12 - Terlalu Dekat

1.2K 122 1
                                    

Zara Naulia

Akhir pekan yang kunantikan tiba. Hari ini hari Sabtu, aku bersantai di teras belakang rumah sambil menonton film di laptop. Kemarin Abel meminjamkan flashdisk berisi film-film yang baru diunduhnya. Aku yang memang jarang bepergian pun dengan senang hati membawa pulang flashdisk tersebut. Hari ini, hanya ada aku dan laptop untuk menonton film. Sebisa mungkin kujauhkan diri dari ponsel.

Aku menjeda film yang sedang berputar di laptop untuk mengambil roti. Piring di sampingku sudah kosong saat kuraba. Aku beranjak dari kursi setelah melepaskan earphone, lalu berjalan masuk membawa piring kosong tersebut melalui pintu belakang.

"Ya ampun!" Aku memekik, hampir menjatuhkan piring di tanganku jika benda kaca itu tidak tersangkut di lipatan siku. Betapa terkejutnya aku. Dengan mata melotot aku bersuara, "Kamu kok bisa ada di sini?" Aku menuding sosok pria yang saat ini tengah berdiri di seberangku; dengan meja makan yang menjadi jarak kami berdua.

Rafael, tamu yang kehadirannya tidak kuundang, hanya mengangkat kedua tangannya persis seperti seorang penjahat yang tertangkap basah. Ada plastik berisi dua kotak pizza di tangan kanannya. Dengan wajah tanpa dosa ia menunjukkan cengirannya padaku. Sebenarnya aku tidak tertarik untuk melirik bawaannya jika bukan dari isyarat matanya. Entah apa maksudnya.

"Ngapain ke sini? Kok bisa masuk?" tanyaku takut-takut sambil meletakkan piring yang kubawa tadi ke atas meja makan. Siapa pun yang masuk ke rumah orang lain tanpa izin sudah bisa dipastikan memiliki niat yang tidak baik. Persis seperti yang penjahat lakukan, 'kan?

Bukan tidak mungkin El berencana melakukan sesuatu padaku.

El meletakkan pizzanya di sebelah piring kosongku tadi. "Kamu nggak ngangkat teleponku. Terus pas aku datang, pintu depannya terbuka sebagian."

"Masa sih aku lupa ngunci pintu?" Aku bertanya karena tidak percaya. Keningku berkerut, sambil mengingat apakah aku sudah menutup pintu setelah menyiram tanaman tadi atau tidak. Yang jelas, aku yakin tidak seteledor itu.

"Lho? Ini buktinya aku bisa masuk."

"Itu emang kamu aja yang nggak punya tata krama. Nggak tau adab bertamu kayak gimana," omelku sambil berjalan meninggalkannya. Aku harus memeriksa sendiri pintu depanku untuk memastikan kali ini sudah tertutup dengan rapat, dan El sudah menguncinya.

Aku kembali ke dapur dan melihat El sudah membuka kotak pizza yang dibawanya.

"Aku udah ngetuk pintu berkali-kali, tapi kamu nggak keluar-keluar. Jadi aku langsung masuk aja. Takut kalau ternyata terjadi apa-apa sama kamu," ujar El ketika mengumpulkan sampah plastik di atas mejaku, tak sedikit pun menatapku.

Mendengar ucapannya membuat pipiku memanas. Ia peduli padaku ternyata.

"Iya. Aku lupa tadi nonton film pakai earphone," cicitku. Tanpa melihat El karena malu sudah menuduhnya yang tidak-tidak.

"Makanya kalau pakai earphone itu suaranya jangan kenceng-kenceng. Entar budeg," tegur El sambil mengacak puncak kepalaku sampai beberapa helai rambutku keluar dari ikatan.

Aku tidak melayangkan protes, hanya memundurkan kepala saja dengan wajah cemberut. Namun, El tidak berhenti melakukannya sampai-sampai aku kehilangan keseimbangan. Aku berusaha meraih apa pun di dekatku untuk berpegangan. Percuma, aku tetap limbung dan dalam sepersekian detik, sesuatu meraih kepalaku sebelum aku benar-benar jatuh ke lantai.

Punggungku terasa nyeri karena membentur lantai dengan keras. Hingga aku memejamkan mata erat-erat untuk menahan rasa sakitnya. Padahal, satu-satunya yang kukhawatirkan adalah kepalaku. Namun, aku bersyukur karena kepalaku tidak langsung berbenturan dengan lantai, jika itu terjadi, pasti sudah terasa pusing sekarang. Mungkin aku harus berterima kasih pada El setelah ini karena sudah baik sekali melindungi kepalaku dengan telapak tangannya.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang