Dari Balik Jendela

1.1K 75 4
                                    

Seminggu berlalu dengan cepat, aku sendiri telah keluar dari kos. Kini aku membuat jadwal, kapan aku menginap di rumah Aji dan kapan aku pulang ke rumah ayah, terus terang aku lebih sering pulang ke rumah Ayahku. Entahlah, aku selalu merasa ada bisikan yang memanggilku ke rumah itu, adapun Yoga, meski heran dan bingung akan sikapku, tapi dia tak memaksa. Dia memang pengertian, dia tahu kalau aku masih butuh waktu, walau tak tentu kapan ujungnya.

Di akhir pekan ini aku kembali pulang ke rumah orang tuaku. Seperti biasa, gaya hidupku monoton, pulang lalu mandi dan masuk kamar, bahkan aku tak bernafsu menyentuh makanan. Aku meringkuk duduk di tepi ranjang, memikirkan betapa kacaunya hidupku setelah Bani menikah, jadwal makanku jadi tak beraturan, sehari kadang dua kali bahkan malah cuma sekali, tidur tak pernah cepat, paling cepat jam 2 dini hari. Pantas banyak yang bilang kalau sekarang wajahku pucat dan agak semakin mengurus, belum lagi mataku yang mulai menghitam seperti mata panda. Yang jelas aku selalu melewati malam dengan menangis sembari memandangi foto-foto Bani. Berharap dia hadir di sebelahku, meskipun hanya di dalam mimpi.
***

Pagi sekali ponselku telah berbunyi karena ada telepon yang masuk, dengan mata masih terpejam hanya tangan yang meraba-raba aku meraih ponselku. Dengan suara berat aku menjawab.

"Hallo" bahkan aku belum sempat mengecek layar ponsel untuk melihat siapa yang menelpon.

"Hallo Dri" ah Aji ternyata.

"Iya Ji ada apa?" Tanyaku sambil menguap.

"Dri bilang sama anak-anak hari ini libur. Mendadak, pamanku yang di Medan meninggal dunia. Jadi grosir tutup saja"

"Oh, innalillah turut berduka ya Ji, apa aku perlu ikut ke Medan?" Tanyaku

"Gak perlu Dri, aku udah di jalan nih bareng Yoga. Kenapa? Mau ngomong sesuatu sama dia?" Tanya Aji padaku.

"Oh enggak ah, titip salam aja. Bilang hati-hati sama dia. Kamu juga" ujarku berbasa-basi.

"Oke" tuts telepon pun putus.

Aku sekali lagi geliatkan tubuh sambil meregangkan otot, ku lirik jam di dinding, ah pukul 6 pagi, sial hari ini cuma tidur 3 jam doang. Gumamku, aku segera bangkit menuju kamar mandi, mengeluarkan sesuatu yang menyesaki kandung kemihku dan tak lupa membersihkan wajah dan mulut. Setelah membasahi sedikit rambut aku pun keluar, tak lama kemudian Desi, adik iparku pun telah bangun. Tak ada pembicaraan yang terjadi, ah entahlah, mungkin aku yang semakij pendiam saja. Aku menuju dapur, membuat segelas susu dan kembali ke kamar, menikmati sarapan kecil dengan biskuit yang sempat ku beli tadi malam sambil memutar klip musik favoritku di handphone. Semua lagu-lagu galau. Entahlah, ada yang menyarankan kalau lagi sedih sebaiknya mendengarkan lagu-lagu ceria agar balikin mood. Tapi aku tidak, kalau lagi sedih, ya lagu-lagu yang kudengarkan pun harus bernuansa melankolis agar semakin bisa memuaskan tangisan hatiku.

Ada kira-kira sejam aku begitu hingga akhirnya ku dengar ketukan di pintuku.

"Bang, sarapan yuk. Ada nasi goreng" panggil Desi dari balik pintu.

"Duluan aja, belum lapar" jawabku, bukan maksudku gak menghargai usaha Desi untuk beramah tamah denganku, tapi memang moodku yang lagi gak ingin makan nasi.

Kembali aku tenggelam dengan dunia maya, bahkan kini aku kembali menelusuri akun Instagram milik Bani, ah aku memang bodoh, sudah tau aku kecewa dan sakit hati tapi tetap saja aku masih mantengan media sosial Bani tersebut, padahal disana jelas-jelas terpampang banyak foto-foto pernikahannya dengan Putri. Aku hanya bisa memandangi gambar itu dengan senyum miris.
***

Jam sembilan pagi, adikku telah memulai aktifitas bengkelnya sedangkan aku masih menyendiri di kamar. Di luar sana mulai kudengar suara berisiknya mesin compresor juga suara adikku yang tengah bercanda dengan anggota bengkelnya.

Hingga akhirnya bremm bremm bremm, satu suara motor berhenti di luar sana, di bengkel adikku. Astaga itu suara motor miliknya. Detak jantungku pun mendadak bergetar dahsyat, ah begitu besar rasaku sampai-sampai suara motornya saja masih kuingat, padahal secara logika bukankah suara motor itu kebanyakan sama? Bukannya banyak diluar sana pengguna motor KLX, tapi kenapa di telingaku suara KLX milik Bani lebih istimewa, seistimewa sang empunya.

Dengan dada tercekat aku mendekati jendela kamarku untuk melihat keluar. Deg deg deg debaran jantungku sedemikian dahsyat tatkal tanganku bergerak ingin menyibak tirai. Spontan, ya spontan sekali dua bola mataku memanas, ku lihat Bani muncul dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang, sumpah ganteng sekali, jarang sekali Bani memakai kemeja lengan panjang. Mungkin karena feeling atau apa tiba-tiba saja Bani juga menoleh ke arah jendela kamarku.

Empat mata seketika beradu, aku dan dia sama diam membatu. Ah Bani, dua bola matamu masih sama seperti dulu, selalu membuatku kalah wibawa darimu. Tikk... Ah ada air mata yang menitik di mataku, cepat-cepat aku menghapus air mataku dan menutup tirai kembali. Bahkan sekalian jendelanya. Ah bodoh sekali aku, padahal ini kesempatanku untuk melepas rindu? Mumpung Bani datang seorang diri.
Jantungkupun semakin berdebar tak menentu. Hingga tak berapa lama kemudian.

"Tok tok tok" suara pintu kamarku diketuk.
"Bang Adri"

Ya Tuhan, suara itu? Aku terpaku.

"Bang Adri" panggil suara khas itu dengan lembut. Ada harap yang kutangkap agar aku membuka pintu.

Setelah tenangkan gemuruh dada. Akupun membuka pintu.

"Krekkk" pintupun terkuak. Dan kalian tau apa yang terjadi, secepat kilat Bani menutup pintu kamarku. Di balik pintu itu dia memeluk erat tubuhku. Bahkan tak hanya itu, dia juga menciumi wajahku bertubi-tubi. Membabi buta, tak perduli ciumannya menempel dimana, di alis, pipi, kening, kelopak mata, hidung, hingga bibir, ah rasanya setiap inchi kulit wajahku telah kena kecupan bibirnya.

Spontan saja aku langsung meleleh, air mataku telah tumpah tak mampu ku cegah.

"Sstttt kok nangis sih bang?" Ucap Bani sambil pegang pundakku, lalu sebelah tangannya bergerak menghapus air matiku. Ya ampun, sentuhan Bani masih sama seperti dulu, sama-sama mematikan akal sehat dan membuat candu.

"Jangan nangis lagi ya" senyum Bani penuh kehangatan. Kami berduapun duduk di sisi ranjang. Masih diam membisu, aku bingung ingin bicara apa, hatiku masih shock.

"Kau kurusan ya sekarang? Matamu juga sembab. Tolong jaga kesehatanmu. Jika kau sakit maka aku juga akan merasa sakit" Bani mengelus rambutku, sumpah aku kangen sekali elusan itu.

Tapi aku cuma diam saja.

Hingga akhirnya ku dengar Bani mendesah hampa, mungkin juga kecewa melihat reaksi dinginku.
"Agaknya kau lagi gak mood, padahal aku datang jauh-jauh mau ngajak jalan. Tapi gak apa-apa, melihatmu saja aku udah senang setengah mati. Aku kangen" ucap Bani sembari tersenyum manis, dia pun bangkit menuju pintu ingin keluar kamar.

Melihat itu semua kedua matakupun melebar, ya Tuhan aku belum puas memandang wajahnya, aku belum puas berada di sisinya, aku, ah untuk saat ini aku ingin bersama dengannya lebih lama.

"Ban!" Tegurku juga. Seketika langkah Bani terhenti, dia menoleh padaku dengan wajah cerah.

"Bentar. Aku mandi dulu" ucapku sambil menghadiahinya senyumanku

"Akhirnya.. aku bisa melihat senyummu itu lagi. Ya udah aku tunggu diluar ya" Ucap Bani dengan girang, dengan pasti dia melangkah meninggalkanku, sedangkan aku bergegas menuju kamar mandi.

Pagi itu aku memakai pakaian terbaikku, deodorant, parfum, bahkan sedikit bedak ku kenakan. Aku ingin terlihat perfect hari ini, khusus untuk Bani.

Bisa kulihat Bani sedikit terperangah melihat tampilanku. Karena memang setelah bekerja aku sedikit tidaknya mulai memperhatikan dan merawat penampilanku.

Bani dengan sumringah menyerahkan satu buah helm padaku.

"Bang Wan, pinjam bang Adri ya" Canda Bani pada adikku. Aku dengan menahan debaran dada pun naik ke motor itu.

"Jangan jauh-jauh, awas aja kalau abangku itu lecet. Mati kau kubuat" jawab Adikku dengan bercanda pula.

"Jangan lupa oleh-oleh" celetuk Desi pula.

Bani menjawabnya dengan senyum, mesin motor pun menyala. Lalu KLX itu membawa ku dan Bani menjauh. Aku sendiri tak mempertanyakan kemana tujuan Bani, aku tak perduli itu. Aku hanya ingin bersamanya sekali lagi, bahkan kalau bisa bersama selamanya.
***

DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang