Kembali pada Adri:
Dua minggu aku telah sembuh dari radang paru-paru, cairan yang mengidap di alat pernafasanku itu telah berhasil dikeluarkan. Aku sendiri tak menduga akan merasakan bagaimana menjalani hari-hari di dalam rumah sakit, ternyata gak enak. Jangan sampai aku kena sakit yang aneh-aneh lagi, cukup ini yang pertama dan yang terakhir.
Ini hari pertama aku pulang, entah mengapa aku pengennya pulang ke rumah orang tuaku. Aku kangen rumah itu, karena di rumah itu penuh kenanganku bersama mendiang ibu, dan rumah itu pula menjadi tempat awal pertemuanku dengan dia... Pria yang pernah memanggilku sebagai abang pemalu, pria yang pernah menertawakan ku saat aku terjatuh di depan pintu, dan pria yang pernah memintaku menyuapi bakso bakar ke rongga mulutnya yang seksi, pria itu adalah Bani. Berat rasanya menyebut nama itu, karena tiap mengingatnya selalu saja menyesakkan dada.
Aku seperti kembali ke stelan pabrik, hari-hari ku lalui dengan biasa saja, hidupku monoton, pagi kerja dan pulang sore, sampai rumah mengurung dikamar, lalu tidur. Keadaan itu lama-kelamaan membuat hubunganku dengan Yoga menjadi tawar. Ah Yoga, maafkan aku Yog, aku tak tau kenapa aku bisa seperti ini. Kau sudah baik dan perhatian padaku, tapi... Hati ini tidak dapat ku kontrol, otak ini tak dapat ku kendalikan. Maafkan aku Yoga.
Dan ternyata itu membuat Yoga mengeluh, meski dia tak ngomong langsung padaku. Tapi aku sempat mencuri dengar di tempat kerja, saat jam makan siang Yoga curhat pada Aji.
Aku menggigit bibir mendengar pembicaraan mereka, intinya Yoga merasa putus asa, dan mungkin kecewa padaku. Jujur aku memang senang pada Yoga, aku juga sayang pada Yoga, tapi kenapa beda seperti rasaku pada Bani. Seolah-olah Bani hidup menjadi sang penggenggam jantungku. Dia selalu ada dalam segenap rasaku.
***Hari minggu ini entah mengapa Aji mengajakku dan Ridho, juga pacar masing-masing rekreasi ke pantai.
"Keseringan tutup entar bangkrut" Celetuk Yoga karena demi liburan ini kami menutup grosir.
"Kalau sudah rejeki gak akan kemana Yog, lagian kau dan Adri perlu refreshing. Oh iya Dri kapan kau kembali ke rumahku?" Tanya Aji.
"Oh eh, lusa" Jawabku tergagap, sebenarnya aku sudah tidak ingin tinggal di rumah Aji tapi aku tak enak pada bosku itu dan juga Yoga tentunya.
Kini kami telah membuat camp di tepi pantai di sebuah pulau. Indah, pasirnya putih dengan air bening kehijauan. Kami para pria langsung membuat pemanggangan untuk membakar ikan. Begitu pula dua gadis yang mempersiapkan bumbunya, mereka adalah Diah pacarnya Ridho, juga Rindi pacar Aji. Sesekali terdengar suara tawa kami yang riuh, apalagi kalau Yoga memulai humor semi pornonya. Aku cuma menggeleng-geleng sembari senyum malu-malu, ingin rasanya aku menyumpal mulut Yoga dengan celana dalam. Aku sendiri tengah mengipasi bara yang memanggang ikan pari untuk Yoga, ini kesukaannya. Tak lama kemudian Yoga mendekati dan membantu.
"Aku senang kau sudah mau tersenyum lagi, akhir-akhir ini wajahmu jutek mulu" Celetuk Yoga sambil meratakan bara dibawah panggangan.
"Habisnya ceritamu jorok sekali. Apaan itu ada anak kecebong masuk ke dalam goa, terus di dalam goa itu ada ular besar yang maju mundur siap mematuk si cebong, untung saja cebong nya jago ngelak, walau akhirnya ujung-ujungnya malah di muntahin sama si ular. Ceritamu itu terlalu vulgar, aku tau maksudnya, tuh ular kiasan buat titit yang lagi ngewekan?" Aku mencibir pada Yoga setelah menceritakan kembali cerita jorok ala Yoga itu.
"Kalau gak begitu mana mungkin aku bisa melihat kau tertawa. Akhir-akhir ini kau selalu murung" Ucap Yoga dengan cengengesan.
Seketika ludahku terasa pahit, terbit rasa bersalahku pada Yoga. Maafkan aku Yog, aku tau kau menyayangiku, bahkan teramat sayang, tapi aku bisa apa? Aku lemah Yog.
"Maaf ya Yog, aku..""Ssttt, sekarang kita lagi piknik, jangan bahas yang sedih-sedih dulu" Setelah berucap Yoga meraih tanganku yang tengah mengipasi bara. Kemudian dengan saling bergenggaman kami mengipasi bara itu. Hangat, memang tangan Yoga begitu kokoh dan hangat, sungguh genggaman yang sempurna. Tapi tetap saja bayangan sosok kenangan itu yang masih menjadi raja.
Setelah matang, kami pun makan bersama dengan lahapnya, sesudah itu lalu tanpa tunggu lama langsung berlari menuju pantai dengan ombaknya yang memanggil-manggil. Ridho dan Diah telah saling menciprati air, sedangkan Aji dan Rindi sibuk berfoto ala-ala ABG yang berpacaran. Kalau Yoga, ya sudah pasti berenang, itu hobinya.
"Kau tak renang Dri?" Tanya Yoga memanggilku.
"Gak, takut terseret ombak. Aku belum pernah main apalagi berenang di pantai" Teriakku menjawab.
Kejap kemudian Yoga telah berbaur dengan pengunjung pantai lain yang juga tengah berenang.
Aku tersenyum melihatnya, setelah puas memandangi aksi Yoga, aku mengedarkan pemandangan. Mencari sisi pantai yang nyaman dan tak terlalu ramai.
"Ah, di sebelah sana" Ucapku sambil memandang ke sebelah kiri, nun di sana ada tumpukan batu yang bisa kupakai bersandar sembari melihat tarian ombak. Aku melangkah dengan bergairah.
Sampai di sana aku langsung duduk bersandar dengan memeluk kedua lututku. Setelah puas memandangi gulungan ombak aku pun bermain pasir, dengan menggunakan jari telunjukku, aku menggambar di sana. Menggambar satu buah hati yang retak dan terkoyak, di satu sisi aku menulis huruf B, dan di sisi sobekan hati yang lain ada huruf A. Inisal Bani dan juga Adri, namaku.
"Ban, kita tak akan pernah bersatu lagi" Lirihku pelan, dan ya ampun mataku mendadak berkaca-kaca oleh genangan air mata, hingga sedikit silau karena membiaskan sinar mentari. Kembali lagi, otakku tak terkontrol, aku memikirkan Bani tanpa henti dan tak ada habisnya, hatiku hanya menyebut nama Bani, Bani dan Bani.
"Take my heart and rip it out, bring it to the other side" Bibirku berulang kali menyenandungkan cuplikan lirik lagu favoritku. Tiba-tiba aku kosong, aku kini sudah dibawah kendali hayalanku.
"Bani" Ucapku seketika.
"Bani" Ulangku sekali lagi, suaraku serak bercampur haru dan asa. Bagaimana tidak, di ujung sana tepat di pantai dengan ombak-ombaknya, aku melihat sosok Bani berdiri sambil lambaikan tangan ke arahku, dia memanggilku."Bani..." Sekali lagi aku kegirangan. Tanpa pikir panjang aku bangkit, dengan setengah berlari aku menuju ke padanya. Kakiku mulai basah di terjang ombak.
"Bani" Lirihku. Air mataku pun tumpah tak tertahan, pertanda rindu yang teramat dalam.
"Adri, aku sayang kamu. Ikutlah denganku" Ah suara Bani itu, masih begitu indah melenakan telingaku. Aku terhanyut.
"Pasti Ban, pasti. Bawa aku kemanapun kau pergi" Jawabku mantap,
Bani tersenyum padaku, sosok tampan yang mengenakan kaos polos putih itupun melangkah ke depan. Menuju ke tengah ombak, seakan terhipnotis aku mengikutinya.
"Take my heart and rip it out, bring me to the other side" Kembali aku menyanyikan senandung lagu itu, khusus buat Bani. Ku nyanyikan lagu itu dengan lelehan air mata haru, karena memang itulah suara hatiku, aku ingin Bani membawa hatiku, menuju sisi lain dimana hanya ada aku dan dia.
"Ban tunggu! Jangan terlalu cepat" Tapi Bani semakin menjauh ke tengah. Aku pun mengejar dan siap melompat memeluknya dari belakang.
Namun byurrr, aku terhanyut, dan mulai tergulung ombak. Semua mulai buram, kesadaranku mulai mengambang mengawang-awang.
"Adri! Apa yang kau lakukan?" Satup-sayup ku dengar suara seseorang berteriak disertai derap kaki yang berlari sangat cepat. Lalu sosok itu juga melompat meraihku. Aku tak bisa berpikir lagi, karena kepalaku mendadak berat dan duniaku seketika menggelap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)
Roman d'amourSeorang pemuda yang tergila-gila dengan sahabat adiknya bernama Bani. Apakah perasaannya akan terbalas? Apakah Bani straight atau gay? Bagaimanakah akhir dari perasaan sayang itu?