Rafael Lazuardi
"Zara enggak ada cowoknya, El."
Kami sama-sama menoleh ke sumber suara. Vita berjalan menghampiri kami sambil mengangkat kain rok busananya yang lebar. Di belakangnya ada Dian yang kerepotan menggendong putranya sambil membawa es krim.
Anak kecil. Aku tidak terlalu menyukai mereka. Maka, ketika Dian dan putranya ingin duduk, aku langsung berdiri dan membiarkan dia duduk di kursiku. Sementara aku berpindah duduk di seberang Zara. Sebisa mungkin agar tidak berdekatan dengan anak kecil. Dian tersenyum dan menggumamkan terima kasih padaku. Rupanya dia mengira aku sedang membantunya, padahal tidak.
"Suka nolak soalnya," ujar Vita lagi setelah menarik kursi dan mendudukinya.
Di depanku, Zara melotot kaget, seperti melayangkan protes bahwa itu tidak benar. Namun, di situasi seperti ini, aku justru ingin menggodanya.
"Berarti Zara sering ditembak, dong?" Aku tersenyum jenaka.
"Nggak pernah. Jangan percaya Vita. Dia suka melebih-lebihkan." Zara mengelak dengan cepat mendahului Vita yang sudah membuka mulut.
"Jadi, aku harus percaya siapa?"
"Aku, dong. Mau dengar ceritanya selama ini?" tawar Vita.
"Vita!" pekik Zara memperingatkan. Aku melirik wanita itu hanya untuk melihat wajahnya yang memerah. Bukan karena marah, tapi malu. Sebab matanya tidak melotot sebagaimana raut wajah orang-orang yang marah pada umumnya.
"Zara sering dideketin cowok, tapi dia menghindar terus. Sampek si cowok frustrasi terus curhat ke aku. Kan, ngerepotin."
"Jangan ngarang, Vit!"
Aku tertawa setelah mendengar cerita singkat Vita. Jika itu benar terjadi pada Zara, kurasa aku tidak akan heran. Aku sudah bisa merasakannya meski hanya satu jam duduk bersamanya di sini.
Bukan ingin jadi sok tahu, tetapi Zara benar-benar seorang wanita yang sulit diajak mengobrol. Kuakui, yang tadi itu adalah kali pertama aku harus berpikir keras hanya untuk mengobrol. Awalnya kupikir itu karena Zara merasa kami tidak cukup dekat. Aku ingat jarang sekali mengobrol dengannya waktu kuliah. Namun, tidak kusangka ia memang bersikap seperti itu pada setiap laki-laki.
Satu hal yang pasti, ada gejolak dalam diriku ingin mengenal Zara lebih jauh. Bukan untuk mendekatinya secara khusus. Hanya ... penasaran, kurasa.
"Ekhem."
Aku memutar kepala untuk melihat Dian yang sedang menatapku dengan tatapan geli. Rupanya ia satu-satunya yang menyadari bahwa aku terlalu lama menatap Zara. Aku sampai tidak sadar jika putranya sudah berada di asuhan Vita. Malu juga ketahuan orang lain.
"Oh iya, pacarmu yang kemarin mana, El? Kok, nggak diajak?" Dian bertanya. Sayangnya, pertanyaan itu justru membuka luka yang sedang kucoba untuk tutupi rapat-rapat.
"Kamu tau, kan, yang namanya pacaran itu jarang awet." Aku berujar remeh.
Bagiku, pacaran hanyalah fase di mana seorang pria dan wanita memutuskan untuk saling mengenal lebih dalam. Mungkin akan ada banyak orang yang membantah itu, karena mereka yang benar-benar tulus dan yakin, akan segera mengikat kekasihnya dalam sebuah ikatan yang dinamakan pertunangan, atau bisa saja langsung menikahinya. Namun, aku meyakini bahwa pacaran hanyalah masa percobaan, sebelum akhirnya diputuskan kapan harus kami akhiri. Persis seperti yang sudah kualami selama ini.
"Kapan serius nyari calon istri?" Dian bertanya kalem. Meski begitu, kedua bola matanya yang berputar menunjukkan bahwa ia sudah bosan menanyakan itu kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
Чиклит[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...