Desa Genuk

428 51 7
                                    

Rombongan para Adipati yang dikirim oleh Prabu Sekti Siliwangi baru tiba di kerajaan Raja Mada menjelang sore. Kedatangan mereka sangat di sambut baik. Ribuan pasukan itu juga diberi tempat untuk mendirikan tenda agar bisa beristirahat setelah perjalanan panjang.

"Jadi Prabu Sekti Siliwangi mengirim kalian kemari untuk menambah kekuatan kerajaanku?" tanya Raja Mada pada 3 Adipati Jawa Timur di hadapannya.

"Benar itu, Raja Mada. Prabu Sekti Siliwangi merasa cemas, akan kemunculan Penunggang Kematian disini," jawab Adipati Dwi Daya.

"Aku sangat berterima kasih atas bantuan Prabu Sekti Siiwangi berikan. Bantuan ini, sangat besar. Tapi, aku rasa kalian juga harus menjaga wilayah kalian. Karena belum tentu Penunggang Kematian akan datang kemari. Cara berpikir Volka, sangat tidak pasti. Dia sangat licik," terang Raja Mada.

"Prabu Sekti Siliwangi juga ingin berpikir demikian, Raja. Tapi melihat jalan yang di tempuh Penunggang Kematian, kecil kemungkinan mereka akan menyerang kerajaan Jawa Timur. Jika memang mereka berniat demikian, tentu sebelum mereka menyerang Benteng Madura, mereka akan menyerang kerajaan Jawa Timur terlebih dahulu," tanggap Adipati Sugito.

Raja Mada termenung sesaat. Memikirkan cara berpikir Prabu Sekti Siliwangi yang selalu memperhitungkan banyak hal.

"Tapi, bagaimana jika tujuan Penunggang Kematian tidak menyerang kerajaan Jawa Timur karena ingin menguji kemampuan mereka terlebih dahulu," kata Raja Mada.

Tiga Adipati menatapnya tak mengerti.

"Bagaimana kalau penyerangan Penunggang Kematian di Benteng Madura hanya karena mereka ingin menguji kemampuan mereka saja? Lagi pula, dengan mereka menyerang Benteng Madura terlebih dahulu, mereka bisa membuat kebingungan di antara kita. Karena bisa saja mereka menyerang kerajaan ini, atau, mungkin saja mereka menyerang kerajaan Jawa Timur," papar Raja Mada.

"Perlu kita ingat, kekuatan kelompok perampok Penunggang Kematian, setara dengan 3 kerajaan besar Nusantara," lanjut Raja Mada.

Tiga Adipati itu menjadi sangat cemas ketiganya saling memandang. Mendengar penjelasan Raja Mada yang masuk diakal, membuat mereka ingin kembali ke Jawa Timur sesegera mungkin. Tapi tentu tak mungkin bagi mereka melakukan itu. Karena ribuan prajurit di perkemahan tak akan sanggup melakukan perjalanan lagi hari ini. Mereka sangat membutuhkan istirahat untuk memulihkan kembali tenaga mereka.

**

Di tengah ramainya jalan, di salah satu jalan desa Genuk. Alka berjalan bersama satu anak buahnya yang memiliki wajah datar dan tidak terlihat garang. Keduanya memasuki desa Genuk dengan cara menyelinap agar tidak tertangkap oleh para prajurit yang berjaga di pintu masuk desa.

"Apa ini hanya firasatku saja, atau memang mereka jadi lebih waspada dari sebelumnya? Sampai-sampai ada beberapa prajurit kerajaan yang berjaga di desa kecil ini juga," kata Alka sambil memakan buah apel yang baru saja ia curi dari pedagang buah yang dilewatinya.

"Mungkin, ini karena mereka tahu jika Benteng Madura sudah berhasil kita kalah kan, Kapten," tanggap Seloso.

"Bisa saja. Jaman sekarang, informasi bisa menyebar cepat.. Tapi ini cukup merepotkan. Melihat prajurit-prajurit itu membuatku ingin membunuh mereka semua.

"Tenanglah Kapten. Jangan sampai haus darah menguasaimu. Ingat misi kita. Mungkin membunuh semua prajurit di sini bukan perkara sulit. Tapi jika ada 5 pendekar tingkat tinggi di sini, nyawa kita bisa terancam. Dan rencana Tuan Volka bisa gagal," Seloso memperingati.

"Iya, aku paham. Kau tidak perlu mengingatkan aku."

Alka dan Seloso terus berjalan. Keduanya selalu berhati-hati dalam bertindak dan bersikap, agar tidak menimbulkan kecurigaan pada para prajurit, terutama pendekar yang ada di desa ini.

"Melihat ramainya desa ini, tiba-tiba membuat diriku teringat dengan kekuatan Pedang Wesi Jati milik tuan Volka. Jika saja pedang itu di ayunkan di desa ini, mungkin darah dari penduduk desa ini, cukup untuk membuat telaga menjadi merah," ungkap Seloso sambil memperhatikan berbagai ekspresi wajah para penduduk yang beragam.

"Wesi Jati? Hah, kekuatan pedang pusaka itu memang sangat mengerikan. Bisa membuat satu desa rata dengan tanah hanya dengan satu kali tebas. Padahal, pedang itu belum menunjukkan kekuatan sejatinya. Tapi kerusakan yang ia timbulkan, bisa meratakan satu desa kecil dalam satu kali ayunan," lanjut Alka.


Bukan kah untuk ukuran desa kecil, desa ini terlaku ramai, Kapten?" ucap Seloso memperhatikan sekeliling.

Alka jadi ikut memperhatikan lebih dalam. Dan memang benar, untuk ukuran desa kecil, desa ini cukup ramai.

"Mungkin, ini juga salah satu alasan mengapa desa ini sampai di jaga prajurit kerajaan. Tapi biarlah, selama firasatku tidak mengatakan ada hal buruk yang ada mendekat. Kau tidak perlu cemas. Karena firasatku selalu benar! Justru dengan keramaian ini, bisa mempermudah kita untuk menyelinap dan mencari informasi," kata Alka dengan santai.

Alka mulai bersiul. Beberapa orang meliriknya sesaat lalu acuh. Seloso yang berada di sampingnya hanya diam dan malah mendengarkan suara siulan itu dengan baik dan teliti. Lantaran siulan Alka merupakan sebuah cara bagi Alka untuk berkomunikasi dengan anggotanya tanpa melalui kata-kata. Ibaratnya siulan Alka sudah seperti kode morse. Setiap nada yang ia keluarkan mengandung kalimat yang di sampaikan.

Dari jarak 30 meter, terlihat dua pendekar kelas tengah memasuki sebuah kedai. Alka memberi isyarat menggunakan siulannya pada Seloso agar mengikuti dua orang itu. Sedang dirinya akan mengawasi dari kejauhan.

Tanpa mengangguk atau membalas siulan Alka, Seloso langsung melaksanakan perintah yang dia terima.

Seloso mengikuti dua pendekar itu yang masuk ke dalam. Dia memilih duduk di meja yang paling dekat dengan meja yang dua pendekar itu pakai. Dan duduk membelakangi mereka.

Seorang pelayan muda mendatangi meja dua pendekar itu untuk memberi minuman serta menawarkan jenis makanan yang di jual kedai ini. Sebelum akhirnya menawarkan makanan pada Seloso.

"Beri aku makanan yang paling murah saja. Sama tolong, berikan tambahan air karena aku sangat haus," ucap Seloso dengan cukup jelas.

Pelayan itu tersenyum ramah pada Seloso, namun saat berpaling kembali ke dapur bibirnya bergumam mengejek Seloso. Dia mengatakan bahwa Seloso adalah miskin yang belagu sampai datang ke kedai dengan uang yang sangat sedikit.

Seloso bisa merasakan ketidaksukaan pelayan itu padanya. Namun saat ini, Seloso hanya bisa diam dan mengalah. Dirinya tidak boleh emosi atau bertindak di luar batas.

Dua pendekar itu menoleh ke arah Seloso sesaat lalu kembali acuh.

"Dia sepertinya seorang pendekar kelas teri," kata pendekar salah satu pendekar itu pada temannya yang memiliki sebilah pedang di punggungnya.

"Benar. Apa sebaiknya kita bantu dia," kata temannya sambil memandangi baju yang Seloso pakai.

Seloso tersenyum kecil mendengar perbincangan dua pendekar itu.

Dua pendekar itu saling pandang kembali sebelum akhirnya salah satu dari mereka memberi isyarat pada temannya untuk pindah meja dan bergabung dengan meja Seloso.

Seloso memasang wajah bingung saat dua pendekar itu menghampirinya dan asal duduk tanpa permisi.

"Aku tidak pernah melihatmu di desa ini. Apa kau pendatang?" tanya pendekar dengan pedang di punggungnya.

Seloso masih menatap bingung. Sorot matanya di buat takut.

"Iya, aku pendekar biasa dari desa sebelah. A-apa kedatanganku ke desa ini telah mengganggu?" tanya Seloso berpura-pura takut.

Kedua pendekar itu tersenyum.

"Tenanglah, jangan tegang begitu. Kedatanganmu ke desa kecil ini tidak mengganggu. Em,, maaf sebelumnya, sepertinya kami sudah tidak sopan dan asal duduk di meja ini tanpa memperkenalkan nama. Namaku, Ari pendekar desa ini. Dan temanku yang sangat ahli menggunakan jurus pukulan ini, ada Gede. Dan kami di sini, berniat menawarkan sesuatu padamu," terang Ari, pendekar dengan pedang di punggungnya.

Seloso menatap kedua pendekar itu, kemudian mulai bertanya soal tawaran yang Ari tawarkan.

"Sebelumnya, apa kamu tahu soal perampok Penunggang Kematian?" tanya Ari sudah masuk ke dalam topik utama.

Seloso mengangguk.

"Aku dengar mereka kembali bangkit. Dan mulai menyerang banyak desa," kata Seloso masuk dalam obrolan.

"Tidak hanya itu saja, Benteng Madura juga di takhlukkan dalam semalam!" terang Gede.

Seloso membulatkan matanya. "Benarkah?"

"Hah! Sepertinya, mereka tidak pernah kapok untuk tidak membuat ulah," Ari menghela nafas berat.

"Lalu bagaimana tindakan Prabu Sekti Siliwangi?" tanya Seloso.

"Entah lah, tapi aku dengar-dengar dari temanku yang menjadi prajurit kerajaan, Prabu Sekti Siliwangi mengirim banyak pasukan ke Tanah Dewa untuk membantu Raja Mada mempertahankan wilayahnya. Prabu Sekti Siliwangi mengira, jika Penunggang Kematian akan menyerang wilayah itu dalam waktu dekat ini," jelas Ari.

"Oleh karena itu, pertahanan di wilayah ini jadi berkurang 20 persen. Jadinya banyak pendekar-pendekar, baik pendekar dari desa-desa di Jawa Timur atau pendekar pengelana. Di minta untuk membantu menjaga wilayah ini. Prabu Sekti Siliwangi siap membayar semua pendekar," sambung Gede.

Seloso terlihat berpikir. Ia sengaja menahan dirinya untuk segera berkata.

Selang 4 detik, Seloso membuka mulutnya. "Apa itu berarti, aku juga akan mendapatkan upah?"

"Tentu saja! Tapi ada syarat agar kau bisa mendapatkan upah. Yang pertama, kau harus seorang pendekar. Yang kedua, tentu saja kau harus mendaftarkan diri ke Desa. Agar namamu tercatat di sana. Agar mereka bisa lebih mudah mendata siapa-siapa saja pendekar yang ikut serta," papar Ari dengan bersemangat.

"Tapi aku bukan pendekar hebat. Kemampuan bela diriku sangat rendah. Bahkan untuk membunuh babi hutan pun, aku sampai terluka." Terang Seloso.

Ari dan Gede tertawa kecil.

"Kami tahu. Kau tidak perlu risau. Kami akan membantumu. Kami akan mengantarmu untuk mendaftar. Jika kemampuan mu di nilai perangkat desa sebagai pantas untuk menerima upah. Maka kau beruntung. Tapi jika tidak, kau bisa bergabung dengan kami. Kami memiliki banyak barang untuk di bawa-bawa. Bagaimana? Kalau urusan makan, biar kami yang membiayai. Asal kau setia pada kami dan mau menuruti perintah kami," ujar Gede.

Seloso memasang wajah cemas.

Ari melihat mimik muka Seloso, dalam.

"Tenang saja. Meski kau terkesan menjadi budak kami, tapi kami tentu akan memperlakukanmu sebagai teman. Lagi pula, jika kau bergabung bersama kami, kami akan mengajarkan ilmu bela diri kepadamu."

"Bisakah aku mendapatkan waktu untuk berpikir?" tanya Seloso.

Ari menatap Gede. Bertanya pendapat Gede melalui isyarat mata.

"Kau ini, padahal kami sudah memberi tawaran yang bagus. Tapi tetap saja kau ragu," geram Gede merasa terhina.

"Diam lah Gede. Jangan mempersulit dirinya!" sela Ari.

Gede diam tak berkata apa-apa lagi. Dan membiarkan sisanya di selesaikan oleh Ari.

Ari menatap Seloso dengan senyum hangat. Ia sangat berharap, Seloso tidak tersinggung dengan perkataan Gede barusa.

"Maafkan temanku ini. Dia memang tidak sabaran," ucap Ari.

"Tidak apa-apa. Saya mengerti."

"Baiklah, kami akan menunggu jawabanmu sampai besok pagi. Cukup bukan?" tanya Ari.

"Terima kasih. Itu waktu yang cukup untukku menyiapkan hati. Aku akan segera memberi jawabanku besok. Lalu di mana aku bisa menemukan kalian?"

"Datang saja ke kedai ini lagi besok pagi. Kami akan makan pagi di kedai ini. Tapi jika kau tidak kunjung datang sampai kami selesai makan. Maka kesempatan mu sudah hilang. Mengerti?" kata Ari memperingati.

"Iya. Kalau begitu, aku akan memberi jawabanku besok."

Setelah menyampaikan itu semua, kedua pendekar itu kembali ke meja mereka sebelumnya dan mulai menyantap hidangan yang mereka pesan. Sedang Seloso, menyantap nasi campur garam dan parutan kelapa dengan senyum lebar yang terlihat menyeramkan.

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang