Keturunan Prabu Lingga Atmaja

101 10 2
                                    

Pria tua itu berjalan mendekat ke arah Raga. Beliau kemudian bersimpuh di hadapan Raga dengan kedua telapak tangan mengatup dan sejajar dengan kening. Raga dan Datuk Setyo sedikit kebingungan melihat apa yang pria tua itu lakukan.

“Hormat saya Gusti Prabu,” ucap pria tua itu.

Tentu saja ucapan pria itu membuat Raga dan Datuk Setyo semakin kebingungan.

Bergegas Raga membangunkan posisi pria tua itu.

“Maaf, Mbah. Kenapa Mbah bersimpuh dan memanggilku dengan sebutan Gusti Prabu? Saya ini hanya pendekar pengelana. Saya bukan Penguasa kerajaan atau pun bangsawan,” kata Raga kebingungan.

Pria tua itu memandang dalam wajah Raga. Lalu berkata, “Mungkin Gusti Prabu tidak mengetahui kisah ini. Saya sendiri, bahkan hampir tidak percaya bisa menemukan Gusti Prabu di tempat ini dengan keadaan yang seperti ini.”

Raga dan Datuk Setyo saling pandang. Keduanya masih sama-sama tidak mengerti.

Melihat Raga dan Datuk Setyo yang masih tidak tahu apa-apa, Pria Tua itu mengajak Raga dan Datuk Setyo untuk mampir tempat tinggalnya. Datuk Setyo dan Raga, merasa tidak keberatan dan menerima undangan tersebut. Lagi pula, keduanya masih penasaran, mengapa pria tua itu memanggil Raga sebagai Gusti Prabu.

Ketiganya berjalan cukup jauh untuk sampai di kediaman pria tua itu. Dan dalam perjalanan itu, pria tua itu menyebutkan namanya. Ia bernama Sesa. Dan warga setempat biasa memanggilnya Empu Sesa. Dan alasan beliau dipanggil Empu, karena ada alasannya. Dan alasan itu akan Empu Sesa jelaskan saat tiba di kediamannya.

“Maaf Gusti Prabu. Tempat tinggal saya hanya seperti ini. Sudah puluhan tahun saya bertempat tinggal di dalam gua kecil ini. Tapi meskipun begitu, di tempat ini Gusti Prabu bisa menemukan kedamaian. Karena di sini cukup jauh dari desa,” kata Empu Sesa lalu mempersilakan Raga dan Datuk Setyo untuk duduk terlebih dahulu.

Di depan mulut gua, terdapat beberapa baju yang bisa digunakan untuk duduk. Ada juga sebuah papan kayu di dekat batu-batu itu. Raga bisa menebak, di sanalah Empu Sesa makan.

Raga dan Datuk Setyo kemudian duduk. Meski mereka duduk pada batu yang keras, namun karena bentuk batunya yang bagus, membuat mereka cukup merasa nyaman.

“Suasana di sini sangat nyaman. Udaranya terasa sejuk dan sepertinya ada sungai tak jauh dari sini. Suara air yang mengalir itu, bisa memberikan ketenangan jiwa,” kata Datuk Setyo.

“Benar sekali Datuk. Aku juga merasakan hal yang sama. Sepertinya, inilah alasan mengapa Empu Sesa cukup betah tinggal di sini bertahun-tahun,” sahut Raga.

Tak lama kemudian Empu Wisesa keluar dari dalam gua. Beliau membawa beberapa buah pisang yang sudah matang.

“Silahkan, Gusti Prabu,” kata Empu Sesa sambil menyuguhkan pisang tersebut.

Raga merasa sungkan. Bukan karena pisangnya. Melainkan karena Empu Sesa terus memanggilnya Gusti Prabu.

“Maaf, Empu Sesa. Bisakah Anda tidak memanggil saya seperti itu? Saya ini benar-benar rakyat biasa. Jika memang ada alasan khusus mengapa Empu Sesa memanggil saya seperti itu, tolong jelaskan,” pinta Raga.

Untuk beberapa detik, Empu Sesa melirik ke arah Datuk Setyo. Tatapannya seperti sedang memperhatikan baik-baik sosok Datuk Setyo. Kemudian kembali menatap Raga setelah puas.

“Mungkin, Gusti Prabu tidak mengetahui kisah ini. Kisah tentang kudeta yang dilakukan oleh pangeran Tunggal Atmaja kepada kakaknya, Prabu Lingga Atmaja,” kata Empu Sesa lalu melirik sekilas ke arah Datuk Setyo.

“Kudeta?” Datuk Setyo bereaksi lebih dahulu.

“Apa anda pernah mendengar cerita itu? Malam berdarah kakak beradik di dalam istana kerajaan Jawa Tengah,” kata Empu Sesa.

Datuk Setyo mencoba mengingat-ingat.

“Kisah ini terjadi sekitar 150 tahun yang lalu. Dan tragedi ini, cukup dirahasiakan oleh pangeran Atmaja Atmaja  setelah berhasil membunuh kakaknya Lingga Atmaja,” ujar Empu Sesa.

“Aku pikir, itu hanyalah sebuah kisah palsu. Karena tidak ada bukti kuat yang bisa digunakan untuk menjelaskan cerita itu. Bahkan dalam manuskrip sejarah Jawa Tengah atau Nusantara. Tak pernah ada cerita tentang kudeta itu,” sahut Datuk Setyo.

“Memang tak ada. Karena memang tidak pernah dituliskan. Bahkan bukti dari tragedi itu telah dihancurkan sepenuhnya. Baik itu bukti buku, bukti lokasi dan juga bukti saksi, telah dilenyapkan. Tak ada yang tersisa dari tragedi berdarah itu,” jelas Empu Sesa.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Raga penuh penasaran.

Empu Sesa menarik nafas dalam dan ia hembuskan panjang

“Tragedi itu terjadi karena keserakahan. Adik dari Prabu Lingga Atmaja, begitu menginginkan takhta kerajaan sepeninggal ayahnya, Prabu Dwi Atmaja. Bahkan saat penobatan Prabu Lingga Atmaja sebagai raja baru Jawa Tengah, pangeran Tunggal Atmaja sangat menentang penobatan tersebut. Di hari penobatan kakaknya itu, ia pergi dari kerajaan. Dan tak ada yang tahu ke mana dan mengapa ia pergi. Namun dua tahun kemudian ia kembali dan melakukan kudeta kepada Prabu Lingga Atmaja. Malam itu menjadi pertarungan yang sangat menghebohkan. Dua kekuatan besar saling beradu. Namun pada akhirnya, Prabu Lingga Atmaja dikalahkan. Ada rumor yang beredar. Bahwa kekalahan Prabu Lingga Atmaja karena ia tidak tega menghabisi nyawa pangeran Tunggal Atmaja. Rumor itu mungkin saja ada benarnya. Tapi juga bisa salah. Karena sebelum kudeta itu terjadi. Prabu Lingga Atmaja menitipkan sebuah pusaka miliknya kepada Kakek Buyutku, Patih Garda. Dan memintanya untuk meninggalkan kerajaan di saat itu juga. Prabu Lingga Atmaja berpesan. Untuk membawa pusaka Wuruk dan menyerahkan pusaka itu kepada penerus asli Prabu Lingga Atmaja. Prabu Lingga Atmaja sangat yakin, bahwa akan ada penerusnya yang bisa mengambil alih kembali kerajaan Jawa Tengah dari pemberontakan,” kata Empu Sesa panjang lebar.

Untuk beberapa detik Raga terdiam. Ia berpikir sejenak sambil menelaah cerita tersebut.

“Jadi Empu pikir, saya ini keturunan asli Prabu Lingga Atmaja?”

“Benar sekali.”

“Tapi bagaimana Empu bisa tahu kalau saya adalah keturunan dari Prabu Lingga Atmaja? Sedangkan saya dipungut oleh guru saya, Datuk Setyo di sebuah Desa kecil?” tanya Raga.

Empu Sesa cukup terkejut mendengar hal itu. Ia bahkan sampai melihat tajam ke arah Datuk Setyo.

“Jujur saja, hamba tidak mengetahui apa-apa soal nasib keturunan Prabu Lingga Atmaja. Karena hamba belum hidup di masa itu. Sehingga setelah kejadian kudeta itu, hamba tidak tahu menahu. Namun, yang hamba tahu adalah soal kemampuan dari keris Wuruk. Dan menurut informasi yang saya terima selama bertahun-tahun dan secara turun temurun. Hanya keturunan asli dari Prabu Lingga Atmaja saja yang mampu menggunakan kekuatan keris Wuruk. Dan tadi, anda sudah menunjukkannya. Anda telah menggunakan keris Wuruk,” jawab Empu Sesa.

Namun Raga masih kurang mempercayai hal itu. Ia masih menyangkal dan berpikir bahwa itu hanyalah sebuah kebetulan.

“Mungkin beberapa orang tertentu yang mampu menggunakan pusaka itu. Bisa saja di luar dari keturunan Prabu Lingga Atmaja bisa menggunakannya dengan kondisi tertentu,” sangkal Raga.

“Awalnya hamba juga berpikir seperti itu. Bertahun-tahun keluarga hamba menjaga keris Wuruk ini. Dan hamba mulai merasa ragu. Jika itu kudeta, seharusnya tidak akan ada yang tersisa dari keturunan Prabu Lingga Atmaja. Karena kabarnya semua telah dibantai habis. Jadi, tidak akan ada penerus dari Prabu Lingga Atmaja untuk bisa menguasai keris Wuruk ini dan melalukan kudeta balik kepada Prabu yang memimpin Jawa Tengah saat ini. Hamba bahkan telah mengizinkan beberapa pendekar dari berbagai kalangan untuk menggunakan keris ini. Tapi, tak ada yang bisa. Di tangan mereka, keris Wuruk menjadi pusaka mati. Pusaka ini benar-benar tidak menunjukkan kekuatannya. Tapi saat melihat keris ini bergerak dengan sendirinya ke arah Gusti Prabu. Membuat saya yakin bahwa Gusti Prabu adalah keturunan dari Prabu Lingga Atmaja.”

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang