Ah selamat juga. Aku memacu motorku menuju pemakaman China, itulah tempat yang aman menurutku, hening dan jauh dari gangguan. Aku duduk merenung sendiri di aula pemakaman itu. Meringkuk dengan memeluk kedua lututku sementara otakku membayangkan apa yang barusan terjadi.
Ya ampun, kenapa setelah menjadi pacarnya dan terlanjur cinta baru aku tau sifat asli Bani yang seperti itu. Ternyata benar, tak ada manusia yang sempurna, buktinya Bani. Siapa yang menyangka jika pemuda yang semula bersikap begitu manis dan tampan, gagah dan kaya, perkasa dan mampu memuaskan pasangan ternyata memiliki sifat buruk yang mengerikan yaitu cemburuan dan ringan tangan. Aku mulai berpikir layakkah hubungan kami ini diteruskan, sehatkah gaya berpacaran kami? Jujur aku masih menyayanginya, aku masih membutuhkannya, aku masih ingin dibelai dan dicumbunya, tapi kalau sudah cekcok begini?
"Ah sialan pedasnya gak hilang-hilang" Aku mengusap pipi kiriku yang tadi ditampar Bani.
"Bani babi! Ayahku saja tak pernah menamparku sampai pekak begini?" Aku mulai membandingkan Bani dengan ayahku, memang ayah dulu sosok yang tegas dan keras tapi tak pernah dia memukul sampai setelak dan sesakit ini.
"Belum lagi jidatku?" Reflek tanganku berpindah meraba jidat, hmmm masih berdarah rupanya, meski tak sebanyak tadi.
"Ban kenapa kau bisa setega ini samaku? Kemana sifat baik, manis dan sopanmu yang dulu? Aku kangen Baniku yang dulu, aku kangen saat kau masih mendekatiku" Tak terasa aku pun menangis tersedu, suasana yang sunyi dan temaram membuatku bebas ingin menangis.
Azan maghrib pun mengumandang, sialan gara-gara kejadian ini aku harus melewatkan ibadah maghrib, gimana mau ke masjid kalau muka bonyok begini? Balik ke kos? Jangan-jangan Bani masih di sana menungguku, pulang ke rumah ayah? Yang ada aku akan diwawancarai, karena seumur hidup baru kali ini aku babak belur, selama ini aku kan anaknya yang paling baik budi alias gak pernah terlibat perkelahian apalagi sampai adu fisik.
Saat tengah melamun ponselku pun berbunyi, aku merogoh kantongku untuk mengeluarkan benda berbentuk persegi panjang itu, mataku langsung membentur wallpaper di layarnya, foto seorang Bani yang berdiri gagah di samping motor KLX nya. Sial, lagi-lagi Bani? Bahkan hape ini juga Bani yang membelikannya. Pikiranku kembali buyar, hingga akhirnya aku tersadar ketika kembali ponselku berdering, barulah aku konsen melihat panggilan video yang masuk. Tertera nama Yotak.
"Yotak.." Entah mengapa saat menyebut nama itu sekulum senyum kecil melintang di bibirku, sesaat aku lupa akan sakit ini. Yotak, itu adalah nama olokanku untuk Yoga, singkatan dari Yoga Tak Berotak. Aku sendiri lupa kapan pertama kali aku memanggilnya Yotak, yang jelas nama itu kusematkan karena sering melihat dia bertingkah konyol dan tak tahu malu. Dan Yoga sendiri sepertinya kalem aja diberi gelar seperti itu, malah katanya dia senang.
"Yotak itu udah seperti panggilan sayangmu padaku bang Dri" Begitulah tanggapannya dulu. Huh dasar kampret. Aku kembali tersenyum membayangkan saat-saat dia mengatakan kalimat itu.
Bahkan dia juga punya nama panggilan nyeleneh untukku, yaitu Drigo, singkatan dari Adri Bego. Katanya nama itu diberikannya karena aku bego udah nolak cintanya. Hahaha. Tapi kalau dipikir-pikir emang benar juga sih, kenapa aku begitu bego tak menerimanya, karena setelah membandingkan Yoga dan Bani, jauh lebih baik Yoga kemana-mana. Memang Yoga gak seganteng dan sekaya Bani, tapi Yoga itu punya daya tarik sendiri, mungkin itu yang disebut sebagai kharisma. Atau kalau bagi cewek itu istilahnya inner beauty.
Akhirnya aku mengangkat panggilan video itu, tentu saja dengan mengarahkan kameranya ke jurusan lain, aku tak mau Yoga melihat keadaanku yang sedang kacau sekarang.
"Hai Drigo, kau dimana? Aku lagi di depan kos mu" Tanpa salam sapa Yoga langsung nyerocos seenaknya.
Apa? Dia di kosku? Waduh gawat itu gimana kalau Bani masih ada di sana dan tengah sembunyi menunggu kepulanganku. Bisa berabe kalau dia melihat Yoga di sana. Bisa pecah perang antar galaksi.
"Yotak, ngapain kau di sana? Pulang gih, aku lagi pulang ke rumah ayahku" Aku menjawab bohong.
"Gak percaya aku. Aku tadi tanya orang-orang di sini, katanya kau habis berkelahi dan kayak terluka gitu, kau gak kenapa-kenapa kan?" Ah Yoga, aku tau dari suaramu itu kau sangat peduli dan menghawatirkanku.
"Aku? Aku baik-baik saja kok" Lagi-lagi aku berbohong.
"Gak, aku gak percaya. Kalau kau baik-baik saja, gak mungkin kau sembunyikan wajahmu dari kamera, apaan malah kamera diarahkan ke nisan kuburan China? Kau pikir aku takut apa? Heh itu artinya kau sekarang ada di kuburan China? Iya kan?" Kembali Yoga mengoceh, untuk pertama kali aku melirik ke layar ponsel, dan itu langsung membuatku nyaris mennangis, bisa ku lihat raut wajah Yoga yang memang teramat jelas unjukkan aura kecemesan yang hebat.
"Dasar Yotak, Yoga Tak Berotak. Ingat kau bukan siapa-siapaku, kenapa pula harus menghawatirkanku?"
"Justru karena aku bukan siapa-siapa mu makanya aku menghawatirkanmu, siapa tau dengan begitu kelak aku menjadi siapa-siapa yang istimewa di hatimu" Skak mat, begitulah Yoga, tak mau kalah dalam berdebat denganku. Mendengar jawabannya spontan aku tak dapat lagi membohongi diri, semua luapan emosikupun keluar aku pun menangis sejadi-jadinya, kini di layar ponselku terpampang nyata bagaimana wajahku sekarang.
Kaget dan hening, itulah yang ku lihat dari ekspresi Yoga. Wajahnya langsung mengelam. Lalu tuttt, panggilan video terputus.
***Sudah lima belas menit berlalu sejak Yoga menelponku, satu suara motor berisik khas RX-King mendekati tempat dimana aku masih duduk meringkuk. Aku tau itu suara motor Yoga.
"Bang Adri" Satu suara memanggilku bersamaan dengan berhentinya motor dan disusul suara langkah kaki yang tengah berlari.
"Bang Dri" Begitu tiba Yoga langsung memegang kedua bahuku. Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku dari balik kedua lututku. Lalu spontan aku menubruk dan memeluknya sambil terisak. Ah Tuhan, mengapa baru sekarang aku menyadari kalau memeluk Yoga bisa begitu senyaman ini.
"Bang Dri, jangan nangis lagi. Tenang, ada aku disini. Kau pasti aman bersamaku" Kurasa tangan kanan Yoga mengusap-usap punggungku. Suara Yoga barusan laksana siraman air es di atas gurun tandus, begitu sejuk dan adem. Aku merasa tentram bersamanya, Yoga menarik wajahku dan menghapus air mataku.
Lalu tanpa banyak bicara dia mengambil sesuatu dari dalam kantong kresek yang ikut dibawanya, didalamnya ternyata ada obat, plaster luka, kapas, air mineral, beberapa bungkus roti dan juga beberapa gulung perban. Kurasakan dua tangan kekar itu membersihkan wajahku dengan kapas dan kain basah, meskipun tangan itu keras dan kasar namun sentuhannya begitu lembut dan halus. Wajahku seolah-olah kejatuhan kelopak bunga yang indah.
"Tahan ya bang, ini agak sakit" Ucap Yoga saat akan menempelkan perban yang sudah ditetesi obat cair.
Aku cuma mengangguk, sumpah melihat wajah ganteng yang begitu menenangkan di hadapanku ini saja sudah sanggup membius semua rasa sakitku. Tak ada sedikitpun sakit yang kurasa sampai Yoga selesai mengobati jidatku.
"Nah sekarang udah beres, wajahmu udah ganteng lagi" Ucap Yoga bercanda.
Aku mengekeh kecil.
"Hmmm bang? Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang udah melukaimu seperti ini?" Tanya Yoga berhati-hati.
"Udahlah Ga, gak penting juga, kan udah kamu obatin. Yang penting sekarang aku senang gak sendirian lagi disini" Ucapku pula, dan astaga tanpa sadar dan reflek begitu saja aku menyandarkan kepalaku di pundak kokoh milik Yoga. Astaga kurasakan detak jantungku berdebar hebat. Kurasakan tubuh Yoga tersentak sesaat seolah kesetrum, mungkin dia tak menyangka kalau aku akan seberani ini bersandar padanya. Namun akhirnya satu senyum lebar menyeruak di bibirnya, dengan hangat sebelah tangannya dilingkarkan untuk memeluk pundakku. Ya Tuhan, sumpah aku bahagia luar biasa sekarang, bisakah waktu tidak berputar lagi. Aku ingin bahagia abadi seperti sekarang ini. Meski harus bersama orang yang ku anggap bukan kekasih.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA ADALAH BANIKU (SELESAI)
RomanceSeorang pemuda yang tergila-gila dengan sahabat adiknya bernama Bani. Apakah perasaannya akan terbalas? Apakah Bani straight atau gay? Bagaimanakah akhir dari perasaan sayang itu?