Rafael Lazuardi
"Nomor yang Anda tuju, tidak menjawab, cobalah-"
Aku menghentikan lari hanya untuk menekan tombol di bluetooth earphone-ku, sekadar untuk mengakhiri sambungan telepon yang selalu disambut oleh suara operator. Napasku terengah, selain karena efek berlari pagi ini, aku juga mulai merasa panik. Sebab sosok yang kucoba untuk hubungi sejak satu jam yang lalu tak kunjung mengangkat teleponku.
Sebenarnya, aku sudah diabaikan sejak tadi malam. Aku mengiriminya pesan beberapa kali, tetapi tak kunjung dibalas. Aku masih ingat betul kalau dia ingin istirahat semalam. Jadi kupikir ia sudah tidur, dan aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, pagi ini, meski aku yakin ia sudah bangun karena matahari sudah menampakkan dirinya dengan sempurna, panggilanku masih diabaikannya.
Aku menghampiri sebuah bangku panjang yang disediakan di taman komplek. Duduk di sana dan menyeka peluhku yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil dari kantong celanaku. Sudah cukup lama aku tidak melakukan ini, jogging keliling komplek. Akhir-akhir ini tubuhku terasa lebih cepat lelah, dan aku meyakini bahwa itu diakibatkan oleh kurangnya berolahraga.
Ponsel yang kusimpan di kantong celanaku kemudian bergetar panjang. Aku lantas menekan tombol di earphone-ku cepat-cepat, seperti seseorang yang bersemangat ingin menerima hadiah ulang tahun dari orangtuanya. Sebab kupikir, ia menghubungiku lebih dulu karena tidak kunjung menjawab teleponku.
"Halo, Ra, kenap-" Ucapanku terpotong dan keningku berkerut bingung. Sebab yang kudengar di seberang sana adalah suara tangis seorang bocah dan disusul dengan dua orang dewasa berbeda gender sedang mengobrol.
"Rafael! Halo!"
Aku memejamkan mata ketika mendengar teriakan yang melengking dari seberang sana. Sudah sangat lama sejak kali terakhir telingaku dibuat berdengung seperti ini. Tidak bisa dipungkiri kalau aku terkejut bukan main. Bahkan hampir menjatuhkan handuk di tanganku. Orang itu benar-benar tidak berubah.
"Aku nggak budek, Nay," sahutku kesal.
"Sopan santunmu mana? Selain lupa pulang, kamu lupa sama kakakmu juga?"
"Aku selalu memanggilmu begitu kalau kamu lupa."
"Tunggu sampai aku menghajarmu kalau kita bertemu, El," ancamnya, dan aku hanya terkekeh.
Naya Afika Lazuardi, kakak nomor dua yang selalu marah jika aku memanggilnya langsung dengan nama. Dan aku juga sadar sudah tidak sopan padanya. Namun, perbedaan usia yang hanya dua tahun, membuatku enggan memanggilnya dengan embel-embel 'Kak'. Di samping emosian, sebenarnya ia juga supel penuh perhatian. Hingga membuat siapa pun akan merasa nyaman bersamanya.
"Ada perlu apa menghubungiku pagi-pagi? Nggak biasa."
"Sebenarnya aku agak skeptis mau nelpon kamu. Siapa tau jam segini masih ngorok."
Aku memutar kedua bola mataku jengah. Mood-ku sedang buruk dan ini bukan waktu yang tepat untuk meladeni ejekannya.
"Ada perlu apa?"
"Sombongnya kepala cabang yang satu ini. Memangnya aku menelepon karena perlu bantuan?"
Tuh, kan, salah lagi.
"Ya terus ada apa?"
"Bulan depan, kan, anniversary Mama sama Papa, mereka mau buat acara kecil-kecilan sekaligus kumpul keluarga gitu. Kamu bisa datang, 'kan?"
Jangankan datang, mendengar acaranya saja sudah membuatku ingin segera menutup teleponku.
"Kenapa kamu yang ngundang aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
ChickLit[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...