5 - Asked to be Friends

2K 200 16
                                    

Zara Naulia

Sudah setengah jam kami di perjalanan, tetapi tidak satu pun di antara kami yang membuka suara. Aku hanya mendengarkan lagu melalui earphone yang tersemat di telinga. Sengaja memilih lagu yang berisik agar tidak mengantuk. Sedangkan di sampingku El sangat fokus dengan kemudinya. Sampai tidak menyadari jika aku sudah memandanginya dari tadi. Ia mengemudikan mobilnya dengan santai. Tidak kusangka ia akan serius menanggapi ucapan Rosetta tadi. Entah sampai jam berapa nanti perjalanan pulang kami. Terlebih, El harus mengantarku dulu sebelum ia menuju ke kota tempat tinggalnya saat ini.

Kalau dipikir-pikir lagi, aku sudah merepotkannya.

"Jangan diliatin lama-lama, ntar jadi suka lho."

Aku membuang muka setelah mendengarnya berkata begitu. Dari sudut mataku, aku bisa melihatnya tersenyum geli. Sebenarnya kenapa tadi aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya? Apa karena rahang tegasnya, bulu mata yang panjang, bola matanya yang berwarna hitam kelam, atau alisnya yang tebal? Kumisnya sudah dicukur. Padahal aku sempat melihatnya waktu reuni kemarin dan itu sangat cocok untuknya. Sayang sekali.

El memang tampan sejak masa kuliah dulu. Jika tidak, tidak mungkin ia mendapat predikat mahasiswa di angkatan yang memiliki mantan terbanyak. Bukan sesuatu yang membanggakan memang, tapi El cukup menikmatinya. Makanya, aku tidak heran kalau ia sepercaya diri itu.

"Ra, kalau kamu ngantuk, tidur aja. Nanti aku bangunin," ujar El saat aku menguap.

"Aku nggak ngantuk. Lagian kalau tidur aku nggak bisa ngasih tahu alamat rumahku."

El tertawa renyah. "Aku bisa bangunin kamu kalau sudah sampai kota."

Aku menoleh untuk melihatnya. Kemudian berceletuk jenaka, "Kita bisa sampai besok pagi kalau kamu mengemudi selambat ini."

"Queen's order." El mengatakan itu dan tertawa lagi. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku semakin menyukai tawanya. Sampai aku tidak sadar ikut tersenyum karenanya.

"Maaf sudah merepotkanmu, El." Aku tulus mengatakannya. Karena jujur saja, itu mengganggu pikiranku sejak tadi.

"Kan sudah kubilang, nggak ngerepotin, Ra."

"Gara-gara diminta Rosetta kamu jadi menempuh perjalanan dua kali. Abis dari Banjar kamu harus pergi lagi, kan?"

"Pergi ke mana?" Ia mengernyit padaku.

Aku melepas earphone-ku. Sadar bahwa tidak sopan memakainya ketika berbicara dengan orang lain. "Bukannya kamu kerja di luar kota? Apa aku salah orang?"

"Aku balik lagi ke Banjar, Ra. Perusahaan tempatku kerja membuka cabang di sana. Jadi aku ngajukan diri untuk pindah."

Aku hanya mengangguk ringan sebagai respon. Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku kembali memasang earphone-ku dan bersandar pada bingkai jendela. Untuk beberapa saat, kami sama-sama terdiam lagi.

"Hoahhm ...."

El menguap dan aku tidak sengaja melihatnya saat berusaha membenahi posisi duduk. Aku jadi merasa tidak enak padanya. Mengantarku sampai dia mengantuk begitu. Mengemudi saat mengantuk sebenarnya cukup berbahaya. Apalagi perjalanan kami masih harus ditempuh beberapa jam lagi. Biasanya, seseorang yang mengantuk perlu diajak mengobrol agar rasa kantuk itu teralihkan. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana memulainya. Lidahku rasanya kelu sekali meski hanya untuk mengatakan 'Kamu ngantuk? Ayo ngobrol'.

Aku selalu jadi pihak yang pasif dalam sebuah interaksi. Selalu menunggu seseorang mengatakan sesuatu lebih dulu sebelum aku merespons. Terkadang ada banyak pertimbangan di kepalaku sebelum aku memutuskan untuk berbicara. Misalnya, ketika aku memiliki sebuah pertanyaan, tapi tidak kutanyakan karena mengira itu tidak perlu kuketahui. Mungkin karena aku tidak ingin orang-orang tahu tentang diriku, aku jadi terbiasa membatasi diri untuk tidak bertanya banyak pada orang lain. Sebuah sikap yang adil.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang