Gara-Gara Kencing

9.5K 286 6
                                    

Motor yang dikemudikan Ridho sahabatku itu berhenti tepat di depan konter HP di depan rumahku. Kami baru saja pulang dari keliling jalanan buat ngilangin stresss.

"Di sini aja Dho, makasi udah ngajak jalan-jalan" Ucapku cepat begitu turun melompat dari motornya.

"Oke bos, nanti kita jalan lagi" Ridho menjalankan kembali motornya.

Sedangkan aku, tanpa melihat sosok Ridho lagi langsung kabur setengah berlari menyusuri gang menuju rumahku yang hanya berjarak 20 meter dari tepi jalan raya. Maklum aku kebelet kencing sedari tadi. Ku dengar suara mesin air brush adikku yang memang berprofesi sebagai air brusher di bengkel kecilnya di samping rumah. Ku lirik sebentar, ternyata bengkel tengah ramai oleh teman-teman adikku yang nongkrong sambil bercanda.

"Buk! Brukkk!" Anjir kakiku tersandung dan jatuh tepat lima langkah di depan rumahku.
Suasana hening sejenak. Lalu terdengarlah suara tawa adikku dan teman-temannya. Aku tak tau semerah apa wajahku karena malu yang luar biasa.

"Dapat kodoknya?" Tanya adikku meledek.

Sumpah aku mendumel dan mencaci maki di dalam hati. Aku bangkit berdiri mencoba terlihat strong dan gagah walau nyatanya siku kananku sedikit perih, ku usap sikuku itu, lecet dan berdarah meski cuma luka kecil.

Aku melirik sebentar ke gerombolan anak muda yang mungkin jumlahnya 5 atau 6, entahlah, aku terlalu malu untuk menghitung jumlah mereka karena kejadian konyol memalukan yang terjadi barusan tadi.

Wajah mereka semua masih mesem menahan senyum yang lucu, jika bukan karena segan padaku yang memang lebih tua an dari mereka, mungkin mereka sudah tertawa sengakak-ngakaknya. Termasuk juga dia, dua binar matanya memandang lucu padaku, membuat matanya yang sedikit sipit itu laksana dua bintang kecil yang menyala mengintip dari angkasa. Belum lagi bibir tipis dan lebarnya yang  setengah tersenyum itu membuatku lupa sejenak pada insiden ajaib dan menyakitkan barusan.

Tiba-tiba aku meringis, bukan karena luka perih di siku melainkan karena desakan hebat dari dalam celanaku, kebelet kencing yang minta dituntaskan. Oke lupakan sejenak si tampan yang barusan menonton aksi terjatuhku tadi. Ada misi yang lebih penting yang harus ku tuntaskan kalau tak ingin celanaku pesing dan basah.
***

Gara-gara kejadian itu, aku jadi malu buat keluar rumah jika bengkel adikku tengah ramai oleh temannya. Rasa malu dan jengkelku masih ada. Seperti siang itu, setelah empat hari berlalu. Aku ngumpet di dalam rumah sambil memainkan game, oh iya jangan tanyakan pekerjaanku, karena aku pengangguran, dan juga jangan tanyakan aku dapat duit dari mana karena rejeki itu sudah diatur Tuhan. Untung saja setelah ku intip dari jendela si tampan yang sukses membuatku terpukau kemarin hari itu tidak ada.

"Toet toet toet" Bangsat, itu bakso bakar langgananku lewat. Aku paling tak tahan jika sudah mendengar suara terompet lejen nya itu. Seolah ada mantra di suara sumbangnya yang menginginkan aku untuk memanggil si abang untuk membeli dan mencicipi bola-bola mungil nan kenyal-kenyil itu. Ingat ya, cuma bakso nya, bukan biji peler burung puyuhnya.

Tapi untuk keluar rumah dan ditatap gokil oleh anak-anak itu. Oh mau ditaruh mana mukaku.

"Toet toet, toeeetttttttt" si abang bakso agaknya sengaja mengencangkan terompetnya buat memanggilku. Ah aku tak tahan lagi, wusss ku sambar piring dan langsung berlari ke depan.

Sial ternyata si abang bakso telah di kerumuni oleh teman-teman adikku. Mau balik lagi rasanya tak mungkin, toh mereka semua sudah melihatku.

Ku tunggu anak-anak itu bubar dari gerobak bakso baru aku mendekat.
"Tujuh ribu bang, tiga besar sisanya yang kecil, gak pake tahu" ucapku sambil memberikan piring yang ku bawa. Si abang yang langgananku ini cuma tersenyum dan mulai menjejerkan bakso ke atas bara yang menyala.

"Brmmmmm" Satu suara motor datang mendekat, sepertinya bengkel adikku akan kedatangan satu bocah lagi.

Benar saja sebuah KLX muncul, dan ya Tuhan, ternyata yang datang si Tampan itu, dia muncul dengan penuh pesona dan gagah. Kaos biru laut lengan panjang dan celana panjang kuning kecoklatan. Astaga, aku terpukau lagi. Sebelum kepergok, lebih baik ku palingkan muka, pura-pura gak lihat, tapi lirik-lirik dikit boleh lah.

"Baksonya bang" Satu suara yang renyah namun berat mengalun dari sampingku. Ku putar kepalaku ke kiri.

"Dag dig dug" Jantungku mendadak berdegup.

Sejengkal, ya cuma sejengkal jarak kami, si tampan itu berdiri di sampingku.
Tiba-tiba dia ikut melirik ku dengan wajah dihiasi senyum kecil.

"Alamak, mampus aku" Makiku dalam hati. Cepat-cepat ku palingkan mukaku. Senang ada, malu ada ah pokoknya nano-nano rasanya.

Bang Bakso menyorongkan piring berisi bakso pesananku, segera aku membayar dan melangkah cepat-cepat.

"Hati-hati bang, awas jatuh lagi!" Suara si tampan itu memperingatkan.

"Kampret" cecarku dalam hati, masih ingat saja dia, dan sialnya ucapannya itu malah diikuti suara tawa anak-anak yang lain. Bertambah lagi adonan rasa di hatiku selain rasa senang dan malu yaitu tentu saja rasa "Jengkel".
***

DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang