Patah Hati

1.4K 91 0
                                    

Seseorang baru akan sadar betapa dia sangat menyayangi  seseorang setelah orang itu tak lagi menjadi miliknya, begitu juga aku. Ternyata benar, tak mudah untuk menghapus rasa sayang walau kepada seorang mantan. Bagaimanapun cinta adalah sesuatu yang dipenuhi dengan kenangan, manis ataupun pahit, cinta itu bukan tulisan kapur diatas papan tulis yang bisa dihapus semudah membalikkan telapak tangan. Cinta itu letaknya di dalam hati, pusat segala perasaan dan juga pusat segala debaran jantung juga aliran darah, jika ia sakit maka yang lain juga ikut sakit, fisik, mental bahkan akal ikut kena imbasnya. Begitu juga aku, aku meminta Ridho membawa ku pulang ke kos an saja, walau harus menempuh jarak yang lebih jauh. Ridho menurut, dia memang teman yang baik. Kreekkk, pintu kos ku terbuka. Untung saja aku belum bilang akan pamit sama ibu kos.

"Bruuuk" Tubuhku ambruk di atas ranjang, aku mati rasa, semua gairah dan seleraku punah tak bersisa.

"Dri, aku buatin teh ya?" Tanya Ridho.

"Gak usah Dho, aku gak selera" Jawabku pelan.

Tapi Ridho mana mau dengar, apalagi melihat keadaanku yang tengah kacau begini. Dia segera membuatkanku teh hangat.

"Minum!" Perintahnya sambil menyodorkan gelas berusi teh ke mulutku.
Aku menggeleng,

"Adri, tolong hargai aku sebagai temanmu. Ayo minum!" Paksa Ridho.

Dengan terpaksa aku menyeruput teh itu, hanya sedikit, setelah itu aku memalingkan wajahku menghindari gelas itu.

"Aku ngantuk, mau tidur" Celetukku, padahal nyatanya sulit bagiku buat tidur, memang mataku terpejam namun penuh oleh genangan air mata.

"Malam ini, malam ini Bani akan menjalankan tugasnya sebagai suami, ini malam pertamanya. Dia akan memberikan belaian pada tubuh Putri, belaian yang sama seperti yang pernah diberikannya padaku, atau malah lebih hangat dan romantis. Ah Bani, semudah itukah kau menyerah dan berpaling dariku" Aku memang buta, bisa-bisanya aku menyalahkan Bani, padahal faktanya aku juga yang memintanya untuk menjauhiku.

Ridho sendiri akhirnya bermalam di kos ku, sudah terlalu telat baginya untuk pulang rumah, untung saja besok hari minggu. Dia libur kerja.

Kurasakan Ridho berbaring di sebelahku, sedangkan aku memunggunginya sembari masih terisak.

"Dri, udahan dong nangisnya" Celetuk Ridho.

"Kau gak ngerti perasaanku Dho, lebih baik kau diam! Terserah aku mau menangis atau mau mati. Kalau kau ngantuk kau tidur saja duluan!" Sahutku ketus.

"Ya udah terserahmu, aku ngantuk. Tapi ingat jangan macam-macam apalagi sampai bunuh diri. Entar aku yang masuk penjara karena dituduh yang bukan-bukan"

"Diam!" Sentakku tegas. Ridho tak menyahut lagi, hanya terdengar tarikan nafas kesalnya, dan akhirnya diapun menarik selimut.

Aku tak tau seberapa lama aku tak dapat memejamkan mata, karena ketika mataku terasa berat aku sudah tak dapat melihat jam lagi.
***

Ridho POV:

"Bani, jangan tinggalin aku Ban. Aku kangen" Terdengar suara seseorang terisak.

"Ya ampun, suara apa ini? Malam-malam begini malah berisik, ganggu orang tidur" Ridho mau tak mau terjaga dari lelapnya. Di gosok-gosoknya sepasang mata sembari mencari jam dinding. Pukul 4 dini hari.

"Ban, aku sayang kamu. Bani... Bani" Kembali rintihan pilu itu terdengar.

"Astaga belum tidur juga dia, jam segini masih menangisi mantan" Celetuk Ridho sambil geser tubuhnya untuk melihat sosok Adri.

"Astaga, dia telah tidur. Dia mengigau, tapi Ya Tuhan badannya panas sekali. Dia menggigil" Dengan cepat Ridho meraih selimutnya dan menutupi tubuh Adri. Namun sosok itu masih menggigil. Secepat kilat Ridho bangkit menuju lemari mungil untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan selimut tambahan. Beberapa helai kain sarung bahkan jaket. Namun tubuh itu masih tetap menggigil. Ridho pun kini sibuk membuat kompresan untuk menstabilkan panas suhu tubuh Adri.

DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang