24 - Masa Depan dan Luka

1.2K 106 3
                                    

Rafael Lazuardi

Pagi-pagi sekali aku sudah berada di rumah Zara. Sang pemilik rumah saja masih belum bangun dari mimpi indahnya. Akhirnya, ibunya Zara yang menyambutku dengan senyuman sehangat sinar matahari pagi ini. Bertambah semangatlah aku.

Sebenarnya aku tidak tahu ke mana tujuan mereka dan jam berapa mereka akan pergi hari ini. Aku sudah mengirimkan chat pada Zara sejak dua jam yang lalu, tapi tak satu pun mendapat respon. Karena tidak sabar, aku memilih untuk langsung ke rumahnya saja.

Saat ini aku sedang berada di ruang makan bersama Daffa, menemani anak itu menyantap sarapannya sambil membicarakan beberapa hal. Sesekali aku akan mencuri-curi pandang pada pintu kamar Zara yang berada di sisi kanan posisiku duduk saat ini. Berharap bisa melihat wanita itu keluar dari sana.

Namun, sudah dua puluh menit begitu, pintu itu tidak sedikit pun terbuka.

Aku kembali fokus pada obrolanku dengan Daffa. "Sekarang masih sering ikut lomba-lomba story telling?" tanyaku sambil menjumput camilan yang ibunya sediakan di atas meja untukku.

Kami bicara tentang kegiatan Daffa di luar sekolah sekarang. Setelah beberapa topik tentang game berlalu. Aku sengaja mengalihkan topik ke sesuatu yang lebih positif. Setidaknya agar Zara tidak menganggapku orang yang membawa pengaruh negatif bagi adiknya.

Daffa mengangguk untuk menjawabku. "Aku perlu punya prestasi biar bisa dapat reward dari Kak Zara, Bang."

"Reward?"

"Iya, Bang. Kak Zara nggak mau beliin yang kami minta kalau nggak ada prestasi." Tersirat nada kesal di suaranya, yang kemudian ia lampiaskan dengan menancapkan garpunya dengan kuat pada roti isi sayur di piring. Aku sampai tersentak mendengar bunyinya.

Kemudian aku terkikik geli melihat reaksi Daffa. Itu pasti berat meski aku tidak pernah merasakannya. Aku ingat saat masih seumuran Daffa, aku hanya perlu menodongkan tangan pada orangtuaku, lalu mengucapkan apa yang kuinginkan tanpa perlu memberikan feedback apa pun pada mereka. Mungkin karena itu aku tidak pernah benar-benar paham bagaimana rasanya berusaha. Aku selalu mendapatkan semuanya semudah membalikkan telapak tangan, kecuali perhatian.

Orangtuaku disibukkan dengan pekerjaan mereka. Pergi dinas ke sana kemari dan hanya pulang sebulan sekali. Dulu sekali aku tidak mempermasalahkannya karena aku diurus oleh seorang pengasuh. Namun sekarang aku sadar, bahwa semua kekayaan yang mereka miliki demi mewujudkan keinginanku itu tidak lebih berharga dari perhatian dan kasih sayang mereka.

Kesepian mulai kurasakan sejak memutuskan untuk hidup berpisah dengan kedua orangtuaku. Awalnya aku mengira akan baik-baik saja hidup tanpa mereka. Toh tinggal di rumah dan tinggal terpisah tak ada bedanya. Sama-sama tidak bertemu mereka.

Kemudian, saat pertama kali berkunjung ke rumah Yuda, aku melihat betapa sang ibu sangat menyayanginya. Bahkan saat pria itu masuk rumah sakit pun, sang ibu senantiasa menunggunya. Bahkan perasaan itu sampai padaku. Hingga membuatku tercubit dan merasa iri. Aku mendadak jadi seorang yang haus akan perhatian orang-orang di saat orangtuaku saja jarang sekali menungguku untuk berfoto keluarga bersama.

Cukup untuk bagian mengulang masa kecilku, aku salut dengan cara Zara mengurus adik-adiknya. Meski tinggal berjauhan, perhatian yang Zara berikan pada mereka tidak surut. Mungkin itu sebabnya Zara bela-belaan menunggu Daffa bermain dengannya semalam. Memastikan adiknya tidur lebih dulu sebelum ia menyusul kemudian.

Daffa seharusnya bisa lebih bersyukur memiliki ibu yang baik dan kakak yang perhatian. Itu hanya pandanganku sebagai orang yang tidak pernah mengalaminya. Aku tidak tahu seberapa besar perjuangannya. Dan aku tidak bisa begitu saja menyalahkan sikapnya barusan. Di usianya sekarang, ia mungkin belum benar-benar bisa mengerti apa yang sedang Zara ajarkan padanya.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang