Memuji Bukan Berarti Suka

1.6K 104 6
                                    

Sebelum meninggalkan sungai itu, aku menyempatkan memungut bangkai ponselku. Remuk dengan layar pecah seribu. Aku melirik pada Bani, aku masih menyayangkan sikapnya yang terlalu mudah terbakar  cemburu hingga smartphoneku harus menjadi korban.

"Maaf bang" Ucap Bani memelas, dia memandangku dengan tatapan bersalah.

"Hmmm, gimana ya? Kau terlalu mudah membanting barang. Kau tak tahu untuk membeli smartphone ini aku harus menabung hampir 4 bulan" Aku mengungkapkan kekesalanku, maksudnya biar Bani tahu bahwa apa yang tadi dilakukannya itu tidak baik. Mungkin kali ini dia membanting barang, bukan mustahil kalau kami bertengkar lagi kelak giliran kepalaku yang dibantingnya.

"Ya sudah nanti kita singgah ke toko hp, beli yang baru" Jawab Bani untuk menunjukkan rasa bertanggung jawabnya.

"Bukan masalah harga atau barunya Ban, tapi usahanya, kau gak tahu waktu aku mau beli HP ini aku harus ekstra hemat mengurangi jajan, lagi pula banyak kenanganku bersama Ris.." Cepat-cepat aku menutup mulutku, hampir saja aku keceplosan. Memang riwayat smartphone ku ini tak lepas dari Risky, dia yang mengantarkanku ke toko buat membeli, tatkala uangku kurang tiga ratus ribu, Risky memberikan uang tambahan dari kantongnya, padahal waktu itu dia juga masih belum memiliki pekerjaan tetap, hanya sebagai penyuci motor di sebuah door smeer, yang paling dari satu motor dia hanya dapat keuntungan tiga ribu perak.

"Siapa? Risky?" Namun Bani yang memang selalu berpikir kritis langsung dapat menebaknya.
"Syukurlah tuh hape hancur. Gak suka aku melihatmu masih mengingat-ingat anak itu" Aura wajah Bani langsung muram, memang ya orang paranoid dan cemburuan itu susah sekali menghilangkan sifat mudah curigaannya.

Aku ingin sekali membantah ucapan Bani barusan, tapi sudahlah, aku mengalah saja, malas harus ribut lagi.

"Ayo kita pulang" Bani meraih tanganku, dia membawaku menuju di mana KLXnya terparkir di samping sebuah pohon.

Sepanjang perjalanan kami menjadi diam, Bani melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Meski dari spion kulihat matanya fokus namun aku tau ada satu ganjalan dihatinya. Aku tau dia pasti ngambek karena aku masih mengingat-ingat Risky.

"Udah dong Ban, jangan ngambek gitu dong" Aku mencoba mencairkan suasana.

"Siapa juga yang gak ngambek kalau pacarnya masih ingat-ingat mantan" Sewot Bani.

"Risky bukan mantan, kami gak pernah pacaran" Bantahku.

"Gak pacaran tapi pernah enak-enak kayak pacaran" Masih tetap sewot dianya.

Aku gemas sekali, dari spion bisa kulihat raut wajahnya sekarang. Lucu dan menggemaskan, aku baru tau kalau orang ganteng itu saat ngambek bisa berubah jadi sangat imut dan manis. Aku mencubitnya dengan gemas di perut.

"Kamu ya, bisa gak mikirnya jangan negatif terus" Omelku.

"Bisa, asal kau jangan ungkit-ungkit sainganku" Celetuknya pula.

"Dududuh, gemes banget liat kamu ngambek gini" Segera aku melingkarkan kedua tanganku memeluk perutnya, lalu aku bersandar di punggungnya. Dengan memejamkan mata aku mencoba meresapi kehangatan tubuh Bani.

"Bang" Tegur Bani sambil terus menyetir motornya.

"Hmm, jangan ganggu dulu. Aku ingin merasakan empuknya tubuhmu ini" Sahutku.

"Bang, bisa gak tanganmu turun dikit agak kebawah, sekalian usap-usap"

Kedua bola mataku langsung mendelik, karuan saja aku langsung angkat kepalaku dari punggungnya.
"Huh dasar jalang, baru saja di sungai tadi dikasih jatah, sekarang udah minta lagi" Ucapku jengkel.

"Alah, usap-usap aja lho. Gara-gara kau peluk jadi bangun lagi 'dia'" Bani kembali memelas.

Dengan kesal aku turuti maunya, ku turunkan juga tangan kananku ke bawah perutnya, namun bukannya mengusap aku justru meremas kelaminnya yang memang sudah setengah menegang. Karuan saja Bani kaget dan berseru tertahan, sesaat motor kami oleng.

DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang