Tanda Tanya

1K 65 5
                                    

Kembali pada Adri:

Aku baru saja tiba di rumah setelah diantar oleh Bani, dengan perasaan campur aduk. Tadi sebelum tiba adikku menelpon mengabari kalau dia dan istrinya juga ayahku akan ketempat mertuanya, ada acara arisan disana.

Aku mencari kunci yang biasanya disembunyikan dibawah pot bunga jika aku ditinggal di rumah. Ku buka pintu dengan kunci yang baru ku temukan, bergegas aku ke dapur, mengambil segelas air dan langsung meneguknya. Setelah itu keruang tamu, aku duduk diatas sofa guna merenungi apa yang semalam aku alami.

"Aku menyayangimu bang, menikahlah denganku" kata-kata Bani itu kembali melintas di kepalaku.

"Konyol" celetukku. Sepasang mataku membentur cincin di jari manisku, indah dan aku yakin mahal. Sayang cincin ini tidak seindah kisah cinta kami.

Lagi pula pernikahan seperti apa itu? Hanya sebatas basa-basi diantara kami berdua, bukankah pernikahan itu membutuhkan tuan Kadi? Membutuhkan saksi dan wali, membutuhkan mahar, membutuhkan  ijab kabul dengan tembusan langsung kepada Tuhan?

Aku jadi tertawa sendiri.
"Bani koplak" kekehku.

Tapi diam-diam ada sesuatu yang menyentak di dalam sanubariku. Patutkah aku mentertawakan kesungguhannya? Bukankah pernikahan yang resmi lengkap dengan pernak-perniknya seperti yang barusan kuucapkan itu hanya berlaku buat pasangan pria dan wanita? Lalu bagaimana dengan gay? Tuhan tidak pernah mengaturnya bukan? Karena Tuhan membenci dan tak mengakui gay?

Serrrr, berdesir darahku ketika menyadari hal ini.
"Mungkin Bani benar, anggap saja pernikahan kemarin sebatas niat dalam hati saja. Pasangan gay hanya bisa menikah dalam mimpi dan angan, dalam kehaluan bukan dalam kenyataan" aku menggigit bibirku.

"PING" ponselku berbunyi, ku lihat ada pesan masuk dari Ridho.
"Di rumahkan? Aku ke sana ya?"

"Oke" balasku.

Tak butuh waktu lama, Ridho pun datang dengan membawa kue bolu kukus.

"Tumben bawa kue segala?" Tanyaku.

"Oh iya nih, tadi malam Diah habis belajar bikin kue, jadi dia bawa ini nyuruh aku nyicipin, karena kebanyakan ya aku kasi ke kamu " jelas Ridho yang duduk santai di sebelahku.

"Oh aku cicipin ya" aku mencomot satu dan langsung mengunyahnya. Enak juga.

"Gimana?" Tanyanya.

Aku mengacungkan jempolku.
"Pintar kau cari pacar"

"Dikit lagi jadi istri" celetuk Ridho.

Seketika aku putar bola mataku buat menatapnya, penuh tanda tanya.

"Dua Minggu lagi aku mau melamarnya, kau ikut ya?" Pinta Ridho.

"Yakin kau sudah serius?" Tanyaku.

Ridho mengangguk.

Wajahku sedikit redup, selama ini Ridho menjadi salah satu teman yang sering menemani dan mengajakku nongkrong, dengan dia menikah itu artinya kebersamaan kami sebagai sahabat akan berkurang.

"Ya gak usah sedih gitu lah. Aku janji, meski nanti aku sudah merid aku akan tetap ingat samamu. Status boleh sudah jadi suami orang, tapi persahabatan harus tetap jalan" tegas Ridho sambil menepuk pundak ku.

"Oh, selamat ya" ucapku dengan perasaan mengganjal. Bayangan pernikahan kembali mengusikku.

"Mikirin apa sih? Sampai muka ditekuk gitu?" Celetuk Ridho.

"Senang ya jadi pasangan yang normal, gak ada yang perlu ditakutin dan dipikirin, kalau sudah cocok dan mapan tinggal lamaran lalu menikah. Berbeda dengan gay, hanya bisa ngehalu dan berangan-angan" keluhku pada Ridho.

Ridho terdengar menarik nafas dalam.
"Sudah resiko seorang gay bukan? Kau harus siap jika masih ingin mempertahankan orientasi seksualnya itu?"

Segera aku menatapnya tajam.
"Maksudmu? Apa kau pikir orientasi seksualnya ini benda, yang bisa dipungut lalu dibuang terus seketika aku bisa jadi laki-laki normal?"

"Ow ow ow, jangan ngegas lah sob! Bukan itu maksudku, tapi aduh gimana ya bilangnya, aku gak masalah kau gay ataupun normal, tapi kau harus siapkan dirimu Dri, selama masih di Indonesia cepat atau lambat seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, contohnya adalah Bani, mantanmu itu dan bukan mustahil Yoga juga"

Crasss, hatiku seakan tercabik. Aku tau dan sadar akan hal itu, bahkan sudah memikirkannya. Tapi siapkah aku?

"Kau sendiri apakah kau tidak berpikir akan menikahi seorang perempuan?" Tanya Ridho.

"Buat apa? Aku tak mau mengorbankan seorang perempuan hanya untuk dijadikan topeng. Lebih baik aku tak menikah"

"Apakah Yoga juga punya komitmen yang sama?" Tanya Ridho lagi

Glekkk, ludahku seakan berat buat ku telan. Sekalinya tertelan rasanya menyesakkan. Aku menggeleng.

"Coba kau tanyakan padanya, mau dibawa kemana hubungan kalian ini. Kalau dia belum punya komitmen. Siap-siap saja jika kemungkinan buruk itu terjadi. Tapi bukan maksudku menakuti, aku ngomong begini demi kebaikanmu juga. Intinya jika aku nanti menikah kau harus datang, bawa kado yang istimewa ya" diujung pembicaraannya Ridho masih sempat berkelakar.

Aku cuma tersenyum simpul, sedangkan otakku dipenuhi tanda tanya.
***




DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang