Dimalam hari, Datuk Setyo sedang duduk disalah batu besar yang dekat dengan aliran sungai Kutai. Dirinya sedang termenung dibawah sinar rembulan sambil menatap lekat belati Songgoh Nyowo yang wujudnya tak lagi sama dengan wujud awalnya. Dan Datuk Setyo tidak mengetahui hal itu. Lantaran saat menemukan belati ini, wujudnya sudah berubah signifikan. Dari yang bentuknya seperti belati dapur biasa, berubah menjadi bentuk yang menyeramkan.
Bagian ujung belati, berbentuk seperti paruh burung elang yang terbuka. Dan bagian mata pisaunya memiliki dua bentuk bilah yang berbeda pada dua sisinya. Satu sisi menajam dan sisi satunya bergerigi tajam seperti gigi binatang buas.
“Guru? Makan malam sudah siap,” ucap seorang pria muda dari belakang. Namanya Raga. Murid satu-satunya Datuk Setyo Budi.
Tanpa menoleh, Datuk Setyo menjawab dengan anggukan. Lalu dia turun dan melangkahkan kaki terlebih dahulu. Dan Raga mengikutinya dari arah belakang.
“Datuk? Apa wanita itu menanyakan barang pusaka miliknya?” tanya Raga secara tiba-tiba. Dirinya begitu penasaran. Karena pikirnya, belati yang Yena bawa, pasti barang yang berharga.
“Iya. Tapi aku belum bisa memberikan belati berbahaya ini. Aura yang dipancarkan belati ini sungguh tidak biasa. Tak sama seperti pusaka-pusaka bumi yang pernah kulihat,” terang Datuk Setyo.
“Apa mungkin itu pusaka Ghaib, Datuk?”
“Mungkin saja.”
Jawaban ambigu yang Datuk Setyo berikan membuat Raga menjadi semakin penasaran. Ia melangkahkan kakinya untuk mengimbangi Datuk lalu kembali bertanya.
“Saat pertama kali melihat wanita itu, aku sama sekali tidak merasakan ada yang spesial, Datuk. Dia tak terlihat seperti pendekar hebat. Malah terlihat seperti manusia biasa. Jika benar itu pusaka ghaib. Kira-kira kenapa bisa ada ditangannya, Datuk? Apa dia mencurinya?!” tanya Raga menggebu.
Datuk Setyo menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Raga dengan tatapan malas. Lalu menjitak kepala Raga cukuo kuat sampai membuat Raga meringis sakit.
“Kamu itu selalu saja ingin tahu urusan orang lain. Hilangkan kebiasaanmu ini. Dan jangan sembarangan menuduh orang mencuri. Bisa saja belati itu benar-benar miliknya,” kata Datuk Setyo lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Meski Datuk Setyo melarang Raga untuk ingin tahu soal belati mengerikan itu dan sosok Yena. Datuk Setyo sendiri juga penasaran. Dirinya ingin tahu apa hubungan Yena dan belati yang dia bawa.
“Raga?”
“Iya Datuk?” sahut Raga yang kini sudah berjalan sedikit dibelakang Datuk Setyo.
“Jangan bilang ke wanita itu soal belati ini. Jangan ucapkan kata-kata apa pun yang berkaitan dengan belati ini. Bilang saja, kalau kamu tidak menemukan belati ini saat menyelamatkannya. Sebelum aku mengetahui soal belati ini, sebaiknya kamu jaga baik-baik perintahku ini! Paham?!”
“Baik, Datuk!” sahut Raga.
**
Kicau burung terdengar dari balik dahan pohon yang sangat rindang. Suaranya yang berisik, berhasil membangunkan Siluman Merah dari tidurnya.
Siluman Merah menggerang lirih. Merasakan sekujur tubuhnya yang terasa sakit dan ngilu. Matanya yang merah menyala itu melihat langit yang kini sudah terlihat terang dengan matahari yang berada di punjang langit sana.
“Sial...! Tak aku sangka dia semakin kuat saja! Ajian saktinya semakin kuat dan mengerikan! Tidak seperti dulu. Untungnya, aku bisa lolos dari ajian saktinya. Jika tidak, kemungkinan besar diriku akan berakhir menjadi abu karena terkena serangan langsung dari ajian saktinya. Cih! Suatu hari, aku akan menuntut balas padamu, Patih Wicaksono!” gerutu Siluman Merah, kesal.
Siluman Merah membiarkan dirinya kembali terkapar. Tubuhnya yang masih lemah dan merasakan sakit, memaksanya untuk tetap beristirahat sambil memulihkan dirinya. Namun tak lama setelah ia kembali menutup matanya, ia merasakan ada sosok yang sedang berjongkok di atas kepalanya. Dan menghalangi jatuhnya sinar matahari diwajahnya.
“Mau apa kau?” tanya Siluman Merah yang mengetahui siapa gerangan yang telah berjongkok di atasnya tanpa harus membuka mata.
“Ah, ternyata kau masih hidup? Ku pikir kau sudah menjadi bangkai atau fosil!” kata seorang anak kecil yang tak lain merupakan Mao.
Siluman Merah membuka matanya dan melihat wajah Mao dengan kesal.
“Jangan berpikir untuk memakanku!” Siluman Merah memperingati.
“Ah, kau selalu saja berkata negatif seperti itu padaku! Padahal aku belum melakukannya.”
“Jika aku tidak berkata seperti ini, kau pasti berniat untuk memakanku, kan?” tebak Siluman Merah yang dirinya sendiri sudah tahu apa jawaban dari Mao.
Mao tersenyum lebar dan menampakkan gigi-giginya yang bergerigi dan tajam.
“Tentu saja! Melihat makanan yang tak berdaya sungguh membangkitkan rasa laparku!”
“Cih! Ingat, kita ini sesama siluman! Jangan berpikir untuk memakan sesama siluman!” Siluman Merah kembali memperingati dengan perasaan was-was. Karena dirinya tahu betul bagaimana Mao. Dia adalah siluman yang sangat rakus. Dan dia tak pernah bercanda soal makanan.
“Justru karena itu, aku mau tahu bagaimana rasa daging siluman.”
Siluman berusaha sekuat tenaga untuk duduk. Mendengar Mao berkata seperti itu membuatnya merinding. Terlebih Mao berkata seperti itu dengan wajah polos khas anak kecil yang polos. Itu semakin terlihat mengerikan.
“Sudah jangan basa basi, ada apa kau sampai datang menemuiku?” tanya Siluman Merah.
“Aku mendapat perintah langsung dari Ratu Iblis untuk melihat keadaanmu. Kalau kau hidup, aku diperintah untuk membawamu pulang ke Gunung Selatan,” terang Mao.
“Kalau mati?”
“Tentu saja aku makan. Mungkin hanya akan aku sisakan tulang tengkorak kepalamu saja untuk barang bukti kematianmu,” jawab Mao lalu tertawa.
Siluman Merah memasang muka masam.
“Jadi bagaimana? Apa sebentar lagi kamu akan mati? Dilihat dari lukamu yang cukup serius, mungkin kau akan mati sebentar lagi. Sepertinya, aku harus menyiapkan beberapa bahan masakan sebelum ajal benar-benar menjemputmu,” ucap Mao tanpa beban.
“Kau ini benar-benar gila! Cepat bawa aku kembali!”
“Kenapa terburu-buru? Apa kau tak ingin menunggu beberapa saat sambil menungguku menyiapkan bahan masakan?”
“Sudah jangan berpikiran untuk memakanku! Dan cepat bawa aku ke Gunung Selatan!”
“Iya-iya... Dasar orang tua! Selalu saja memerintah dengan suara keras!” gerutu Mao.
Mao lalu mengangkat tangan kirinya dan seiring tangannya terangkat. Sebuah tangan tengkorak yang ukurannya 100 kali lebih besar dari tengkorak manusia dewasa pada umumnya keluar dari dalam tanah. Lalu tangan tengkorak itu mencengkeram Mao dan Siluman Merah sebelum kembali masuk ke tanah untuk membawa keduanya kembali ke Gunung Selatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)
Mystery / Thriller21+ Diharap bijak dalam memilih bacaan. Cerita ini mengandung banyak adegan kekerasan dan kanibalisme. Yang enggak kuat di harap meninggalkan cerita ini sebelum isi perut kalian keluar. Dendam Yena belum usai. Ia yang masih lemah dan tak paham akan...