Mulut Yang Tajam

2.6K 174 3
                                    

Aku terbelalak kaget tak percaya menerima kabar dari Ridho yang menelpon ketika aku tengah beristirahat setelah mengecek ketersediaan barang di gudang grosir.

"Masa sih Dho si Desi adik iparku itu ngomong gitu?" Tanyaku sekali lagi dengan jantung mendadak berdebar sakit.

"Aku dapat cerita dari si Rendy adikku, dia tadi nongkrong di bengkel, jadi dia dengar semua omongan buruk tentangmu" Ucap Ridho dari telepon.

Aku tau Ridho tak mungkin bohong, dia adalah seorang teman yang dari dulu selalu tak terima jika ada yang menggangguku baik secara fisik maupun sekedar omongan buruk.

"Sama siapa saja dia cerita? Apa Bani ada disana?" Tanyaku mulai gelisah.

"Gak tau aku Dri, si Rendy gak ada cerita, katanya rame lah" Jawab Ridho, dia sudah tau kalau aku suka dengan Bani karena aku pernah bercerita padanya.

Aku pun terdiam. Aku memang sangat sensitif dengan omongan orang, baginya lebih baik dia dihajar secara fisik daripada dilukai oleh kata-kata.

"Maaf Dri, bukan maksudku buat mengadu domba antara kau dengan adik iparmu. Cuma aku udah kenal kau lama, kita temanan udah kaya saudara, baik atau kurangnya dirimu kita tetap teman. Aku cuma gak terima kalau ada yang ngomongin kamu. Gak semua orang sebaik apa yang kau kira sekalipun keluarga sendiri, malah terkadang teman jauh lebih pengertian daripada saudara sendiri" Ucap Ridho.

"Makasih Dho" Ucapku sebelum omongan telepon kami berakhir.

Gara-gara itu aku jadi kepikiran dan gak semangat lagi bekerja. Dari cerita Ridho, aku sadar bahwa selama ini dia dianggap beban keluarga oleh Desi, adik iparnya itu. Dianggap
pemalas, pengangguran, dan taunya hanya main HP saja, dan itu sangat menyakitkan hatiku.

Aku jadi teringat jika Desi marah pada anaknya, adik iparku itu pasti mengucapkan kata-kata pada anaknya kalau sudah besar jangan jadi pemalas dan beban keluarga, pasti mungkin maksud Desi sekaligus untuk menyindirku. Mataku langsung berkaca-kaca, jujur aku memang baperan, tapi apakah perasaan baper itu salah dan buruk? Malah terkadang kata-kata Baper sering dijadikan senjata para pembully untuk menyudutkan korbannya. Kata-kata ampuh para pembully jika melihat korbannya marah atau sakit hati adalah "Gitu aja baper" bukan kata-kata minta maaf.

Tentu saja Aji yang ada di sana menjadi heran melihat perubahanku yang langsung beraura sendu.

"Kenapa Dri? Apa kau sakit?" Tanya Aji ketika dilihatnya aku selesai meletakkan kardus berisi mie instan di gudang.

"Ah gak kok?" jawabku bohong.

"Ada masalah?" Tanya Aji tak percaya.

Akupun  terdiam sebentar namun akhirnya keluar juga pernyataanku.

"Ji, apa disekitar sini ada tempat kos yang murah?" Tanyaku pada Aji.

"Hmmm ada sih, kenapa? Mau ngekos?"

"Iya, biar gak capek-capek pulang pergi tiap hari" Jawabku bohong.

"Kenapa gak tinggal dirumahku saja, banyak kamar kosong tuh" Tawar Aji.

Aku cepat meggeleng, takut jika dia juga dianggap beban sama keluarga Aji yang ditumpangi.

"Makasih Ji, aku pengen ngerasain tinggal sendirian, kau taukan aku punya sampingan yang lumayan. Joki game dan penulis terbang ke sejumlah koran, aku rasa suasana yang hening sendiri cocok buatku" Ucapku memberikan argumen.

"Ooo iya, asal kau jangan berhenti dari grosir ini ya, kau itu bawa hoki. Buktinya hampir dua bulan di sini grosir kita langsung berkembang pesat. Malah aku ada rencana buat buka cabang" Tanggapan Aji.

DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang