43 - I love You

1K 95 7
                                    

Rafael Lazuardi

Kami memutuskan untuk pulang sore hari. Namun, aku tiba di rumah orang tua Zara sendirian karena sebelumnya Om Zayed meminta untuk diantar sampai hotel tempat acara pernikahan besok. Beliau bilang, istrinya ada di sana. Aku jadi gugup ketika menyadari bahwa aku akan berdua saja dengan Zara di rumah. Terlebih, aku mendapat kesempatan untuk menyelesaikan masalah kami tanpa ada orang lain.

Aku sedang berdiri di depan rumah dan menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya kembali. Aku mengangkat tanganku yang terkepal dan mengetuk pintu tiga kali. Tidak mungkin aku menerobos langsung masuk ke dalam meski menginap beberapa malam di sini.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Zara muncul di hadapanku. "El? Ayah mana?" tanyanya sambil celingukan menatap ke belakangku.

"Ayahmu minta diantar ke hotel tadi," sahutku.

"Oh," responsnya. Ekspresinya tampak kecewa, dan aku tidak bisa menebak apa alasannya. Yang pasti, aku tidak senang dengan suasana seperti ini. "Ya udah, ayo masuk, El." Ia menggeser badan, memberiku jalan agar bisa masuk.

"Zara," panggilku ketika ia berjalan melewatiku.

Aku bernapas lega karena ia mau berhenti dan berbalik menatapku. "Iya, El?"

Sebenarnya aku tidak tahu apa yang ingin kukatakan padanya. Aku ingin menyelesaikan masalah kami, ingin hubungan kembali seperti dulu tanpa ada kecanggungan seperti ini. Situasi ini sungguh menyesakkan dan aku menyesal sudah mengabaikan Zara. Aku rindu mengganggunya, rindu menyentuhnya, rindu bicara dengannya. Semakin aku menyadari betapa aku merindukannya, jantungku berdebar semakin kencang.

"El? Kamu mau ngomong sesuatu?"

Alih-alih menjawabnya, aku justru merengkuhnya dalam pelukan. Meletakkan kepalaku di ceruk lehernya agar dapat menghirup aroma yang menguar dari sana. Baru seminggu kami tidak saling bicara, dan aku sudah segila ini.

"Aku merindukanmu, Ra." Akhirnya hanya itu yang keluar dari kedua belah bibirku. Mengingat interaksi kami pagi tadi, aku sudah menantikannya melepaskan diri dariku. Dan dengan egoisnya aku memeluk Zara semakin erat.

"Kukira kamu mau bilang maaf." Suara Zara menyadarkanku. Ia tidak sedikit pun berusaha melepaskan diri dariku.

"Maaf," ujarku, menurutinya. "Ketika menghadapi masalah, aku tidak terbiasa menceritakannya pada orang lain." Aku mengaku. "Menyebalkan ya?"

"Apa sampai harus mendiamkanku juga? Aku nggak tahu apa-apa lho, El."

Aku tertawa di ceruk lehernya sampai kurasakan ia bergidik geli. Meski rambutnya pendek, Zara suka sekali menggelungnya tinggi. Apalagi jika sedang berada di rumah.

"Aku lelah terus-terusan berdiri, El. Bisa kita pindah posisi?" pintanya. Namun, ia tidak sedikit pun berusaha untuk melepaskan diri. Agak merusak suasana sebenarnya. Zara selalu tahu bagaimana terlepas dari skinship dengan orang lain, dan kali ini ada sedikit kemajuan. Ia memintanya dengan nada yang lebih halus.

Akhirnya, dengan berat hati aku melepas pelukan kami dan menarik tangannya menuju sofa terdekat. Kami duduk bersebelahan, dan menatapnya lamat-lamat seperti aku akan kehilangannya jika mengalihkan pandanganku sedetik saja. Jujur, Zara tampak semakin indah saja setiap harinya.

"El? Lama-lama kamu bikin aku takut."

"Ada sesuatu yang menggangguku saat itu. Pikiranku mudah sekali terkecoh oleh hal lainnya sampai mengabaikan sekitar. Tapi aku nggak pernah berniat buat ngabaikan kamu." Aku membungkus tangannya dengan kedua tanganku dan mengusap-usapnya.

"Seminggu itu lama lho, El."

Aku mengangguk. "Benar, seminggu juga lebih dari cukup buat membuatku sadar."

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang