46 - Kenyataan

967 89 1
                                    

Rafael Lazuardi

Sejak obrolan semalam, Zara tampak takut bicara denganku. Daripada merasa kecewa, aku justru merasa kalau ia sebenarnya hanya malu berada di sekitarku. Apalagi ayah dan bundanya tidak berhenti menggoda kami. Akhirnya, pagi ini ia meninggalkanku pergi berbelanja bersama adik-adiknya. Dan siang nanti, kami akan pulang bersama.

Namun, aku tidak tinggal di rumahnya saja. Sebab, sepupu Zara menghubungiku-yang mana aku tidak tahu bagaimana ia mendapatkan nomor ponselku-dan meminta bertemu di sebuah kafe yang tak jauh dari rumah orangtua Zara. Andai bukan untuk membicarakan sesuatu terkait Zara, aku tidak mungkin pergi ke sana.

Lonceng di atas kepalaku berdenting ketika aku membuka pintu kafe. Dan tak lama kemudian seorang wanita yang berjaga di konter mengucapkan selamat datang padaku. Aku tersenyum padanya dan melihat ke sekeliling kafe. Sebenarnya, aku lupa bagaimana wajah sepupu Zara. Dan itu membuatku tampak seperti orang yang tak tahu arah di depan semua orang.

Sampai kemudian seorang wanita berdiri dari kursi dan melambaikan tangan padaku. Agar ia tidak menunggu lebih lama lagi, aku segera menghampirinya.

"Nanda, 'kan?" Aku mencoba memastikan.

"Iya, Kak. Aku yang nikah kemarin," ujarnya diiringi cengiran.

Mendengar kata 'nikah' entah kenapa membuat darahku berdesir. Seperti ada dorongan untuk segera merencanakan pernikahanku dengan Zara.

"Maaf, aku nggak mengenali mukamu. Beda sama yang kemarin kulihat."

Nanda terkekeh. "Riasan pengantin emang berhasil mengubah penampilan seseorang, Kak. Oh, iya, pesan minum dulu, Kak."

Ia menunjuk seorang pelayan yang berdiri di samping kami dengan buku menu di tangannya. Pelayan itu memberikan buku menu tersebut padaku dan aku mengucapkan terima kasih padanya. Tidak perlu waktu lama bagiku untuk memutuskan memesan secangkir americano. Aku sudah sarapan bersama keluarga Zara, jadi aku tidak memiliki nafsu untuk memesan yang lainnya.

Pelayan itu mencatat pesananku dan segera meninggalkan tempat kami. Aku kembali memperhatikan wanita di depanku dan tak sengaja melihat minumannya yang sudah tersisa setengah.

"Sudah lama menunggu, ya?" tanyaku.

"Enggak, Kak," jawabnya. Dan aku enggan membahasnya lebih jauh lagi. Jawaban itu bisa saja mengandung kebohongan yang bertujuan agar aku tidak merasa tidak enak padanya.

"Ada apa bertemu denganku di sini?"

Jujur saja, aku tidak mengenal wanita di depanku saat ini. Ditambah lagi ia sudah bersuami. Selain merasa tidak nyaman menemui orang yang tidak kukenal, aku juga khawatir seseorang yang mengenalnya melihat kebersamaan kami dan mulai menyimpulkan sesuatu yang tidak-tidak.

"Sebelum itu, aku mau ngucapin selamat buat kalian," ujarnya semringah.

"Selamat untuk apa?" Keningku berkerut karena tidak tahu apa maksudnya.

"Katanya Kak Rafael sama Kak Zara mau nyusul kami. Aku udah lama nunggu itu terjadi. Terlebih lagi, Kak Zara cucu tertua di keluarga kami."

Aku mengerti maksudnya apa, tapi alasan aku tetap bungkam dan menatapnya penuh selidik adalah bagaimana ia bisa mengetahui tentang itu. Bahkan aku baru meminta restu, belum sampai berencana sejauh yang ada di dalam kepala ovalnya saat ini.

"Tahu dari mana?" Alih-alih berterima kasih, aku justru menanyakan itu padanya.

Nanda tertawa ringan. "Keluarga kami cukup terbuka satu sama lain, Kak. Kami akan segera mengabari satu sama lain jika ada kabar bahagia. Dan ... tentang Kak Rafael ingin membersamai Kak Zara adalah salah satunya."

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang