16 - Rasa Nyaman

1.1K 107 2
                                    

Zara Naulia

Konflik dalam suatu hubungan katanya akan mempererat ikatan di antara keduanya. Kata Abel lebih tepatnya. Sebab itu akan mendewasakan kami. Namun, aku yang masih belum benar-benar mengerti bagaimana suatu hubungan seharusnya dijalani, hanya bisa meresapi tiap-tiap nasihat yang Abel berikan padaku.

Abel tidak tahu serumit apa hubunganku dengan El. Ia hanya tahu sebatas El adalah calon suamiku. Aku sengaja tidak menceritakan padanya tentang kesepakatan kami berdua. Sebab, ia dan orang-orang tidak perlu tahu tentang hal tersebut. Pengecualian untuk ketiga teman kuliahku yang telanjur mendesakku agar diberitahu.

Aku baru keluar dari kamar, dan tatapanku langsung tertuju pada vas bunga berisi bunga mawar yang diberi air. Mawar-mawar itu sudah layu sekarang. Mereka adalah mawar yang sama yang El petik tanpa sengaja di halaman rumahku. Tidak bertemu dengan El selama berhari-hari memberiku waktu untuk meresapi semuanya. Termasuk tentang niat baik El yang ingin membuatku senang dengan memberi bunga. El pria yang sangat baik.

Seharian di kantor, aku tidak banyak berinteraksi dengan karyawan lain. Meski sebenarnya aku memang lebih banyak diam. Hanya Abel yang sesekali mengobrol denganku. Itu pun terkait dengan pekerjaan.

Aku membuat diriku tenggelam dalam tumpukan pekerjaan. Bahkan beberapa kali menekan tombol keyboard dengan kuat jika aku tidak kunjung menyelesaikan satu masalah yang ada. Sampai-sampai rekan kerjaku yang lain tidak berani menegurku. Aku tampak seperti seorang yang gila kerja hanya untuk mengenyahkan segala beban pikiran di kepalaku.

"Aku capek," keluhku kemudian. Aku melirik jam di layar monitor, sudah di penghujung jam kerja rupanya. Dengan itu, aku mulai merapikan kertas-kertas yang berhamburan di atas meja, mematikan komputer dan laptopku, terakhir bersiap untuk pulang seandainya Abel tidak menyenggol tanganku.

"Ra, kamu masih belum baikan sama calon suami kamu itu? Siapa sih namanya? Aku lupa." Aku tersenyum, Abel memang seperhatian itu padaku.

"Rafael," jawabku dengan lemah. Kenyataan bahwa pria itu yang sedang memenuhi kepalaku membuatku enggan untuk membicarakannya atau bahkan sekadar menyebut namanya saja.

"Masih belum selesai juga masalahnya? Yuk, nongki, aku temenin."

Aku sudah menduga Abel akan mengajakku pergi. Persis seperti dua hari yang lalu ketika aku bercerita bahwa sedang tidak bertegur sapa dengan Rafael. "Nggak, Bel. Makasih. Aku udah ada rencana mau ke tempat lain. Bye." Setelahnya, aku menyampirkan tasku kemudian pergi begitu saja meninggalkan Abel.

Toko buku yang kutuju tidak jauh dari kantor. Karena itu aku memilih berjalan kaki saja. Aku melangkah lebar-lebar, tidak sabar lagi untuk segera mengendus aroma dari buku baru di dalam sana. Kuharap ini bisa jadi pengalihan terbaik dari masalahku dengan El.

"Zara?"

Seseorang memanggilku, aku terpaksa berhenti berjalan dan berbalik. Padahal aku baru akan masuk ke toko di hadapanku. Senyumku mengembang begitu saja setelah tahu siapa sosok yang baru saja memanggilku.

"Kak Alvian?" Tidak kusangka akan bertemu dengannya, senior yang pernah kukagumi. Sekarang ia memiliki kumis dan jenggot tipis.

Pria itu membalas senyumanku dan memperpendek jarak kami berdua. "Apa kabar, Ra?"

"Baik. Kakak gimana? Makin sejahtera aja keliatannya." Aku mengerling pada porsi tubuh Kak Alvian yang lebih berisi dari yang terakhir kali kulihat.

Kak Alvian tertawa renyah. Sungguh suara tawa yang selalu kurindukan selama beberapa tahun terakhir. "Sudah ada istri harus bahagia dong." Benar juga, Kak Alvian sudah menikah.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang