Siluman Serigala

141 17 1
                                    

“Guru? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini? Yena belum kembali guru! Kita harus mencarinya terlebih dahulu. Bisa saja terjadi sesuatu yang buruk kepada dia!”

“Diam dan menurut saja! Aku akan menceritakan semua setelah kita sudah pergi cukup jauh dari iblis itu!”

“Iblis? Apa maksud guru?!”

“Dia itu bukan manusia! Sudah cepat kemasi semua barangmu. Dan pastikan untuk membuat jejak palsu untuk mengecohnya sebelum kita pergi. Agar dia tidak bisa menemukan kita. Cepat!” seru Datuk Setyo.

Raga masih ragu dengan perintah Datuk Setyo. Tapi sebagai murid dan juga anak asuh, Raga sadar kalau dirinya tidak bisa membantah perintah Datuk Setyo.

Semoga saja dia tidak kembali selagi kami masih berkemas. Jika saja aku tahu kalau dia tidak akan kembali sampai 3 hari ini, sudah aku tinggalkan tempat ini dan pergi sejauh mungkin. Bahkan kalau bisa, aku akan melaporkan hal ini kepada Gusti Prabu,’ batin Datuk Setyo.

Setelah berkemas. Raga dan Datuk Setyo meninggalkan lokasi mereka bermukim. Keduanya berlari cepat menjauh dari wilayah desa Krikil. Dan karena tidak ingin meninggalkan jejak, keduanya memilik melompat dari satu pohon ke pohon lain.

“Guru?” panggil Raga yang berlari di belakang Datuk Setyo.

“Apa?” timpal Datuk Setyo.

“Siapa yang Guru sebut sebagai iblis tadi? Apa guru memaksudkan ungkapan itu kepada Yena?” tanya Raga.

Sambil tetap melompat dari dahan ke dahan lain, Datuk Setyo menoleh sedikit ke arah Raga. Lalu fokus ke depan kembali.

“Untuk sementara, cukup itu dulu yang kau tahu, selebihnya akan aku beri tahu saat kita menemukan penginapan. Pokoknya kita harus menjauh sejauh mungkin.”

Namun, baru berlari selama hampir 30 menit, Raga melihat ada seorang nenek yang sedang diincar sekelompok serigala di kejauhan. Raga yang melihat kejadian itu langsung berhenti. Dan Datuk Setyo baru menyadari saat  jaraknya dan Raga terbentang hampir 10 meter.

“Kenapa malah berhenti? Ayo cepat, Raga!” seru Datuk Setyo.

Raga memberi isyarat melalui tangan agar Datuk Setyo tidak berbicara keras.

“Ada apa lagi dengan anak ini!” gerutu Datuk Setyo pelan.

Raga yang awalnya diam sambil mengawasi ke arah bawah, tiba-tiba melesat turun dengan cepat. Melihat itu, Datuk Setyo segera menyusul Raga sambil mulutnya menggerutu.

“Woi Raga! Apa kau—” kalimat Datuk Setyo seketika terhenti saat melihat ada seorang nenek tua dengan tumpukan kayu bakar di punggung.

“Maaf Guru. Nenek ini tadi, hampir disergap oleh sekelompok serigala. Jadi aku terpaksa menolongnya terlebih dahulu,” kata Raga.

Datuk Setyo tak mampu protes atas tindakan yang dilakukan Raga. Dirinya sendiri sering mengingatkan kepada Raga agar selalu menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Karena memang itu tujuan keduanya berkelana untuk menjadi kuat.

“Nenek tinggal di dekat sini?” tanya Raga.

Nenek itu kemudian menunjuk ke arah barat.

“Rumahku ada di arah sana,” nenek itu menjelaskan.

Datuk Setyo mencoba mengamati arah yang ditunjuk nenek itu. Dan dirinya ingat kalau di arah sana ada desa lain. Namun, menurut informasi yang ia tahu dan perhitungan uang ia lakukan, letak desa itu seharusnya masih cukup jauh. Sekitar 3 jam perjalanan. Namun, melihat nenek yang sedang membawa kayu bakar, Datuk Setyo jadi agak heran. Karena tak mungkin nenek itu berjalan sangat jauh dari desa hanya untuk mencari kayu bakar. Namun, melihat bagaimana tuanya nenek tersebut, Datuk Setyo jadi bisa berpikir positif. Ia menduga kalau nenek tersebut tersasar atau mungkin nenek tersebut mengalami pikun.

“Kalau begitu biar saya antar pulang Nek,” ucap Raga menawarkan diri.

“Raga!” Datuk Setyo langsung keberatan.

“Kita tidak bisa mengantarnya. Kita harus segera pergi dari sini!” seru Datuk Setyo.

“Tapi guru, aku khawatir kalau sampai nenek ini ada apa-apa saat pulang. Serigala-serigala itu bisa saja menyerang lagi. Tadi mereka berlari pergi saat aku datang.”

“Tapi ada hal yang lebih penting dari ini!” Datuk Setyo memelankan suaranya agar sang nenek tidak mendengar kata-katanya.

Tapi sayangnya, nenek tersebut bisa mendengar dengan jelas semua  kata-kata Datuk Setyo. Namun ia hanya diam.

“Memangnya nyawa nenek ini tidak penting, guru?” Raga merasa heran.

“Guru bilang sendiri bukan? Kita harus menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Karena itulah sejatinya manusia! Itu yang selalu guru ajarkan. Tapi sekarang, kenapa guru malah bersikap seperti ini? Lagi pula, kita hanya sekedar mengantarnya. Kita juga sudah berlari cukup jauh. Jadi bisa dikatakan, kita ini sudah aman guru!” tandas Raga.

Datuk Setyo terdiam. Dalam hatinya, ia mulai merasa bersalah. Ia menyadari, sikapnya terlalu berlebihan.

“Maaf, Raga. Aku terlalu berlebihan,” ucap Datuk Setyo.

“Sudah, kalau tidak bisa mengantar, biar saya pulang sendiri saja. Saya sudah terbiasa hidup seorang diri, jadi tidak masalah. Kalau pun aku akan mati diterkam serigala, aku sama sekali tidak menyesalinya. Aku sadar umurku sudah renta. Hidup lama-lama seorang diri di gubuk tua sudah terlalu merepotkan. Kalau harus mati, aku tidak akan merasakan penderitaan seperti ini lagi,” sela Nenek itu.

Datuk Setyo melihat wajah nenek tersebut dengan tatapan dalam. Ia semakin menyesali sikapnya tadi.

“Akan kami antar, Nek,” ucap Raga.

“Apa tidak merepotkan?” tanya nenek itu cemas.

“Tidak apa-apa. Sini, biar saya bawakan kayu bakarnya,” ucap Datuk Setyo.

“Jangan, guru. Biar aku saja yang membawa kayu bakarnya,” ucap Raga.

Tapi Datuk Setyo menolak. Ia ingin membayar sikap buruknya tadi.

Ketiganya kemudian mulai berjalan. Dan kurang dari 5 menit berjalan kaki, sebuah gubuk tua terlihat di kejauhan.

“Apa gubuk itu yang menjadi tempat tinggal nenek?” tanya Raga prihatin. Pasalnya, gubuk tersebut benar-benar reot. Bahkan Raga berpikir, gubuk usang itu bisa roboh kapan pun.

“Iya. Sudah 20 tahun saya tinggal di gubuk itu seorang diri. Meskipun sudah bobrok. Tapi itu satu-satunya tempat tinggal dan harta yang aku miliki,” ucap Nenek.

Raga merasa iba. Dalam hatinya, dirinya sudah berniat untuk membenahi gubuk tersebut agar lebih aman dan lebih layak untuk ditinggali.

“Apa anda tidak memiliki sanak saudara atau mungkin anak?” Datuk Setyo bertanya.

“Mereka sudah mati dimakan hewan buas beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya mereka kerap berkunjung. Mungkin benar, hutan ini sudah tidak aman lagi,” jawab nenek itu.

“Kalau begitu, bukankah lebih baik untuk tinggal di desa, Nek?” kata Raga.

“Tidak... hidup berdampingan dengan orang lain lebih merepotkan. Lebih nyaman tinggal sendiri seperti ini. Bisa menikmati hidup sesuka hati. Meski terkadang, aku sering kelaparan.”

Setelah berjalan hampir 100 meter, akhirnya ketiganya sampai. Dilihat dari dekat, penampakan gubuk tersebut semakin membuat Raga resah. Ia ingin sekali membetulkan gubuk tersebut saat ini juga.

“Oh iya, aku sampai lupa bertanya, kalian akan pergi ke mana?” tanya Nenek.

“Kami akan pergi ke kota Nek,” jawab Raga.

“Kota? Bukankah itu sangat jauh?”

“Iya Nek. Tapi itu bukan masalah besar bagi kami nek.”

“Oh begitu... kalian memang pendekar. Jadi jarak sejauh apa pun bisa kalian tempuh.”

“Oh iya, Kalau tidak keberatan, maukah kalian mampir sejenak. Rumah ini sudah lama sekali tidak menerima tamu. Jadi aku akan senang sekali jika bisa menjamu kalian. Aku punya teh yang sangat enak. Kalian bisa mampir sebentar.”

Raga menoleh ke arah Datuk Setyo. Datuk Setyo yang paham dengan tatapan Raga, langsung memberikan jawaban.

“Kalau hanya segelas teh, tidak masalah. Tapi kami akan langsung pergi setelah menghabiskan teh kami. Karena kami harus segera pergi,” ucap Datuk Setyo.

Nenek itu tersenyum lega.

“Kalau begitu silahkan masuk dulu,” ucap Nenek yang sejurus kemudian membuka pintu rumahnya.

Dan saat pintu tua itu mulai terbuka, secara tiba-tiba Datuk Setyo merasakan hawa membunuh yang sangat tipis berasal dari nenek itu. Namun hawa membunuh itu hanya terasa sekejap sebelum akhirnya hilang.

“Ada apa, pendekar? Kenapa tiba-tiba melamun?” tanya nenek saat mendapati Datuk Setyo yang mematung.

“Tidak ada apa-apa. Saya hanya baru ingat kalau ada keperluan yang sangat mendesak. Jadi mohon maaf, kami tidak bisa mampir. Mungkin lain waktu,” ucap Datuk Setyo dengan perasaan yang entah mengapa menjadi gelisah.

Raga yang sudah masuk, melihat ke arah Datuk Setyo dengan perasaan curiga. Ia seperti mengetahui apa yang Datuk Setyo rasakan.

“Ada apa Guru?” tanya Raga.

“Kita harus pergi sekarang,” ucap Datuk Setyo.

Nenek itu tersenyum tipis. Lalu senyumnya menjadi kian lebar dan akhirnya senyum itu menjadi seringai yang terlihat sangat menakutkan. Dan saat itu seringai itu sudah terbentuk, tawa ngeri terdengar dari nenek itu.

“Ini pasti karena salahku ya?” tanya nenek itu, namun suaranya kali ini terdengar berbeda dari sebelumnya. Suaranya kali ini terdengar berat dan besar.

Menyadari ada yang tak beres, Datuk Setyo segera memerintah Raga untuk keluar.

“Raga! Cepat keluar!” teriak Datuk Setyo.

Raga pun sudah akan keluar dari gubuk itu meski tak diperintah Datuk Setyo. Karena dirinya juga merasakan ada yang salah sejak nenek itu tertawa. Namun, semua sudah terlambat. Pintu tersebut tertutup rapat dengan sangat cepat.

“Satu tertangkap, tinggal satu lagi,” ucap nenek itu sambil menjilat bibir dan tubuhnya perlahan berubah menjadi sosok serigala berbulu hitam dan bertubuh besar.

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang