25 - Jangan Pergi

1.1K 106 5
                                    

Zara Naulia

Aku terlambat istirahat siang ini. Rapat bulanan memang selalu menyita waktu. Namun, ada untungnya juga, yaitu kantin kantor lebih sepi dan aku tidak perlu berdesakan dengan karyawan lain. Sayangnya, tak banyak pilihan menu tersisa karena sudah habis dibeli karyawan yang lain. Tak masalah, aku bukan seorang yang pemilih untuk urusan makanan. Nasi, ayam goreng, dan sayur lalapan saja sudah membuatku puas.

Ponselku tidak tersentuh sedikit pun saat aku menyantap makananku. Perutku yang lapar tidak bisa menunggu lama. Aku bermaksud ingin cepat-cepat kembali ke ruangan, tapi sepertinya gagal karena seseorang datang menghampiri mejaku. Di depanku Yuda tersenyum hangat dengan semangkuk mi ayam di tangannya.

"Aku makan di sini ya," ujarnya.

Aku hanya menggumam mengiyakan, sebab di mulutku masih ada makanan yang sedang kukunyah.

Yuda, teman masa kuliah yang merangkap rekan kerjaku sekarang. Kami jarang sekali bertemu karena berada di divisi yang berbeda. Yuda tak banyak berubah sejak kelulusan. Entah karena kami masih beberapa kali bertemu atau memang pria itu tidak mengalami perubahan fisik. Seperti tubuh yang semakin berisi atau wajah yang ditumbuhi kumis.

"Tumben makan jam segini," tegurnya.

"Abis rapat tadi." Aku menjawab sekenanya, tanpa sedikit pun mengalihkan pandang dari piring.

"Jadi asisten manajer itu ngerepotin ya."

"Hm, begitulah." Aku lagi-lagi merespons singkat.

"Pantesan El jadi sakit gitu padahal baru dua minggu diangkat jadi pimpinan cabang," celetuk Yuda seraya terkekeh pelan. Ia tidak berhenti bicara meski aku sering kali membuat obrolan terasa mati. Satu kelebihan yang dimilikinya, banyak bicara.

Beralih dari fakta itu, ingatanku berusaha mengulang kembali apa yang ia ucapkan. "El sakit?" tanyaku untuk memastikan apa yang kudengar itu memang benar.

"Iya. Dari kemarin."

Sekarang aku mulai khawatir. Pantas saja ia tidak memberi kabar sama sekali. Aku sudah menduga ada yang salah dengannya waktu kudapati ia mematung di tengah jalan.

"El sakit apa?"

Yuda mengedikkan bahu. "Kemarin pas dijenguk dia lemes gitu. Katanya sakit kepala, badannya juga panas. Paling demam biasa."

"Nggak dibawa ke rumah sakit? Atau ke dokter?" Aku berharap Yuda tidak mencurigai apa pun, karena aku cukup banyak bertanya saat ini.

"Gak ada yang jagain, dia tinggal sendirian soalnya. Kemarin mau kami antar ke rumah sakit, tapi dia nolak."

Aku menegang. Rasa khawatir mulai merambat ke seluruh sistem sarafku sampai aku tidak bisa memikirkan hal lain selain kondisinya. Sakit, dan tinggal sendirian. Tidak ada yang merawat. Bagaimana kalau ternyata parah?

"Sebenarnya, El itu jarang sakit. Dia pernah bilang, kalau lagi patah hati dia bakal kepikiran sampai sakit," ujar Yuda sebelum menyuapkan mi ayamnya. "Bisa aja dia lagi patah hati sekarang. Soalnya kami yakin dia nggak mungkin nekat hujan-hujanan sampai flu."

"Patah hati?"

"Iya. Kamu nggak mau jenguk dia? Kalian, kan, lumayan deket akhir-akhir ini," usulnya dengan wajah serius.

Sikapnya yang tidak biasa itu membuat alisku naik sebelah. Aku tidak tahu apakah El menceritakan tentang kami, atau karena pria ini beberapa kali melihat postingan El yang menandaiku. Mulutku sudah terbuka ingin membantah bahwa kami tidak seperti yang ia pikirkan, tapi aku teringat insiden yang membuat aku dan El tidak bertegur sapa sampai seminggu.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang