Zara Naulia
Daria tidak hanya dekat dengan El, tetapi sangat dekat. Sejak pertemuan tidak sengaja di sebuah rumah makan khas Korea minggu lalu, ia beberapa kali ikut makan siang bersama kami. Di satu sisi, aku tidak mempermasalahkan kehadirannya, tetapi aku juga merasa risi karena El mengundangnya untuk ikut bersama kami.
Sebenarnya aku tidak memprotes itu pada El. Sebab, hanya Daria yang mengatakan bahwa El mengajaknya. Aku ingin menanyakannya pada pria itu langsung, tetapi aku enggan dikira menolak kehadiran teman baiknya. Terlebih lagi, interaksi mereka memang seakrab itu. Aku sampai merasa berada di dunia yang berbeda.
Siang ini pun seharusnya aku pergi makan siang bersama mereka. Sayangnya, kepalaku terlalu pusing karena akhir-akhir ini tidak bernafsu untuk makan. Tahu bahwa Daria akan makan siang bersama kamu pun sudah membuatku tidak bernafsu untuk makan. Apalagi pekerjaanku sedang banyak dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Jadi, ketika Daria menghampiri mejaku tadi, aku minta ia untuk meninggalkanku.
Harusnya aku lebih memperhatikan kondisiku, karena semakin aku lapar, pusingku semakin menjadi-jadi. Dan ini bukan hal yang baik mengingat aku memiliki penyakit mag yang bisa kambuh kapan saja. Apa aku berlebihan pada diriku sendiri? Mungkin iya. Ditambah, kondisi keluarga ibu akhir-akhir ini juga tidak berhenti kupikirkan.
Akhirnya aku menyerah dan menjatuhkan kepalaku ke atas meja, bertelungkup. Posisi ini terasa lebih baik, sebab kepalaku rasanya sudah semakin berat.
"Ra?"
Abel memanggilku dan aku hanya membalasnya dengan gumaman. Kemudian, tangannya mendarat di bahuku.
"Kamu sakit? Badanmu hangat."
Keningku berkerut karena tidak percaya dengan ucapan Abel. Aku tidak merasakan perubahan apa pun pada suhu tubuhku. Alih-alih merasa gerah karena suhu tubuh yang lebih tinggi, aku justru kedinginan saat ini. Seperti ada seseorang yang sengaja menurunkan suhu AC.
"Ra, kamu masih sadar, 'kan?" Abel mengguncangkan bahuku pelan-pelan.
"I'm sober, don't worry," sahutku seraya menyingkirkan tangannya dari bahuku. Aku tidak bisa menahan geli lebih lama lagi karena jari-jarinya terasa seperti menggelitikku.
"Tapi kamu hangat, Ra."
Untuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja, aku lantas bangkit dan duduk dengan tegap. "Lihat, aku nggak papa, 'kan?"
"Kamu tu nggak bakat bohong, Ra. Mukamu pucat tuh. Udah makan belum? Kamu tumben istirahat nggak ke mana-mana," cerocosnya. Keningnya berkerut dan ujung dalam alisnya terjun bebas hampir menyentuh pangkal hidung. Aku menyukainya sebagai teman yang baik, tetapi aku tidak suka ketika ia mengkhawatirkanku.
"Aku cuma nggak pakai lipstik. Tadi udah nyemil snack oat, jadi masih kenyang."
"Serius?" Abel masih menyerangku dengan rasa khawatirnya. "Kalau perlu apa-apa, bilang aja."
"Iya, iya. Udah sana, aku mau ngasih laporan ke Pak Jared." Aku mengayunkan tanganku tanpa tenaga agar Abel kembali ke kursinya dan aku bisa lewat.
Sayangnya, ketika aku hanya selangkah lagi sampai di pintu, Daria muncul di hadapanku. Tepatnya, aku akan keluar di saat yang bersamaan Daria ingin masuk ke ruangan. Kami saling tatap sebentar, and I feel a pang in my heart. Kepalaku semakin berdenyut dan yang terakhir kurasakan adalah tubuhku melayang. Disusul dengan menggelapnya seisi ruangan.
"Zara!"
***
Aku mungkin masih memejamkan mata saat ini, sejenak melupakan kejadian-kejadian yang mengganggu kepalaku. Rasanya menyenangkan terbebas dari beban pikiran itu selama beberapa saat. Sayangnya, itu tidak bisa bertahan lebih lama karena suara nyaring seseorang yang benar-benar sangat menggangguku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
ChickLit[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...