Zara Naulia
Ketika orang-orang berkumpul dalam satu meja ketika makan, biasanya akan selalu ada obrolan ringan. Entah itu membicarakan tentang hari kemarin, atau berbagai related topic lainnya. Namun, itu tidak terjadi di sini. Sejak makan malam kemarin, orang-orang akan fokus dengan santapan mereka masing-masing dan berbicara setelah isi piring habis. Andai ada yang bicara pun, hanya sebatas meminta tolong untuk diambilkan sesuatu yang posisinya agak jauh dari jangkauan di atas meja.
Oh, dan pengecualian untuk satu balita yang tidak pernah diam ketika makan. Sampai-sampai ibunya; Kak Tiara, kerepotan karena harus menenangkannya sambil menghabiskan sarapan. Si kecil tidak berhenti mengoceh. Entah apa yang balita itu inginkan, apa sudah kekenyangan, atau berontak ingin turun dari kursi makan khususnya.
Aku yang sudah menyelesaikan makan lantas meminta izin untuk membawanya bersamaku, sambil berharap bisa menenangkannya. Daripada mereka harus terganggu terus dengan suara rengekannya, jadi aku berinisiatif untuk memberinya makan di tempat lain.
Halaman belakang rumah orangtua El adalah tujuanku. Aku duduk di dekat kolam ikam sambil memangku Devan-nama putra kedua Kak Tiara-yang saat ini tengah memainkan tali kerah bajuku. Makanannya sudah habis, susunya juga. Aku tak bisa berhenti tersenyum karena melihatnya setenang ini.
"Huh? Kan, kan." Devan tiba-tiba berceletuk ketika terdengar suara riak air dari kolam. Ketika kuperhatikan dengan saksama, ternyata ada beberapa ikan yang sedang melompat-lompat di tengah kolam.
"Ikan?" tanyaku sekadar untuk memastikan bahwa benar itu yang ia katakan. Usianya baru setahun, itulah kenapa ia belum bisa bicara dengan jelas.
"Kan," ujarnya lagi sambil menunjuk kolam.
Aku menunduk sekadar untuk melihat wajah lucunya. Mata Devan menyipit ketika kedua sudut bibir kecilnya naik. Di tengah kolam, ikan masih berlompatan ke udara, hingga membuat riaknya semakin banyak. Setelahnya aku berdiri, menggendongnya dan berjalan lebih dekat ke kolam, hanya agar kami dapat melihat ikan-ikan itu lebih jelas.
"Kamu sangat baik dalam mengurus anak-anak."
Aku berbalik dan menemukan Kak Tiara tersenyum hangat padaku. Saat itu matanya tertuju pada piring kosong di bangku yang kududuki tadi.
"Kupikir Devan hanya perlu udara segar, Kak," sahutku.
Kak Tiara tersenyum, dan aku menyadari ia sangat mirip dengan El. "Devan memang suka diajak main ke taman. Mungkin suatu saat dia bakal jadi anak pecinta alam?"
Aku hanya tertawa kecil sebagai respons, karena selanjutnya aku memeluk Devan erat. Sungguh, Devan sangat menggemaskan dengan pipi chubby-nya, sampai-sampai aku tidak rela mengembalikannya pada Kak Tiara.
Kamu bisa bermain lagi sama Devan di mobil, Ra, sekarang kita harus segera pergi. El nggak lupa ngasih tahu kamu kalau kita belanja bareng, 'kan?"
"Tadi dia ngasih tau, kok, Kak."
"Yuk, kita berangkat."
Alih-alih mengambil alih Devan dariku, Kak Tiara justru mengambil piring dan dot kotor bekas makan Devan dan masuk ke rumah lebih dulu.
***
Kami tiba di sebuah mal besar di kota sebelah setelah menempuh perjalanan selama setengah jam. El bilang kalau mal di kota tinggal orangtuanya tidak terlalu besar dan tidak terdapat banyak pilihan untuk dijadikan hadiah pernikahan. Saat ini aku dan El berkeliling di lantai yang khusus menjual furnitur-karena setibanya di mal, kami langsung berpisah dengan Kak Tiara, yang mana membuatku agak tidak rela karena harus melepas Devan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
ChickLit[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...