Runtuhnya Kerajaan Jawa Timur (bagian 1)

385 39 3
                                    

Raga kembali dengan kecepatan penuh. Hatinya sangat gelisah karena kabar yang meresahkan tadi. Saat matahari hampir mendekati sore, Raga baru sampai. Dirinya langsung menemui Datuk Setyo dan menceritakan hal yang ia dengar di desa sebelah tadi.

Wajah Datuk Setyo menjadi kusut, keningnya berkerut. Ia langsung merasa, jika kabar buruk ini ada kaitannya dengan Yena. Namun Datuk Setyo hanya diam dan mendengarkan saja. Dirinya tidak ingin memberi tahu dugaannya ini kepada Raga. Ia takut, Raga jadi terlibat atau bahkan menanyakan hal ini pada Yena secara langsung.

"Sudah, biarkan kabar itu. Penyebabnya belum pasti juga. Lebih baik, kamu berlatihlah lebih keras. Kuasai pukulan angin yang ku ajarkan padamu. Jika memang ini di sebabkan oleh Kuyang atau pun siluman. Kita tentu tidak bisa bertindak banyak. Tapi jika ini ulah manusia, kita mungkin bisa membantu. Jadi berlatihlah lebih serius dan jangan pikirkan hal lain. Pusatkan perhatianmu untuk menyempurnakan pukulan angin yang aku ajarkan padamu. Mengerti?" tanya Datuk Setyo.

Raga langsung mengangguk. Raga memang tak pernah membantah atau meragukan ucapan Datuk Setyo. Dia selalu patuh selayaknya murid yang setia terhadap gurunya.

Setelah Raga melaporkan soal kabar buruk desa tetangga. Ia pergi menuju sungai untuk menyiapkan makan malam. Karena sebentar lagi matahari akan turun.

Selepas Raga pergi dari hadapan, Datuk Setyo diam-diam menyelinap ke kamar Yena. Dengan keahlian bela dirinya, dirinya mampu masuk tanpa menimbulkan suara.

Dari pintu, Datuk Setyo bisa melihat Yena yang masih tertidur. Tatapannya begitu tajam namun di penuhi keraguan.

Datuk Setyo menarik pedang yang tergabung di belakang punggungnya. Sambil menggenggam pedangnya dengan erat dan juga gemetar. Datuk Setyo mendekati Yena. Setiap langkah yang Datuk Setyo ambil, membuat jantungnya berdebar kencang. Keringat dinginnya mengucur. Entah, bagaimana bisa dia menjadi merasa begitu ketakutan pada Yena. Padahal saat ini, Yena sedang tertidur.

Datuk Setyo memperhatikan lebih dalam wajah lelap Yena saat jaraknya sudah cukup dekat dengan Yena.

"Hanya kamu, satu-satunya yang berkemungkinan besar memangsa bayi-bayi itu. Aku tidak bisa membiarkan mu bertindak lebih jauh lagi. Bagaimana pun juga kau harus mati!" pikir Datuk Setyo sambil menguatkan hatinya untuk mengarahkan pedang di leher Yena.

Datuk Setyo mengangkat tangannya yang memegang pedang lebih tinggi. Saat posisi tangannya kini sudah siap mengayunkan pedangnya secara cepat ke arah leher Yena. Datuk Setyo mengambil nafas dalam-dalam. Guna membuang keraguan dalam hatinya. Serta membuang rasa tak teganya. Karena bagaimana pun juga, Yena hanyalah wanita desa biasa yang tak berdosa, yang nasibnya sangat malang. Hanya saja dia dirasuki roh jahat.

"Maafkan aku," ucap Datuk Setyo yang langsung mengayunkan pedangnya ke leher Yena.

Slash..!!!

***


Dalam aula Singgasananya, Prabu Sekti Siliwangi termenung. Wajahnya tampak kusut dan serius.

"Bukankah, malam ini terlalu sunyi? Aku tidak bisa mendengar suara berisik hutan di luar sana," kata Prabu Sekti Siliwangi.

"Maaf Gusti Prabu, mungkin ada sebab kenapa mereka tidak berisik malam ini," sahut Wakso, penasehat kerajaan.

"Itulah yang aku maksud. Sebab kenapa mereka tidak berisik."

Wakso menggaruk kulit kepalanya karena bingung. Dirinya yang hanya memiliki kemampuan pedekar kelas bawah, tidak memahami maksud perkataan Prabu Sekti Siliwangi.

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang