■ BUKU HARIAN BARU ■

63.7K 5.9K 404
                                    

Di kamarnya yang gelap, Haryan duduk di meja belajar. Hanya sebuah lampu belajar yang menjadi sumber cahaya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua malam, sedangkan Haryan belum ada hasrat untuk tidur sama sekali.

Dia sedang menulis lembar pertama di buku harian. Sudah lama Haryan ingin melakukan ini, tapi jarinya terlampau malas hanya untuk bergerak menuliskan kata-kata. Dia menceritakan tentang hari pertamanya mendaftar di SMK Wardhana Adibasra dengan dua sahabatnya, Baza dan Tisya.

Duh, Haryan kembali malas lagi menceritakan hari ini.

"Yok, yok, Yan, semangat!" ucap Haryan menyemangati dirinya sendiri. "Mulai dari kenalan dulu kali ya, eh?"

Haryan kembali menulis sambil mendikte, "Nama gue Haryan. Ya, mirip kata 'Harian' tapi karena orang tua kelewat kreatif jadinya nama gue pakai Y bukan I. Sebutnya Har-Yan bukan Harian. Ya memang susah, tapi dari sini kelihatan yang mau susah-seneng sama gue siapa aja. Karena dari nyebut nama begitu aja nggak pantang menyerah, apalagi kalau juang bareng, kan? Ehem-ehem."

Haryan mulai berlarut. Sebenarnya menulis di buku harian hadiah dari supir rumahnya ini sempat dianggap tak akan berguna. Namun setelah Haryan merasakan kesepian, bosan, dan lelah main ponsel, dia pun melakukan ini.

Ya, melakukan apa yang dibilang oleh para pembantunya juga. Buku harian itu berwarna merah, warna kesukaannya. Jadi nuansa, emosi, dan imajinasinya juga bisa diatur dengan mudah.

Nama panjang cowok yang semakin semangat menulis kejadian hari ini adalah Haryandio Baratama. Dia anak tunggal dari keluarga Baratama, disebut sebagai keluarga terkaya di kota ini.

Ayah Haryan adalah CEO perusahaan manufaktur, sedangkan ibunya adalah founder sebuah start-up di bidang fashion. Dan Haryan adalah satu-satunya pewaris. Banyak yang bilang dia adalah anak yang beruntung. Iya memang, tapi tak sepenuhnya. Semua ini justru membuat Haryan selalu hati-hati bila memiliki teman baru.

Selesai menulis Haryan membaca semua tulisannya dengan suara dan intonasi, "Gue udah sering kesepian kalau malam begini. Orang tua selalu pergi pagi, pulang malam, tidur. Jarang banget mau have fun bareng keluarga kecuali kalau bokap memang buat jadwal liburan."

Haryan menjeda. Dia sedikit sedih membicarakan kedua orang tuanya yang bekerja keras, tetapi tetap memberikan semua yang terbaik ke Haryan untuk bahagia dengan caranya sendiri.

Haryan lanjut membaca lagi, "Oke poin curhatnya, pada hari ini tanggal 20Juni 2016 gue daftar sekolah di SMK Wardhana Adibasra bareng Baza sama Tisya. Untuk jurusan, gue minat di Multimedia, tapi harus masuk Akuntansi demi masa depan perusahaan. Yah, walaupun ortu masih bebasin, seenggaknya gue ada usaha buat jadi penerus, lah, ya, biar nggak kaget-kaget banget nanti."

Haryan berdiri dan menyalakan lampu kamarnya. Dia duduk di tepi kasur dan lanjut membaca lagi, "Gue terima dengan lapang dada. Kebetulan itu jurusan yang disaranin ortu kalau gue minta pendapat mereka. Jadi, ya udah, gue nggak bantah. Lagian juga, Jurusan Akuntansi dominan cewek cantik, haha."

Haryan tenggelam dalam tulisannya sendiri. "Tapi gue sedikit iri sama temen gue yang namanya Baza. Dia cakep, pinter, kalem, kaya, perhatian, diminati cewek-cewek, jago potret, bakat desain grafis, dan bokapnya pemilik percetakan ternama di kota ini. Males gue sebut namanya. Yah, masih kayaan bokap gue, sih, tapi gue irinya sama dia."

"Gue melihat dia sebagai orang beruntung," tambah Haryan. "Kenapa?Beruntung karena semua bakat yang dia punya mengarah ke takdir di mana dia berkarir. Jelas, kelak Baza harus jadi penerus usaha bokapnya itu, apalagi bakatnya sesuai."

Kembali sedih Haryan meletakkan buku harian di sampingnya. Dia lanjut berbicara pada dirinya sendiri, "Lah, gue? Gue nggak tau bakat apaan, gue cuman minat, itu pun ragu sama diri sendiri."

Haryan berdiri di depan cermin kamarnya. "Ini aja gue lagi nggak yakin bisa masuk Akuntansi apa kagak. Banyak yang minat ke jurusan itu, juga Multimedia. Kelar gue. Nilai sama otak pas-pasan. Makin bingung hidup ke mana. Yah, walaupun sebutannya gue masih di zona aman karena bokap nggak maksa macem-macem. Kebebasan masih ada selama gue di SMK, tapi kalau udah lulus dan kuliah, pokoknya harus siap mental.

"Iya-iya gue harusnya bersyukur masih jadi orang beruntung. Tapi gimana yah, lagi hilang arah aja gitu. Iya-iya gue bakal survive, tapi memang lagi banyak unek-unek aja gitu," sambung Haryan sembari menuliskan apa yang diucapkannya tadi ke buku harian.

"Mudah-mudahan besok buku gue ini bakal terisi sama kenangan-kenangan manis di masa SMA, eh salah, SMK lebih tepatnya. Buku harian Haryan, start dari sini."

Haryan tersenyum. "Semoga aja, gue yang di masa depan bakal ketawa ngelihat keluhan gue sekarang. Semoga aja gue di masa depan lebih keren dari yang sekarang. Semoga aja Haryan di masa depan lebih banyak skill dan lebih berguna." Dia menutup buku itu dan memasukkannya ke laci nakas, lalu membaringkan diri di kasur.

Hanya membaringkan diri. Tidur? Tetap saja tidak bisa. Dia malah meraih ponsel dan memainkannya walau sedang dicas.

Sampai pagi.

__Buku Harian Haryan__

Mungkin part ini garing, tapi coba baca dulu sampai 10 part. Karena cerita ini menurutku nggak kalah seru dari ceritaku yang lain.

Sungguh pembaca sejati adalah pembaca yang meninggalkan jejak seperti vote, komentar, dan follow.

Percayalah, aku bahagia dan bersyukur terima notif dari kalian. Terima kasih.

Jumpa di part selanjutnya!

Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang