Pulang (part 1)

670 70 2
                                    

Matinya Haryapatih Adipura beserta seluruh prajurit benteng Madura, sangat menguntungkan pihak Penunggang Kematian. Karena dengan begitu, informasi tentang kekuatan mereka, tidak akan diketahui secara oleh pihak kerajaan-kerajaan Nusantara. Begitu juga soal hidupnya kembali Volka dari kematian.

Kesempatan yang besar ini di manfaatkan Volka untuk melancarkan rencana selanjutnya.

"Prabu Sekti Siliwangi pasti bisa merasakan pertempuran malam ini. Dan dia pasti tahu hasil dari pertempuran ini," kata Volka sambil berdiri di atas benteng Madura sambil menatap bulan setengah.

"Prabu Sekti Siliwangi adalah orang yang terlalu banyak berpikir. Dia memang cerdas jika membahas soal pertempuran. Tapi sekarang, kecerdasan yang ia miliki itu, akan membunuh dirinya sendiri. Dan menghancurkan kerajaannya," lanjut Volka.

Sejatinya, setiap pergerakan yang Volka lakukan sejak menyerang dan membinasakan desa Krikil sampai ke tanah Madura. Sudah Volka dan Alka siapkan secara matang sejak lama.

Segala macam bentuk kemungkinan buruk pun sudah diprediksi. Dan dari prediksinya itu lah, Volka bisa tahu apa yang akan terjadi setelah ia dan pasukannya mengancurkan benteng Madura.

"Berikutnya, kita akan serang kerajaan Jawa Timur."



🔪🔪🔪

Suara kicau burung di balik rimbunnya pepohonan serta suara lesung yang sedang menumbuk padi, mengusik telinga Yena. Membuat Yena yang sedang tertidur pulas di atas bayang, mulai membuka matanya perlahan.

Dengan pandangan yang masih sedikit buram. Yena mengambil posisi duduk. Lalu mulai mengedarkan pandangan untuk melihat sekitar.

Dari tempatnya berada, Yena bisa melihat rumah-rumah kayu yang berjejer rapi dengan atap yang terbuat dari daun kelapa kering. Ia juga bisa melihat ada banyak orang yang sedang beraktifitas seperti orang-orang desa pada umumnya. Ada yang sedang memotong kayu. Ada yang menumbuk lesung. Ada juga yang sedang memasak.

Anak-anak kecil yang berlarian melintas di depannya juga diamatinya. Namun tak satupun dari mereka bisa Yena kenali wajahnya.

Yena lalu bangkit dari tempatnya. Ia mulai berjalan pelan menelusuri jalan desa. Sambil terus berjalan, pandangan Yena memandang satu persatu wajah penduduk desa yang di lewatinya. Ia bahkan menyempatkan diri untuk mengintip masakan apa yang sedang mereka buat.

Tak ada satu pun dari mereka bertanya, atau menyapa Yena. Mereka tetap beraktifitas seolah-olah Yena tak ada di sana. Yena pun tak berusaha untuk menyapa mereka. Dalam hati, ia malah bertanya-tanya, siapa penduduk desa ini? Wajahnya terasa tidak asing. Namun tak mampu ia kenali. Dan desa ini juga, seperti pernah di lihatnya. Namun entah di mana.

Yena tetap berjalan sambil terus mengamati. Ia bisa melihat wajah serta tatapan mata penduduk desa itu terlihat hampa dan sedih. Seolah tak ada jiwa dalam diri mereka.

Yena terus berjalan sambil terus bertanya-tanya. Hingga pada sebuah rumah yang berdiri sebuah pohon rambutan di sampingnya, langkah Yena terhenti.

Pada teras rumah itu, Yena melihat seorang wanita cantik dengan rambut hitam legam yang panjang sepinggang. Wanita itu duduk bersandar pada tiang rumahnya. Wajahnya tertunduk, namun masih Yena lihat wajahnya.

Yena merasa tak asing dengan wanita itu. Ia seperti kenal dekat dengan wanita itu. Namun lagi-lagi ia tak mampu untuk mengingatnya. Seluruh ingatannya seperti memudar. Namun Yena belum mau beranjak pergidari situ. Ia tetap berdiri di depan rumah wanita itu sambil masih memperhatikan wanita itu.

Hingga tanpa sengaja ia melihat gelang tangan yang melingkar indah di lengan kanan wanita itu. Barulah seberkas ingatan muncul.

"Sri?" celetuk Yena mengucapkan nama dari wanita itu. Yang tak lain adalah teman dekat Yena.

Wanita itu mengangkat wajahnya. Dan melihat ke arah Yena. Tatapannya tak jauh beda dengan tatapan orang-orang desa yang Yena temui tadi. Kosong.

Nafas Yena memburu saat sadar bahwa wanita itu adalah Sri. Ia meraba sekujur tubuhnya dengan kasar. Memeriksa apakah ini mimpi atau kenyataan.

"Apa ini nyata?" celetuk Yena beralih meraba wajahnya sendiri.

Ia lalu melihat sekitar dan ia baru ingat semua, bahwa desa ini, desa yang terasa tak asing ini adalah desa Krikil.

Air mata Yena jatuh seketika. Perasaan bahagia meluap bagai asap yang mengepul tebal. Dengan perasaan bahagianya itu, ia menghampiri Sri, berniat untuk memeluknya erat. Namun suara Gamelan yang tiba-tiba terdengar, menghentikan langkah Yena.

Yena mengedarkan pandangan. Mencari asal suara gamelan yang terdengar mendayu-dayu indah itu. Dan arah utara adalah arah munculnya musik gamelan yang indah itu.

Yena yang hendak menghampiri Sri menjadi urung karena suara gamelan itu. Suaranya yang indah dan damai, seakan mengundanganya untuk segera datang.

Yena berjalan, mengikuti arah suara itu berasal. Sepanjang perjalanan, ia semakin mengingat desa ini. Ia masih merasa hampir tak percaya. Ia pikir, usahanya untuk mengembalikan desa ini dengan bantuan belati Songgoh Nyowo sudah tercapai.

Wajah bahagia tak henti terpancar. Yena melangkah ke utara cukup tenang. Ia juga mengingat jalan yang ia lalui sekarang ini adalah jalan menuju rumahnya. Ia berpikir, mungkin suara gamelan itu adalah pesta untuk menyambut kepulangannya.

Dan saat Yena sampai di asal suara gamelan itu berada. Ia melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita sedang menari tarian jawa dengan pakaian yang begitu indah. Tak jauh dari wanita itu, ia melihat rumahnya. Namun satu hal yang tak bisa Yena pahami, ia tak menemukan alat musik gamelan dan orang yang memainkan musik gamelan itu. Ia hanya melihat seorang penari.

Yena berjalan mendekati penari itu. Ia mencoba untuk bertanya di mana orang yang memainkan musik gamelan itu. Namun wanita cantik itu tak merespon pertanyaan Yena dan tetap menari.

Lantaran tak mendapat respon apa-apa, Yena beralih pada rumahnya. Yena berlari kecil mendatangi rumahnya itu dengan perasaan senang, rindu dan haru bercampur menjadi satu.

Di depan pintu rumahnya. Yena mempersiapkan hati. Jantungnya berdebar tak karuan. Gambaran wajah suami serta bayi mungilnya yang tertawa lucu sudah tergambar jelas di matanya.

"Ibu, pulang, sayang."

Yena lalu membuka pintu rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu. Pemandangan ruang tamu yang sederhana dan rapi terbias di matanya yang berkaca-kaca. Entah sudah berapa lama ia tak melihat ruang tamu ini. Bunga melati yang selalu ia letakkan di atas meja sebagai wewangian masih ada di sana. Aromanya pun tetap tercium wangi, khas aroma melati. Tak lama usai pintu itu terbuka, suara tangis bayi terdengar dari arah kamar.

"Anakku..." kata Yena menoleh ke arah asal suara

Di sela tangis bayi yang menggema itu terdengar suara lembut seorang pria. Itu adalah suara Indra, suaminya.

"Aduh duh, anak ayah kok nangis... Cup cup ya sayang. Ibu sebentar lagi pulang. Nanti dedek di susui ibu sampai kenyang, dedek diam ya... Jangan menangis," kata Indra lembut, berusaha menenangkan tangis bayinya.

Yena semakin tak kuasa menahan hatinya. Ia segera menuju kamar untuk menemui dua belahan jiwanya. Dan saat ia sampai di ambang pintu kamar. Matanya membulat sempurna dengan wajah membeku.





Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang