Zara Naulia
"Aku udah bilang, kan, mending kamu request tangan tambahan. Kesel banget aku ngeliat kamu sibuk sendiri."
Aku mendelik kesal pada Abel. Dari kemarin hanya protesnya yang kudengar, membantuku pun tidak. Padahal jelas-jelas aku baru saja menjatuhkan berkas bawaanku dan sekarang tengah berjongkok untuk mengumpulkannya kembali. Jadi, kali ini aku tidak ingin repot-repot meladeni celotehannya.
"Ini udah mau istirahat, tapi kamu masih bergelut sama kerjaanmu," ujarnya lagi.
Aku menjatuhkan tumpukan kertasku di lantai dan mendongak untuk bisa menatapnya. Ekspresi menyebalkannya adalah yang pertama kulihat setelah cukup lama terlalu fokus dengan tugas-tugasku. Maksudku, saking sibuknya, aku sampai tidak meliriknya sedikit pun.
"Kalau aku mengajukan ke Pak Jared biar kamu juga bantuin aku, gimana?" sahutku sedikit mengancamnya agar berhenti mengoceh.
Air mukanya langsung berubah. Ia lekas-lekas membenahi posisi duduknya yang semula menghadapku menjadi berhadapan dengan komputer.
"Aku yakin kamu bisa menyelesaikannya dengan baik, Ra. Kamu sendiri aja udah keren, lho. Bagianku bakal kukerjain baik-baik juga, kok, biar fokus, jangan ditambah kerjaan yang lain lagi." Terakhir, Abel terkekeh canggung.
Aku tidak bereaksi lebih selain memutar kedua bola mataku. Kalimatnya tadi bahkan persis seperti apa yang kupikirkan akan ia ucapkan. Aku mengenal baik Abel, semenyebalkan apa pun dirinya, perhatiannya membuatku sanggup bertahan di dekatnya. Kendati caranya menunjukkan perhatian itu agak berbeda dari orang-orang kebanyakan.
"Kamu mau istirahat, Bel?" tanyaku setelah meletakkan tumpukan kertasku tadi ke atas meja.
"Tanpa menjawab pertanyaanku, Abel melepaskan mouse komputer dan beranjak dari kursi. "Pekerjaanku bisa menunggu. Pergi ke kantin sama kamu lebih penting."
Aku mengulum senyum. Aku mulai merasa bersalah karena beberapa bulan terakhir ini jarang sekali pergi ke kantin bersamanya. "Kebetulan aku perlu wejangan dari kamu," gurauku.
"Pasti ada hubungannya dengan calon suami kamu, 'kan?"
Aku mendelik kaget karena tebakannya. Dan setelah melihat reaksiku saat ini, Abel jadi tersenyum penuh percaya diri. Padahal aku saja tidak membenarkan tebakannya.
"Aku tahu itu. Ayo, ke kantin sekarang, kamu perlu banyak wejangan dari yang lebih berpengalaman." Abel melingkarkan tangannya di bahuku dan menyeretku keluar ruangan.
Sebenarnya ini belum waktu istirahat, tetapi kupikir tidak masalah keluar beberapa menit lebih awal. Toh aku yang bertanggung jawab atas karyawan selagi Pak Jared tidak ada di ruangan kami.
Begitu tiba di kantin, Abel langsung memesan makanan favoritnya tanpa melihat menu lagi. Ia tidak peduli dengan menu-menu baru yang ada di kantin. Di mana ada nasi goreng petai favoritnya, kedai itulah yang akan ditujunya. Berbeda sekali denganku yang masih membaca satu persatu daftar menu yang diberikan oleh si ibu penjaga kantin.
"Aku duluan ke meja ya," ujar Abel sebelum meninggalkanku. Ia tahu aku selalu dibuat bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya menu masakan. Dan tentunya akan menghabiskan waktu cukup lama.
"Zara!"
Aku berbalik untuk menemukan Daria berjalan menghampiriku dengan membawa gulungan kertas di tangannya.
Hanya melihatnya berjalan sudah membuat hatiku mencelos. Postur tubuhnya yang lebih proporsional membuatku insecure. Aku merasa bodoh hanya karena Daria adalah mantan kekasih sekaligus cinta pertama El, aku jadi tidak sadar membandingkan diriku dengannya. Belum lagi kupikir segala aspek yang ada pada Daria jauh lebih unggul dariku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
ChickLit[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...