48 - Teman Lama

929 87 2
                                    

Zara Naulia

"Kalian saling kenal?"

Daria dan El saling lirik. Ekspresi El masih sama seperti ketika ia melihat Daria tadi. Mereka tampak saling mengirim kode seperti ingin menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tidak ingin berprasangka buruk sebenarnya, tetapi sikap mereka menimbulkan beragam spekulasi di kepalaku. Dan tidak ada satu pun yang baik.

Apa Daria juga mantan kekasih El? Kepalaku menyuarakan pertanyaan ini paling nyaring di antara pertanyaan-pertanyaan yang lainnya. Aku tahu El punya banyak mantan kekasih di luar sana, tetapi jika Daria adalah salah satunya, aku justru merasa cemas. Padahal aku sudah bertemu dengan dua mantan El yang lain, tetapi tidak pernah sampai seperti ini. Kecemasan ini sungguh tidak berdasar sama sekali.

"Aku dan El pernah bekerja di perusahaan yang sama, Ra. Bisa dikatakan ... kami cukup dekat, sebagai teman."

Hanya berteman, aku lega mendengarnya.

"Dunia memang sempit, kan, El?" Daria bergurau seraya menyenggol manja lengan El. Aku berusaha memaklumi itu karena kedekatan mereka. Namun, El tampaknya terkejut dengan aksi Daria itu.

"Tunggu apa lagi? Ayo masuk," ajak El. Ia memberi isyarat agar Daria masuk lebih dulu dan setelahnya ia merangkulku.

Meski hanya sekilas, aku sempat menangkap matanya menyiratkan rasa bersalah. Namun, aku enggan bertanya ada apa.

"Kompensasinya semakin besar karena kamu ngajak orang lain ikut makan bersama kita." Bisikan El membuatku refleks memukul dadanya.

"Sepuluh menit jadi dua puluh menit? Aku bisa pertimbangkan," sahutku.

"Makan malam hari ini. Di rumahku atau di rumahmu, silakan dipilih."

Aku menggumam, pura-pura mempertimbangkan usulannya meski aku akan menolak. "Jangan malam ini. Aku mau istirahat, pekerjaanku banyak hari ini, sisa cuti seminggu."

"Oke, kita akan atur lain kali."

Aku mengangguk dan selanjutnya kami tidak bersuara lagi. Bersama Daria kami berdiri di meja konter untuk memesan makan. Begitu selesai, kami langsung menuju meja yang berada di dekat pintu. Kebetulan hanya itu yang sedang kosong. Aku duduk di ujung dan disusul El di sebelahku. Sementara Daria duduk di seberangku. 

"Tumben kamu nggak pesan menu kayak biasa, El?" Daria tiba-tiba bertanya. Bahkan ia juga tersenyum percaya diri. Hingga membuatku merasa terbelakang karena tidak tahu tentang menu yang dimaksudnya.

Nyatanya, kami belum saling mengenal sedalam itu.

"Bosan," sahut El terkesan tak berminat. Ia menatapku dan tersenyum ketika aku balas menatapnya.

"Em ... biasanya El pesan apa, Dar?" tanyaku meski malu. Momen seperti ini bisa kumanfaatkan untuk bisa tahu lebih banyak tentang El. Kendati aku bisa menanyakannya langsung pada Daria di lain waktu.

Namun, aku tetaplah aku. Yang selalu sungkan menanyakan tentang seseorang pada orang lain. Terlebih lagi tentang El, yang notabene adalah seorang pria. Itu sebabnya, aku tidak menanyakan apa pun tentang Rafael pada teman kuliahku dulu.

"Nasi bakar ayam pedas. Tadi menunya ada, tapi dia milih samain menunya kayak kamu, Ra."

"Rasanya bisa aja beda sama di tempat makan yang lain," sahutku.

Daria terkekeh. Lalu mencondongkan badannya dan bertopang dagu di atas meja, tampak siap untuk menceritakan hal lainnya meski aku tidak meminta.

"Di mana pun ada menu nasi bakar ayam pedas, dia selalu memesannya. Aku yang ngeliat aja sampai bosan."

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang