Zara Naulia
Baru kemarin rasanya aku dibuat ketakutan bukan main. Baru kemarin aku berpikir untuk tidak menikah dengan siapa pun. Baru kemarin pula rasanya aku memutuskan untuk tidak menikah saja, mengingat di bayanganku kehidupan rumah tangga selalu mengerikan. Semua pria yang mendekat—sebelum El—selalu mengeluarkan aura yang menyeramkan, seolah-olah akan menelanku bagai kabut yang mencekam.
Jantungku berdebar kencang ketika di bawah sana orang-orang bersorak, diiringi tepuk tangan. Saat itulah Nanda memasuki kamar yang dipakai untuk aku dirias, sekaligus menunggu proses akad nikah selesai dan aku bisa menemui El–maksudku, suamiku. Perutku tergelitik oleh ribuan kupu-kupu saat menyebutnya begitu.
"Kak Zara, udah siap, 'kan?"
Karena ditanya seperti itu laju jantungku jadi berkali-kali lipat lebih cepat. Suaranya bahkan terdengar oleh telingaku. Pernahkah aku semendebarkan ini? Tidak. Ini adalah momen di mana aku menghadapi ketakutan terbesarku. Sama sekali tidak pernah terbayangkan akan terjadi secepat ini.
"Kak? Kok, malah bengong?"
Aku menatap Nanda dengan wajah memelas. Saat itu pula Vita mendekat dan meraih tangan kananku. Aku memang tidak sendirian di sini. Ada Vita, Rosetta, dan Dian, sebagaimana kujadikan mereka sebagai orang-orang yang berperan penting di pernikahanku; sebagai bridesmaid. Mereka semua sangat cantik dengan pakaian berwarna merah muda. Sementara di ambang pintu, Nanda mengenakan gaun berwarna hijau. Untuk busana keluarga, aku memilih warna hijau, dan merah muda sendiri El yang memilih. Katanya dua warna itu akan berpadu dengan sangat cantik.
"Anak ini perlu diseret," celetuk Vita seraya menarik-narik tanganku.
"Pelan-pelan, Vit, nanti kebayanya robek." Dian menegur, wanita yang satu itu jauh lebih berperasaan dari Vita yang barbar.
"Aku malu." Akhirnya aku bicara, masih dengan muka memelas yang tadi sembari menahan tanganku yang ditarik-tarik.
"Ih, Kak Zara harusnya bahagia, dong. Lagian di luar masih dihadiri keluarga kita sama Kak Rafael. Belum ada tamu yang lain, kok." Aku tahu Nanda berusaha menenangkanku, tapi aku tidak yakin kalau itu berhasil. Buktinya dentuman jantungku masih terdengar sangat keras.
"Yep. You're supposed to be happy, Zara. El really loves you—I can see that. Of course I knew what really happened between you two yesterday, but now I see the way he looked at you. He adored you that much."
Aku tersenyum, itu adalah kata-kata yang cukup manis untuk didengar dari Vita. Ia membuatku malu, di balik riasan ini mungkin pipiku memerah.
"Baiklah, tolong pelan-pelan jalannya, ya," pintaku.
Meski dengan riasan sederhana dan aksesoris yang tidak terlalu meriah di kepala; hanya mahkota dan beberapa jepit kecil, tetap saja aku merasa agak pusing. Mungkin efek gugup. Perutku mual, tetapi gejolaknya menjalar sampai ke kepala. Mungkin memang seperti ini rasanya menghadapi sesuatu yang ditakuti. Kuharap reaksiku tidak berlebihan menghadapinya.
"Senyum, dong, Kak. Udah cantik gini, lho, riasannya." Nanda berceletuk setibanya ia di sebelah kiriku.
Sekarang aku digandeng Vita dan Nanda. Kami keluar dari kamar dan seluruh mata tertuju padaku. Bagian paling lucu adalah adik-adikku, bahkan Daffa juga, melambaikan tangan dan berteriak memanggil namaku. Suasana yang haru jadi sedikit lebih meriah karena reaksi mereka. Namun, mereka juga tidak berhasil membuatku tenang. Bibirku bahkan sampai bergetar saat dipaksa untuk tersenyum.
El berdiri ketika aku dituntun berjalan menghampirinya. Ia tampak sangat bahagia sampai-sampai mataku mulai berkaca-kaca. Kukerjapkan mataku dengan cepat agar tidak membasahi riasan yang menghabiskan waktu sangat lama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
Chick-Lit[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...