tidak, ia pasti akan protes karena menurutnya aku tampak jelek dengan rambut di wajah. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan opininya, tetapi mendengar protesnya adalah sesuatu yang sangat tidak kusukai.

"Bisa lepasin aku nggak, Nay?" Mataku bergulir malu-malu ke arah Zara yang masih cekikikan melihatku diperlakukan seperti ini.

"Bentar, dong. Mau melepas kangen," tolaknya sambil mencubit pipiku. Perbuatannya ini benar-benar merusak citraku sebagai pria di hadapan Zara.

Di detik berikutnya, ia melirik ke sebelahku dan menaikkan kedua alisnya. Aku menebak ia melihat Zara.

"Ini penggantinya Daria, El?" Naya berhenti mencubitku dan beralih menghampiri Zara. Andai aku jadi Zara, pasti sudah tersinggung karena disebut sebagai pengganti. "Salam kenal ya, aku Naya. Namamu?" Ia mengulurkan tangannya pada Zara.

"Zara, Kak," balas Zara seraya menjabat tangan Naya. Senyumnya tak ketinggalan ia tujukan pada Naya, dan itu justru menulariku.

"Kalian masih lama? Ini sudah sore, kita harus cepat pulang atau kita akan terlambat makan malam." Bang Andre, kakak iparku, menegur kami. Ketika aku menoleh untuk melihatnya, ia berada di samping bagasi belakang mobil yang sudah terbuka.

Sebelum aku menghampiri Bang Andre, aku lebih dulu melirik dua wanita yang saat ini larut dalam obrolan. Tanpa menunggu mereka, aku mendorong troli agar lebih dekat dengan mobil Bang Andre.

"Apa kabar, Bang?" tanyaku sembari menurunkan koper dan segera diambil alih olehnya untuk kemudian dimasukkan ke bagasi.

"Just so so," sahutnya lalu tertawa. Aku tidak heran dengan kebiasaannya yang tiba-tiba berbicara dengan bahasa inggris. Karena pria yang sudah meminang Naya lima tahun lalu itu adalah seorang guru bahasa inggris di salah satu SMA di kotanya.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang