Terbangun karena mimpi buruk yang seumur hidupnya tak pernah ia pikir akan muncul, Katie membuka matanya secepat mungkin. Nafasnya terengah, beradu cepat dengan udara yang seolah berlomba-lomba menjauhinya.
"Katie.." Mengabaikan sekelilingnya, Katie masih berusaha fokus menetralkan pernafasannya. Mimpi yang terlalu buruk. Pikir Katie di dalam kepalanya. Dan terlalu jelas seperti kenyataan.
"Sayang.." Menoleh setelah pernafasannya kembali normal, maniknya bertemu dengan wajah Justin yang berada tepat di sampingnya dengan warna biru keunguan di beberapa titik. "Kau sadar." Lanjut si pria penuh syukur.
"Kau sudah dirumah. Tadi kau sempat pingsan, lalu aku membawamu kembali ke rumah. Sudah merasa lebih baik?" Katie menyerngitkan keningnya, berusaha mengingat mengapa ia bisa pingsan.
Lalu hanya membutuhkan waktu 1 menit, ingatan itu menyerbu tanpa batasan membuatnya semakin menyerngit karena tak siap memprosesnya secara bersamaan.
"Maafkan aku." Tapi rupanya pernyataan maaf Justin mampu menarik kesadarannya kembali ke permukaan. "Jika kau ingin menjadi mentor, aku akan mengizinkannya. Asal kau hanya memonitori saat evaluasi, jangan ikut turun saat Taylor sedang melatih pria itu."
Sebentar— kenapa tiba-tiba?
"Maafkan aku." Kembali mendengar maaf yang sangat menunjukkan penyesalan, Katie memberanikan diri menatap kedua manik Justin. Apa yang salah? Ada apa dengannya? Herannya bersamaan rasa takut. Mimpinya masih terlalu jelas dalam pikiran dan benaknya.
"Aku menyakitimu tadi, maafkan aku." Menaikkan salah satu tangannya menangkup pipi si istri, Katie yang merasakan kehangatan dari telapak tangan Justin memejamkan matanya tanpa sadar. Perasaan menenangkan tiba-tiba menyerbunya tanpa bisa di cegah.
"Ada apa?" Tanya Justin yang mampu membaca gemetar samar pada kedua manik Katie sebelum ia menutupnya tenang. "Mimpi buruk?" Lagi-lagi tanpa sadar, Katie mengangguk mengiyakan pertanyaan Justin. "Jangan di pikirkan, itu hanya bunga tidur." Kembali mengangguk, Katie mematuhi apa yang diucapkan Justin. Sebenarnya karena tangkupan tangan si pria di pipinya Katie mampu menenangkan benaknya.
"Maafkan aku." Kembali mengucapkan hal yang sama, Katie akhirnya membuka matanya perlahan. Menatap dalam manik pria yang berbaring di sebelahnya. Lengannya digunakan Katie sebagai bantalan, sedangkan yang lainnya masih bertahan pada pipi Katie.
"Untuk?" Pertanyaan itu terucap pelan dari mulut Katie.
"Membentakmu dan lepas kendali." Jawab Justin sama pelannya seperti Katie.
"Kenapa?" Si pria yang kembali di lempari tanya menelan salivanya getir.
"Aku hanya takut. Kau tidak akan pernah aman Katie. Bahkan di markasku sekalipun, kau tetap berada dalam bahaya." Jika bersamaku. Lanjutnya penuh kegetiran di dalam hati.
"Kau sudah meletakkan banyak orang untuk menjagaku. Bukankah itu cukup?" Perasaan takutnya tersamarkan perlahan. "Tak bisakah kau percaya padaku? Aku mampu Justin." Lanjut Katie.
Tak menjawab pertanyaan Katie, Justin memilih mengucapkan hal yang lainnya. "Tolong, jangan membantahku lagi Katie. Rasanya nyawaku terus berkurang setiap kali kau melemparkan penolakan."
"Karena kau berlebihan." Balas Katie masih dengan suara lemahnya. "Sudah kubilang bukan, aku mampu Justin. Bukan satu atau dua tahun aku berkecimpung di dunia kalian. Aku memahami aturannya dengan jelas." Memilih menghela nafasnya, Justin hanya membawa tubuh Katie lebih dalam ke dekapannya. Memberikan elusan pada punggung si istri yang keningnya kini berkerut tak suka.
"Justin." Panggil Katie yang suaranya teredam karena Justin mendekap kepalanya dengan erat.
"Menurut padaku bisa mengurangi waktu hidupmu ya?" Katie mengangguk mengiyakan, sedangkan si pria terlihat bimbang antara ingin tertawa atau mendengus jengkel.
KAMU SEDANG MEMBACA
end | G E N I U S
FanfictionSeries I | end Series II | end Series III | end Series IV | end