Rafael Lazuardi
Tak ada yang berbeda dari dua malam kemarin; setelah kuungkapkan keluh kesahku pada Mama. Hanya terasa lebih lega. Aku bangun di pagi hari dengan perasaan yang ringan. Pikiranku tidak dipenuhi oleh hal-hal selain rencana untuk bicara dengan Zara. Otakku bekerja keras untuk itu itu, bahkan sejak sedetik setelah mataku terbuka di pagi hari dan sedetik sebelum aku terlelap di penghujung hari. Itu terkesan berlebihan untuk seorang laki-laki, tetapi aku memang selalu memikirkannya di samping urusan pekerjaan.
Mama masih di sini, dan Daria masih terbaring koma. Aku tidak tahu apa yang membuat Mama masih bertahan di sini dan membiarkan Papa mengurusi bisnis penerbitannya sendirian di sana. Sempat kutanya pada Papa tentang kabarnya, dan ia memberi tahu akan menyusul ke sini begitu urusannya selesai. Mama bilang akan bicara pada Daria langsung begitu wanita itu tersadar, hingga aku menyimpulkan bahwa lagi-lagi Mama berada di sini untuk Daria. Namun, semua itu terbantahkan dengan perubahan sikap Mama kepadaku.
"Mama ingin memperbaiki semuanya."
Terlalu cepat untuk menyadarkannya dalam semalam. Besok paginya—setelah pengakuan besar itu—Mama berusaha memasak masakan favoritku, meski ternyata menu itu justru kesukaan Felix. Mama pikir aku dan Felix akan memiliki selera yang sama, tetapi aku tidak bisa menyalahkannya karena selama ini tidak pernah memberi tahu apa saja yang kusuka. Malamnya, aku memberikan daftar apa saja yang kuinginkan. Itu sebabnya aku terbangun oleh aroma cumi bumbu asam manis.
Aku membayangkan betapa sempurnanya hidupku jika yang memasak adalah Zara. Bangun setiap pagi untuk mencari-cari sosoknya yang menghilang dari sisi lain kasur, tetapi setelahnya kutemukan sedang si dapur dengan mengenakan celemek warna hijau. Ia selalu bilang bahwa hijau adalah favoritnya. Kan, aku sudah tersenyum seperti orang gila sebelum tertampar oleh kenyataan bahwa Zara masih enggan bicara padaku.
Mungkin dua hari lalu bisa jadi waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya, selagi Zara tidak mengabaikanku. Dengan perasaan yang kalut karena kabar Daria, mungkin akan membuatnya memikirkan itu secara mendalam. Aku berusaha membuktikan bahwa aku tidak peduli lagi dengan Daria, tetapi ia justru memaksaku untuk menemuinya di rumah sakit. Akhirnya, aku kehilangan kesempatan bicara untuk yang ke sekian kalinya.
"Pagi, El." Mama menyapa ketika aku baru tiba di ruang makan. Ia sedang menata meja dengan menu sarapan pagi ini.
"Selamat pagi, Ma," balasku dan menghampiri meja pantri untuk membuat secangkir teh. "Felix rugi kalau nggak bangun segera," celetukku dan tertawa ringan. Seperti yang kupikirkan tadi, Mama memasak udang asam manis. Sebagai seorang pecinta masakan laut, Felix tentu tidak akan sanggup melewatkan yang satu ini.
"Bangunin dia kalau gitu."
"Mama tahu aku nggak pernah suka berbuat baik untuknya."
Aku sedang mengaduk teh ketika seulas senyum terukir di bibirku. Itu bukan senyum yang menyenangkan untukku, tetapi sesuatu yang kuharap akan membuat Mama mengira aku bercanda walau sebenarnya itu sebuah fakta.
"El ... tentang masa lalu, itu sepenuhnya salah kami sebagai orangtua, bukan karena Felix. Ingat? Dan lagi kakek sama nenekmu yang kecintaan banget sama kamu."
Sekarang aku merasa tidak enak karena Mama jadi terlarut dalam masa lalu. Aku bisa menemukan penyesalan di wajahnya.
"Oke, Ma. Aku ke kamarnya sekarang." Aku meletakkan teh yang kubuat tadi di sebelah tangan Mama yang bertumpu pada meja makan. Ya ... hitung-hitung sebagai permintaan maafku padanya.
Setelah menaiki tangga dan berbelok sedikit ke kiri, aku tiba di kamar tamu yang ditempati Felix. Posisinya tepat di sebelah kamarku. Felix tidak biasa bangun kesiangan—kecuali akhir pekan, itu yang kutahu setelah tinggal bersamanya beberapa minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
ChickLit[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...