44 - Hari Pernikahan

1.3K 98 8
                                    

Rafael Lazuardi

Aku berada di ruang tengah sambil memangku Zia. Gadis kecil ini tampaknya menyukaiku, sebab ia akan mengulurkan tangan untuk menjangkau jika aku berada di sekitarnya. Padahal aslinya aku kurang menyukai berada di sekitar anak kecil. Namun, Zia yang tenang sambil memainkan jari-jariku berhasil mengubah pandanganku tentang mereka.

"Zia anteng banget ya," ujar Tante Meta-ibunya Zara-saat melewatiku. "Tunggu sebentar lagi ya, Nak Rafael," sambungnya.

Aku mengangguk dan tersenyum pada beliau. "Iya, Tante."

Om Zayed menginstruksikan kami untuk berangkat bersama ke pernikahan sepupunya Zara. Dan aku, yang lebih dulu selesai bersiap, menawarkan diri untuk memangku Zia sambil menunggu mereka bersiap.

"El, maaf lama ya."

Suara Zara mengalihkan perhatianku dari Zia. Aku mendongak dan terpana selama beberapa saat ketika melihatnya berjalan ke arahku. Zara selalu berhasil membuatku terpesona tanpa ia perlu berusaha keras membubuhkan beragam riasan di wajahnya. Namun kali ini, aku tidak tahu kata apa yang sesuai untuk menggambarkan penampilannya sekarang. Bahkan, kata indah saja tidak cukup.

Ia mengenakan gaun panjang berwarna biru malam, tidak mencetak tubuh, hanya lingkar karet di pinggang yang membuktikan bahwa tubuhnya sangat ramping. Rambut pendeknya dibiarkan terurai, tetapi ada jepit panjang yang mengkilap di sisi kanan rambutnya. Riasannya simpel, tapi Zara sudah tampak seperti seorang dewi.

Sebenarnya kain yang dipakai serupa dengan milik ibunya saat kulihat apa yang beliau kenakan tadi. Bahkan, gaun Zia pun berasal dari bahan yang sama. Mungkin itu adalah dress code khusus keluarga. Aku yang orang asing ini hanya berharap tuxedo hitamku tidak terlalu mencolok jika berada di frame foto yang sama dengan mereka.

Berfoto. Benar, aku harus mengabadikan momen ini bersama Zara. Berfoto berdua dengannya. Aku penasaran, apakah jika kami disandingkan berdua, akan tampak serasi di mata orang-orang?

"El? Kok, melamun?"

Aku mengerjap dan baru menyadari bahwa Zara sudah duduk di sampingku.

"Kamu cantik, Ra. Terlalu indah sampai aku lupa caranya berkedip." Kendati sadar bahwa pujian seperti itu tidak akan membuat Zara tersanjung, tapi aku senang ia menerimanya dengan baik. Pipinya merona dan aku jadi gatal ingin menyentuhnya.

"And you look handsome as usual, El." Zara tersenyum kemudian dan segera mengalihkan pandangannya. "Pasti kedengarannya menggelikan," sambungnya.

"Terima kasih, Ra. Kamu bikin aku mau pergi ke dokter."

"Kenapa? Kamu sakit apa?" Zara bertanya penuh perhatian.

"Jantungku berdebar luar biasa. Aku takut dia sampai melompat keluar," gurauku.

"Kukira ada apa. Padahal akunya udah serius, El."

"Lho, kan, bahaya kalau sampai kejadian? Aku nggak siap ninggalin kamu." Aku terkekeh karena ucapanku sendiri dan menjatuhkan kepalaku di bahunya, bersandar di sana.

Zara sama sekali tidak menghindar, tidak lagi bergerak gelisah seperti yang sudah-sudah. Ia fokus membenahi gaun Zia yang tersingkap karena kupangku. Dan ini merupakan perkembangan yang pesat bagiku. Pernyataanku kemarin tampaknya mengubah sesuatu di antara kami.

Atensiku teralihkan ketika terdengar suara deham yang dibuat-buat. Aku menggulirkan bola mataku dan terkejut sudah ada Om Zayed beberapa meter di depan kami. Beliau juga mengenakan tuxedo hitam dengan kemeja berwarna biru malam. Lantas aku segera menarik kepalaku lagi dan tersenyum kaku. Malu kedapatan nyender-nyender di bahu putrinya seperti tadi.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang