Tragis

1.4K 85 7
                                    

Esoknya hari kembali ke aktifitas biasa, bekerja karena grosir kembali buka, Yoga dengan menenteng oleh-oleh masuk ke dalam grosir, para pekerja yang lainpun berebut. Hanya aku yang cuek sambil memandang kesal pada pria jangkung itu.

"Senang ya habis dikerubungi anggota yang cewek" sindirku begitu Yoga menemuiku.

"Hahaha gak usah cemburu, nih buat kamu aku tinggalin yang istimewa" Yoga menyodorkan sebatang coklat yang disembunyikan di saku jaketnya.

"Kecil amat coklatnya" ledekku lagi.

"Mau yang besar? Ini ada yang lebih besar" ucap Yoga sambil mengusap selangkangannya.

"Anjing, dasar cabul" makiku, Yoga ngakak.

"Bentar ya sayang, aku buatin kopi" Bisik Yoga di telingaku. Lalu dia ke belakang untuk membuat kopi, beberapa menit kemudian dia kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas kopi.

"Pelan-pelan masih panas" ingat Yoga ketika aku ulurkan tangan untuk meraih gelas, namun tiba-tiba.

"Krakkk" Seujung kuku tanganku akan menyentuh gelas itu, tiba-tiba saja gelas itu retak dan pranggg, disusul dengan pecah, air kopi itupun meluber membasahi steling kaca di mana nampan kopi itu diletakkan. Wajahku pucat seketika, sedangkan Yoga melongo heran.

"Pertanda buruk" ucapku datar.

"Huss ngomong apa kau. Tahayul itu, baik buruk itu Tuhan yang menentukan, bukan gelas" sanggah Yoga sembari memegang bahuku.

Aku cuma diam karena mendadak kurasakan dadaku mendenyut teramat sakit untuk sepersekian detik.

"Mungkin tadi anak-anak yang lain ada yang make gelas itu buat es, terus aku siramin air panas makanya jadi pecah" Yoga kembali menenangkan ku.

Setelah mengangguk dan menenangkan diri aku tersenyum, walau mendadak perasaan tidak enak terbit di dalam debar jantungku.
***

Aku kemalaman pulang dari grosir, habis Maghrib. Aku kembali pulang ke rumah orang tuaku, walau Yoga sudah merengek-rengek memintaku menginap ke rumah Aji. Tapi aku menolak, aku akhirnya berjanji besok baru akan menginap disana langsung selama seminggu biar Yoga puas dan senang.

Baru saja aku parkir di depan rumah, tiba-tiba satu mobil memasuki pekarangan rumahku, setelah membunyikan klakson kaca jendela mobil itu turun, satu wajah pria berusia diatas empat puluh lima langsung menatapku. Aku tak kenal, tapi sorot matanya kenapa sama seperti milik Bani.

"Dengan Adri?" Tanyanya.

"Iya, saya sendiri. Bapak siapa ya?" Tanyaku sesopan mungkin.

"Saya Ratno, bapaknya Bani" ucap pria itu dari dalam mobil, sesaat kemudian dia membuka pintu dan turun dari mobil.

Diam-diam hatiku mulai bergetar menebak-nebak apa yang akan terjadi seterusnya. Atau jangan-jangan terjadi sesuatu pada Bani?

"Bisa kita bicara?" Ucap orang tua yang memang wibawanya sama seperti Bani.

"Boleh pak, ayo masuk" tawarku ramah.

"Tidak di sini! Ku harap kau mau ikut" ajaknya.

Aku meski ragu akhirnya mengangguk, aku berpamitan sama ayahku sebentar lalu masuk ke dalam mobil itu. Di dalam mobil itu aku duduk dengan gelisah, pikiranku menjadi tak fokus, padahal ayah Bani cukup ramah, dia menanyakan tentang keluargaku, kegiatanku, pendidikanku sampai juga kehidupanku sehari-hari, tapi entah mengapa semua tak bisa menghilangkan rasa gelisah ini.

Mobil itu berhenti di sebuah bangunan, sebuah kafe, tapi terlihat sunyi.
"Kami memboking kafe ini makanya sunyi, semua agar pembicaraan kita tidak terganggu oleh orang lain" ucap Pak Ratno sambil mengajakku turun.

DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang