84 - Ghost of Mind

978 93 9
                                    

*Bab ini didominasi dengan narasi

Zara Naulia

Ponselku berdering ketika aku sibuk membagi kinerja karyawan divisi Helpdesk agar dihasilkan persentase kesulitan penanganan permasalahan pada jaringan milik pelanggan. Ini bukan hal yang mudah dan memerlukan konsentrasi khusus agar aku tidak salah menghitungnya. Karena jika aku salah menempatkan karyawan, mereka akan merasa kesulitan mengerjakannya.

Dan dering ponsel tadi, berhasil membuat konsentrasiku buyar dan aku menggeram kecil karenanya. Aku sendiri sadar akhir-akhir ini jadi sangat sensitif terhadap hal-hal kecil. Namun, sebenarnya salahku juga yang tidak mengatur ponselku ke mode diam agar tidak mengganggu pekerjaan.

Vendor meneleponku lagi. Aku sudah tahu apa yang akan ia sampaikan padaku, jadi aku enggan merespons. Pasti tentang El yang belum menemui mereka. Sementara aku sendiri tidak heran kenapa El masih belum menghampiri mereka. Sudah lima hari kemarin ia datang ke rumahku, bahkan tiba lebih dulu daripada aku. Aku tidak tahu apa motifnya, mungkin ia ingin menyampaikan sesuatu padaku, tetapi aku masih enggan bicara banyak dengannya. Tidak sebelum ia benar-benar mengakhiri urusannya dengan Daria.

Memintanya menjauhi Daria mungkin terkesan sangat keterlaluan, tetapi El sudah bersikap terlalu baik padanya. Aku tidak ingin jadi seorang pencemburu, sayangnya aku memang sudah merasa demikian. Semua perhatian yang diberikan El pada Daria, rasanya tidak bisa kumaklumi meski hubungan mereka pernah sangat dekat.

Aku melepas mouse sebentar dan menangkup wajahku dengan kedua tangan, bertumpu di atas meja. Sulit mengembalikan konsentrasiku akhir-akhir ini, terlebih lagi telepon dari vendor mengingatkanku pada El. Andai waktu bisa dikembalikan, aku akan menolak ajakannya dulu, dan menjadi saling tidak mengenal dekat sebagaimana mestinya. Dan aku juga berharap untuk tahu bahwa El memiliki mantan pacar yang sangat dicintainya jauh sebelum aku juga merasakan hal serupa padanya. Sekarang aku meragukan semua pengakuannya padaku.

Belum terlambat untuk melepasnya. Memang betul. Apalagi kami belum menikah. Namun, aku tidak bisa menghancurkan ekspektasi kedua keluarga kami, belum lagi mamanya El yang akhir-akhir ini sering berkirim pesan denganku. Hanya Ibu yang tahu tentang masalah kami. Itu pun setelah Ibu memaksaku selama berhari-hari agar mau bercerita. Entah aku yang tidak andal menyembunyikan ketika ada masalah, atau Ibu yang terlalu peka.

"Lho, Ra, udah selesai?"

Aku bergeming ketika Abel menyentuh bahuku.

"Aku perlu istirahat sebentar," sahutku, berusaha agar tetap terdengar tenang. Dan berhasil, Abel tidak bertanya yang aneh-aneh kepadaku.

"Padahal sebentar lagi istirahat," ujarnya lagi. Aku spontan melirik jam di sudut kanan atas komputerku. Benar, sudah jam 11.45 sekarang. Ada lima belas menit untuk menyelesaikan kerjaanku yang tersisa sedikit lagi sebelum beralih ke kerjaan yang lainnya.

"Bukan berarti aku bisa keluar lebih dulu, 'kan?"

"Ya ... tapi nggak ada yang bisa melarang kalau kamu mau keluar duluan."

Aku memaksakan senyum dan menegakkan badanku kembali. Kurasa aku sudah siap untuk kembali melanjutkan pekerjaanku.

"Aku bukan contoh yang baik kalau begitu."

Dari sudut mata, aku bisa menangkap Abel sedang merotasikan matanya. "Kurang baik apa lagi kamu, Ra. Pencapaianmu luar biasa di usia muda, ya ... meski mentok di submanajer aja. Tapi kalau nggak ada pemikiran cerdas darimu, mana mungkin divisi ini bertahan. Malah kendala-kendala bisa menumpuk, lho. Nggak papa kalau mau istirahat duluan sesekali, Ra."

"Bel," panggilku dan memberinya tatapan paling serius yang kupunya. Dengan isyarat itu, ia paham dan tersenyum sangat lebar, hingga matanya menghilang di balik kelopak yang ikut tersenyum.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang