72 - Photo Album

818 91 9
                                    

Zara Naulia

"Ra, bangun, Nak. Kerja, kan, hari ini?"

Aku melenguh dalam tidurku ketika terdengar samar-samar suara Ibu. Kupikir aku sedang sangat merindukannya sampai terbawa mimpi dan rasanya suara itu sangat nyata. Tidak satu kali aku mendengarnya, tetapi tiga kali. Ya, tiga kali sebelum teriakan Fia memekakkan telinga.

"Kak Zara bangun! Kerjaaaa!"

Aku langsung membuka mata dan terduduk di kasur seperti orang linglung. Suara cekikikan membuatku menoleh, dan menemukan Fia sedang berdiri sambil memeluk bonekanya. Oh, di sebelahnya juga ada Ibu.

Aku mengusap wajah dan tertawa sendiri. Bisa-bisanya aku lupa kalau Ibu sudah tinggal bersamaku sejak semalam. Mereka pasti juga menertawakanku sekarang.

"Mimpi indah, ya, Nak?" tegur Ibu seraya menarik selimutku dan mulai melipatnya. Kebiasaannya yang satu itu tidak kunjung hilang. Namun, kali ini ada senyum misterius terpatri di wajahnya.

"Mimpiin Ibu lagi bangunin Zara tidur. Lucu, 'kan? Padahal Ibu ada di sini." Dan aku terkekeh, karena efek lucu dari kejadian konyol tadi masih kurasakan.

"Bisa-bisanya lupa kalau Ibu ada di sini. Dah, mandi sana, abis itu sarapan, Ibu udah masak," ujarnya seraya membanting selimutku yang sudah dilipatnya di dekat kakiku. Cara yang bagus untuk mengusirku dari kasur.

Perhatianku kembali tertuju pada Fia yang tertawa kecil. "Fia udah sarapan?" tanyaku sambil memainkan rambut pendeknya yang dikuncir dua asal-asalan, beberapa helai rambutnya tidak ikut terikat.

"Belum, Kak."

"Mandi?"

Fia tersenyum, menunjukkan sederet gigi kecilnya yang tanggal di tengah atas padaku. Dengan ekspresi itu aku sudah mendapatkan jawabannya.

"Mandi bareng, yuk?"

Fia langsung melotot karena ajakanku. "Nggak mau, Kak," sahutnya dengan keras. "Fia udah besar, bisa mandi sendiri."

"Aih, lucunya ... ." Aku mencubit pipinya gemas.

"Sakit, Kak!"

Aku melepas pipinya dan berjalan ke kamar mandi sambil tertawa. Perpisahan Ibu dan Abah mungkin terdengar menyedihkan, tetapi bagiku, adalah sesuatu yang melegakan. Mungkin Ibu juga merasa begitu, Daffa dan Fia juga.

Setelah dua puluh menit, aku keluar kamar dengan sudah mengenakan baju kerja dan tas selempang di bahu. Sejak tadi rupanya ponselku terus berdering, jadi aku membukanya sambil jalan. Kupikir ada sesuatu yang penting, ternyata hanya pesan dari Abel dan cukup membuang waktu karena sudah telanjur membacanya. Kebiasaan Abel memang begitu, mengirimkan pesan sepotong-sepotong seperti spamming.

"Good morning, Sweetheart."

Aku menoleh sebentar sekadar untuk merespons sapaan itu, sementara tanganku sibuk mengetik balasan untuk Abel.

"Pagi juga, El," ujarku tepat setelah pesanku terkirim, lalu meletakkannya di atas meja.

Sebentar, El? Aku menatap sosok di seberang meja dan merasakan deja vu. Situasi ini sudah pernah terjadi berbulan-bulan yang lalu, ketika Ibu sedang menginap di sini. Bedanya, aku sudah berpakaian lengkap saat ini.

"Kamu ngapain di sini?" Bahkan pertanyaan itu sama persis dengan saat itu.

"Menjemputmu, Ra. Ibumu bilang aku bisa ikut sarapan bareng kamu. Kamu nggak bilang kalau Ibumu menginap."

Dari kerutan di dahi dan ekspresi bingungnya, aku tahu kalau Ibu tidak menceritakan apa-apa terkait kehadirannya di sini. Untuk itu, aku benar-benar sangat bersyukur. Menyembunyikan sesuatu dari orang lain tidak pernah terasa melegakan ini.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang