A man with one fear

2.6K 290 75
                                    

Seperti yang sudah di prediksi, Justin berdiri di depan lobby gedung kantornya setelah mendapatkan informasi bahwa istrinya sedang dalam perjalanan menghampirinya. Si pria juga jelas tau apa tujuan Katie datang kemari, jadi ia sudah mempersiapkan segalanya—stock kesabaran salah satunya untuk menghadapi si perempuan yang gejolak emosinya pasti tak stabil. Dan tak menunggu waktu lama, Rolls-Royce Cullinan yang membawa Katie berhenti tepat di hadapannya. Dengan sigap, Justin membukakan pintu untuk Katie dan dirinya disuguhi raut marah—menggemaskan milik si istri.

"Sayang." Menarik lengan Katie lembut, Justin memberikan pelukan hangat dengan kecupan-kecupan pada kepala Katie yang hanya mampu mencapai bawah dagunya.

"Lepas! Aku marah denganmu." Senyum cerah lagi-lagi mengisi wajah sempurna Justin. Telinganya seakan tergelik mendengar kalimat seperti rajukan yang Katie lontarkan. Wajahnya memang terlihat murka, tetapi manik dalam matanya menunjukkan hal yang berbeda. Si pria mampu dengan jelas menangkapnya. So cute... itulah yang sejak tadi terus berputar di kepalanya

"Bukan karenamu sayang, tetapi kami memang perlu memperkuat dari bawah." Melepaskan pelukannya, Justin menautkan jemarinya pada jemari si perempuan. Menariknya ikut berjalan masuk ke gedung kantor.

"Tetapi pelatihan persenjataan juga perlu, Justin." Balas Katie menggebu jengkel. "Menaklukan senjata api menjadi salah satu dasar untuk melindungi diri." Lanjut Katie saat keduanya dengan langkah tenang melewati lantai dasar gedung yang tiba-tiba sunyi.

"Ya sayang, nanti akan dilakukan perputaran saat dirasa sudah cukup." Masuk ke dalam lift yang sudah terbuka lebar menunggu kedatangan mereka, lagi-lagi Justin menarik tubuh Katie mendekat padanya.

"Kenapa harus seperti itu? Kalian mampu dengan sangat memberikan banyak pelatihan di satu waktu. Kenapa harus melakukan perputaran yang terdengar bagai omong kosong itu?" Tak mencoba melepaskan, Katie mulai tersadar sepertinya ada yang salah dengan otaknya. Mengapa aku malah menyukai pose ini?! Ya Tuhan apa yang salah dengan otakku? Apa aku benar-benar sudah gila?! Ribut Katie di dalam pikirannya. Bahkan kepalanya ia gelengkan berkali-kali guna menormalkan kembali otaknya.

"Sayang!" Justin memegangi sisi kanan dan kiri kepala si perempuan agar berhenti menggerak-gerakkan kepalanya, Justin menatapnya khawatir. "Ada apa?"

"Kepalamu sakit?" Lanjutnya menjadi panik karena Katie tak memberikan jawaban.

Si perempuan malah asik membuat keributan di pikirannya. Semakin mempertanyakan apa yang sudah terjadi pada otak, organ, tubuh dan akal sehatnya. Tidak mungkin aku jatuh cinta kan? Pikirnya histeris.

"SAYANG!" Menghentak tubuh Katie dengan keras, Justin berhasil mengembalikan Katie ke permukaan.

"Kenapa?" Menghela nafas lega, Justin menarik lembut lengan Katie keluar dari kotak besi karena sudah sampai di lantai tujuannya.

"Jangan melamun seperti itu." Keluh Justin bersungguh-sungguh. "Aku lebih senang kau memaki atau berteriak dari pada melamun."

"Aku melamun?" Heran Katie, ia merasa tidak melamun. Hanya sedang berpikir keras.

"Hmm." Hanya membalasnya dengan gumaman, Justin di sambut oleh Lim—si asisten dengan dimples menawan dan dua orang pengawal di pintu depan.

"Kenapa aku di bawa kesini?" Tanya Katie setelah dirinya didudukan pada kursi besar empuk di balik meja—singgasana Justin lebih tepatnya.

"Karena kau sudah disini, jadi temani saja aku."

"Aku harus bekerja." Elak Katie tetapi dirinya tak berusaha beranjak dari sana. Entah mengapa seperti ada magnet pada kursi Justin yang menempelinya dengan kuat. Ditambah ada aroma musk samar milik Justin yang menempel pada sandaran kursinya. Membuatnya semakin betah berlama-lama duduk disana.

end | G E N I U STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang