61 - Proposal (2)

825 100 21
                                    

Rafael Lazuardi

Biasanya, acara anniversary pernikahan orangtuaku dirayakan dengan acara makan besar sekeluarga. Namun, kali ini kedua kakakku berencana untuk membuat perayaan kecil di hari jadi yang ketiga puluh lima ini. Bahkan, mereka juga membuat ketentuan dress code yang harus dikenakan. Pria mengenakan tuxedo hitam, dan wanita memakai busana formal berwarna ungu; warna kesukaan mama. Dan saat ini aku bersama Felix, hanya bersandar di ambang pintu dan menonton mereka mempersiapkan semuanya.

"Bang," panggil Felix. Dan seketika atmosfer di sekitar kami mendadak canggung. Keningku berkerut saat menemukan wajahnya begitu serius, seperti ingin menyidangku saja.

"Gimana pekerjaan Abang?" tanyanya.

"Sejauh ini lancar, aku punya seseorang yang terpercaya untuk membantuku." Dan wajah kesal Yohanes membayang di kepalaku saat ini. "Skripsimu gimana?"

"Lancar. Website Abang yang dulu kurombak habis-habisan. Logaritmanya sangat kuno, alur bisnisnya juga ribet. Mana ada pengajuan data yang harus menunggu verifikasi dulu dan nggak bisa ditarik lagi. Orang-orang bakal protes." Felix mengakhiri ucapannya dengkusan, kentara sekali ia meremehkanku.

Felix kuliah di salah satu universitas swasta terbaik yang ada di kota dan mengambil jurusan Sistem Informasi, sama dengan jurusanku dulu. Ia tidak sebodoh itu sampai tidak diterima di PTN. Bahkan terlalu pintar sampai menolak undangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Felix, dengan kemurahan hatinya, ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa universitas swasta tidak melulu menampung orang-orang kaya yang tidak lolos PTN. Aku sampai curiga ia dibayar untuk promosi universitas.

Aku berdeham lalu membalas, "Tapi website kuno itu justru salah satu dari sepuluh terbaik."

"Perlu kuakui kalau interface-nya jadi nilai tambah, Bang. User-friendly, bahkan orang yang baru sekali mengakses aja bisa dengan mudah menggunakan fiturnya."

"Segeralah lulus," ujarku seraya menepuk pundak kanannya.

"Dan segeralah menikah, Bang."

Senyum yang tadi kutunjukkan padanya kini kusembunyikan dalam kuluman bibir.

"Jangan sampai keduluan aku," ujarnya lagi.

"Udah ada calon?" tanyaku, tidak percaya. Felix kebalikan aku di masa lalu. Ia tidak akan pernah mendekati perempuan kecuali kalau ia sudah serius.

"Ya ... kalau hati udah merasa yakin, kenapa nggak langsung dilamar? Nunggu-nunggu, ntar ujungnya bosan, rencana jadi wacana. Kayak Abang sama Daria, 'kan? Pacarannya sia-sia." Felix memasukkan kedua tangan ke saku celananya dengan dada membusung sedikit, berlagak seperti ia sudah berpengalaman soal asrama daripada aku.

"Aku bisa pastikan itu nggak akan terjadi lagi."

"Seharusnya kayak gitu, Bang." Felix mengalihkan pandangannya ke arahku. "Aku nggak tahu gimana berakhirnya hubungan Abang sama Daria. Tapi aku merasa itu bukan sesuatu yang baik."

Felix dengan instingnya yang kuat. Aku hampir melupakan kemampuannya yang satu itu. "Kenapa?" Aku menantangnya sedikit.

"Abang berusaha menghindarinya. Dan Kak Zara ... aku bisa melihat dia nggak nyaman di sekitar Daria. Harusnya Abang bisa lebih tegas, untuk apa membiarkan mantan pacar ikut di acara keluarga kita?"

Felix benar. Situasi ini terjadi karena aku tidak mengatakan yang sesungguhnya tentang bagaimana hubungan kami berakhir, dan membiarkan Daria mengarang ceritanya untuk menghibur mama. Ada kekhawatiran yang Zara rasakan, aku menyadari itu. Sayangnya, aku juga tidak benar-benar tega mengatakan yang sebenarnya dan mempermalukan Daria di depan kami.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang