78 - Emergency

879 97 19
                                    

Rafael Lazuardi

Aku sudah berada di rumah sakit sejak satu jam yang lalu, bersama Zara tentunya. Kami masih mengenakan pakaian kondangan tadi pagi. Aku tidak sempat lagi memikirkan untuk pulang dulu dan mengganti pakaian, bahkan rasa gerah pun kuabaikan. Kondisi Daria saat ini memenuhi pikiranku. Aku sengaja tidak menelepon Mama karena ia baru pulang kemarin. Kalau tahu Daria seperti ini, aku yakin Papa akan kewalahan menghadapi Mama yang mengkhawatirkan Daria.

Zara duduk cukup jauh dariku di kursi panjang. Bukan aku yang menjaga jarak, tetapi ia sendiri yang memilih duduk di sana, di ujung kursi sembari memijat kaki. Situasi ini sebenarnya terasa sangat menegangkan. Aku merasa bersalah pada Zara dengan membawanya ke sini, maka dari itu aku tidak berani berbicara dengannya. Lebih tepatnya, tidak sanggup menatap wajah kecewanya.

Aku tidak tahu berapa lama lagi harus menunggu. Dokter yang akan melakukan pembedahan pada luka-luka di tubuh Daria baru memulai operasi setelah aku menyelesaikan urusan administrasi. Mengingat tindakan seperti itu akan memakan waktu yang cukup lama, aku mulai merasa lapar. Apalagi hari sudah mulai sore.

"Ra, mau ke kantin?" tawarku. Ketika aku menatapnya, ia seperti habis membungkuk.

"Kamu lapar? Ayo." 

Intonasi bicaranya datar sekali, bahkan tidak menatapku sedikit pun. Ia pasti marah padaku sekarang–marah yang serius. Zara dikenal kalem, jarang sekali mendapatinya marah, tak peduli sebesar apa seseorang berbuat salah kepadanya. Namun, kali ini rasanya benar-benar berbeda. Benar kata mereka di luar sana, orang yang sabar itu akan sangat mengerikan jika sudah marah.

Aku berdiri lebih dulu, lalu menghampiri Zara dan mengulurkan tangan kepadanya. Kuharap ia mau menyambut uluran tanganku, tetapi ia mengabaikanku dan berdiri sambil kerepotan membenahi bajunya.  Aku tidak ingin memaksanya, jadi kumasukkan tanganku ke saku celana dan kami berjalan beriringan dalam hening.

Lobi rumah sakit sepi, ini hari Minggu dan poliklinik rumah sakit tutup. Jadi, tak banyak orang yang berlalu lalang selain pengunjung pasien yang dirawat; termasuk kami. Suara sepatu kami berdua jadi musik penggiring diamnya kami.

Kami tiba di kantin dan segera memesan, Zara awalnya menolak untuk makan dan hanya memesan minum, tetapi aku lagi-lagi memaksa dan memesan makanan yang sama denganku untuknya.

"Kamu nggak makan?" tanyaku setelah menyadari Zara sama sekali tidak menyentuh makanannya dan hanya menyedot minumannya.

"Aku sudah bilang nggak lapar, 'kan?"

Kutatap wajahnya lamat-lamat sekadar untuk mencari keseriusan di sana, dan menemukan Zara memang tidak main-main dengan ucapannya. Akhirnya kujeda sebentar makanku. Sendok yang kupakai lantas kuletakkan di atas piring. Zara mungkin mempertanyakan situasi ini, mengingat aku belum mengatakan apa-apa sejak kami berangkat ke sini.

"Maaf, kamu jadi harus ikut menunggu di sini," ujarku. Namun, Zara yang kupikir sedang tidak baik suasana hatinya hanya menunduk memainkan sedotan.

"Aku bisa pulang sendiri," balasnya. Demi apa pun aku tidak senang dengan sikapnya, tetapi aku sedang dalam posisi tidak bisa menuntut apa-apa padanya. Membawanya ke sini saja sudah sebuah kesalahan besar.

"Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa di jalan."

Akhirnya Zara mendongak dan bertemu pandang denganku.

"Ada hal lebih penting lainnya yang bisa kulakukan daripada ikut menunggui mantan kekasihmu di sini."

Aku kaget, sungguh. Itu adalah sebuah respons yang tidak pernah terpikirkan olehku.

"Zara ...."

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang