17 - Perayaan dan Status

1.1K 103 2
                                    

Rafael Lazuardi

"Sudah waktunya pulang, Bos."

Aku menoleh pada pintu, di mana seorang wanita menyembulkan kepalanya di sana. Namanya Diana, rekan kerjaku di kantor pusat dulu. Sejak kantor cabang selesai didirikan, dan segala pemberkasan sudah siap, ia juga ikut mengajukan diri untuk dipindahkan ke sini. Kami cukup dekat sebagai rekan kerja.

"Jangan memanggilku begitu," sahutku lemah. Namun, yang kudengar darinya hanyalah kekehan.

Punggungku kubawa bersandar ke kursi. Hari sudah mulai gelap tanpa kusadari. Sinar jingga matahari senja menyeruak memenuhi ruanganku melalui jendela. Ternyata aku sudah bekerja cukup lama hari ini. Menjadi pimpinan sebuah cabang perusahaan memang sangat melelahkan. Apalagi di masa-masa pengembangan seperti saat ini.

"Panggilan itu terdengar keren untukmu, El," sahut Diana. Ia mendorong pintu ruanganku hingga terbuka lebar dan bersandar di sana. "Ayo berangkat sekarang. Yang lain udah sampai di resto lho."

Aku mengernyit. "Ke mana?"

Diana menghela napas. "Sesibuk itu ya kamu sampai nggak ngecek grup chat? Temen-temen yang lain mau ngerayain pengangkatan kamu sebagai pimpinan cabang."

Aku lekas-lekas meraih ponsel di sudut meja, ingin memastikan yang Diana katakan padaku. Namun, pesan lain justru menarik perhatianku. Pesan itu dari Zara.

ZaraNaul - Besok ada waktu?

ZaraNaul - Aku mau minta maaf

ZaraNaul - Bisa kita bahas tentang kemarin?

Ada tiga chat. Aku mulai merasa bersalah. Jika Zara sampai mengirim pesan lebih dulu, sikapku pasti sudah keterlaluan padanya. Wajar saja, sudah seminggu aku tidak menghubunginya. Padahal, biasanya aku yang akan lebih dulu mengganggunya. Mengirim pesan penuh perhatian, atau mengiriminya voice note.

Sejak memutuskan untuk mengenal Zara lebih dekat, aku selalu ingin tampak baik untuknya. Selalu ingin menonjolkan apa-apa yang bisa kulakukan dengan baik. Menyanyi misalnya. Aku akan mengirimkan setidaknya satu rekaman pendek dari suaraku.

Sayangnya, aku tidak melakukan itu selama satu minggu terakhir. Tepatnya setelah kami bersitegang di resto waktu itu. Zara pasti berpikir aku marah, makanya ia sampai mengirimiku pesan terlebih dahulu. Sebenarnya salahku juga, aku terlalu sibuk untuk persiapan kenaikan jabatan sampai lupa mengabarinya.

Ada banyak presentasi yang harus dipersiapkan. Di depan pimpinan kantor pusat, dan beberapa pimpinan kantor cabang yang sudah berjalan selama beberapa tahun. Aku terlalu lelah karena semua persiapan itu, hingga tak berpikir untuk melakukan apa pun lagi selain tidur setibanya di rumah.

Aku baru akan mengetikkan balasan saat Diana menegurku untuk segera berangkat. Akhirnya, kusimpan kembali ponselku dan dengan cepat mematikan komputer. Aku menumpuk beberapa berkas di satu tempat; agar mejaku rapi, terakhir melesat keluar setelah meraih jasku yang kusampirkan di sandaran kursi seharian ini.

Teman-temanku baik sekali mau melakukan semua itu. Tidak banyak, hanya beberapa orang yang dipindahkan dari pusat ke cabang yang sama denganku. Mungkin kedengarannya seperti bukan sebuah pencapaian yang bagus, karena kami berawal dari kantor pusat dan turun untuk bekerja di kantor cabang. Namun, kami mendapat jabatan yang lebih tinggi dari saat ditempatkan di kantor pusat sebelumnya.

Perjuangan yang dimulai dari awal lagi, membuat kami jadi seakrab ini. Bahkan aku yang sebelumnya tidak pernah mengobrol dengan Diana saja berangkat semobil bersama sekarang. Aku menawarinya tumpangan mengingat biasanya ia diantar-jemput oleh kekasihnya.

"Gimana rasanya duduk di bangku atasan?" Diana bertanya dengan nada sarkastik.

"Ya ... begitulah," sahutku singkat sembari memutar setir untuk berbelok ke kiri.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang