79 - Just-Don't lie

875 93 22
                                    

Zara Naulia

"Secara, kita semua tahu, menikah itu bukan perkara pergantian status. Bayangkan aja setelah menikah nanti bakal tinggal bersama, terus ngeliat muka yang itu-itu aja, apa nggak bosan? Sebelum nikah mungkin kita nggak akan mikirin itu."

"Ah, aku, kan, sayang banget sama dia, nggak ada tuh bosen-bosenan, yang ada bahagia terus. Alah ... bullshit itu. Kesetiaan pasangan benar-benar diuji pada masa ini."

"Itu sebabnya, sangat diperlukan kesiapan di antara kedua belah pihak. Bahas tuntas rencana kalian di masa depan. Hidup bersama bukan perkara mudah, butuh kepercayaan, keterbukaan, dan kenyamanan. Itu merupakan komponen penting yang-"

"Kok, channel-nya diganti?"

Aku melayangkan tatapan protes pada Daffa yang duduk di sofa lain di sebelah yang kududuki. Di tangannya ada remote TV dan ia sama sekali tidak menghiraukanku. Padahal aku sedang menikmati tayangan tentang pernikahan di TV. Di malam yang cukup membosankan ini aku merasa seperti sedang diajari oleh acara tersebut.

"Daffa?" panggilku lagi dengan suara yang lebih nyaring. "Itu nggak sopan, lho."

"Maaf, Kak, soalnya kartun kesukaan Daffa udah tayang."

"Udah gede, kok, masih nonton kartun?"

"Ya ... daripada nonton sinetron, Kak? Nggak ada yang bener, 'kan?"

Aku tersenyum pada jawaban Daffa. Ah, adikku sudah sebesar ini, dan aku selalu dibuat terkejut pada perkembangannya. Setiap melihatnya selalu memberiku sensasi yang luar biasa, seperti rasa bangga, puas, dan hal-hal menakjubkan lainnya yang tidak bisa terjabarkan. Itu mungkin saja karena pengaruh kami jarang bertemu.

"Tadi ngurus berkas pindahnya udah beres?" Ini bukan sekadar basa-basi, tetapi hari ini Ibu memang mengantar Daffa dan Fia untuk mengurus berkas kepindahan sekolah mereka.

"Udah, tinggal nunggu awal semester baru masuk sekolah, Kak."

Aku menatapnya sambil mengangguk ringan. Ia tampak sangat fokus menonton kartun yang para tokohnya saling menyerukan macam-macam jurus aksi mereka. Matanya bahkan jarang berkedip, seperti tidak ingin melewatkan sepersekian detik pun tayangan di TV.

Ketika aku ingin bicara lagi, ponsel yang sebelumnya kuletakkan di atas meja berdering. Aku segera meraihnya dan menemukan nama kontak karyawan WO yang minggu lalu aku dan El datangi.

"Selamat malam, Mbak." Aku membalas sapaan wanita di seberang telepon.

"Maaf mengganggu semalam ini, Mbak, saya mau mengonfirmasi, apa besok jadi bertemu untuk membahas kelanjutan persiapan pernikahannya?"

"Iya, Mbak, jadi. Mungkin sore setelah pulang kerja kami ke sana."

"Baik, Mbak. Terima kasih."

Aku belum sempat mengucapkan terima kasih, tetapi sambungan telepon sudah terputus. Kupandangi ponselku beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas. Sebenarnya aku cukup merasa bersalah pada pegawai WO tadi, karena beberapa kali membatalkan rencana untuk bertemu. Aku bukan sengaja melakukannya, tetapi aku tidak yakin bisa menemuinya tanpa El. Rasanya tidak enak kalau aku yang memutuskan semuanya sendirian.

El bilang kalau seminggu terakhir lebih banyak mengurusi proses pemulihan Daria di rumah sakit, dan menjadikan itu sebagai alasan batalnya rencana bertemu si pegawai WO. Sesak, sih, rasanya, di saat-saat di mana kami harus mempersiapkan pernikahan, ia justru sibuk mengurus yang lain. Terlebih lagi sesuatu yang penting itu Daria.

Mungkin Vita benar, aku harus bisa lebih tegas dengan El. Namun, bagaimana caranya? Apa yang harus kukatakan lebih dulu padanya? Apa pantas aku menuntut agar diprioritaskan? Namun, bukankah seharusnya seorang wanita diratukan oleh pria yang mencintainya? Ah, kalau berharap seperti itu ... bukannya akan terkesan sangat keterlaluan?

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang