Raga Dan Mata Merah

515 74 14
                                    

Di bawah sebuah pohon besar yang berada dekat hilir sungai Kutai, Yena sedang mengumpulkan tanaman lumut yang melekat dibatu. Tadi pagi, dia dimintai tolong oleh Datuk Setyo untuk membantu mengumpulkan tanaman obat. Dan lumut ini merupakan salah satu tanaman yang harus ia cari.

“Aku sangat tak menduga, jika lumut seperti bisa jadi obat! Padahal aku sering menemui lumut ini disini,” gumam Yena saat mengumpulkan lumut batu dengan tangan kosong.

Saat ini perasaan Yena sudah cukup baik setelah dirinya diberi izin untuk melihat tempat dirinya ditemukan. Guna mencari sendiri keberadaan belati Songgoh Nyowo. Namun tentu saja belati itu tak bisa ia temukan. Yang bisa ia lihat, hanya sisa bercak darah yang sudah berubah menjadi warna hitam dan mengering. Tapi meski belati itu belum berhasil ia temukan, Yena masih merasa yakin jika belati itu ada disekitar sini. Dan setelah ia selesai mencari tanaman obat, dirinya berniat untuk mencari lagi keberadaan belati Songgoh Nyowo miliknya. Karena belati itu sungguh sangat berarti untuk dirinya.

Yena kembali melanjutkan pencariannya. Kali ini tanaman yang ia cari adalah taman yang cukup familiar untuknya. Dan sering ia temukan saat memasuki hutan. Yaitu daun Suruhan. Daun ini sering ia temukan. Dan tumbuh subur saat musim penghujan.

Tak butuh waktu lama bagi Yena untuk menemukan daun Suruhan ini. Terlebih lagi dia tahu dimana lokasi daun ini.

“Wah, ternyata cukup banyak daun Suruhan disini. Sepertinya aku bisa mengambil sedikit lebih banyak,” ucap Yena sendiri lalu mengambil beberapa daun Suruhan.

Setelah Yena selesai mengambil daun Surusan tersebut, tiba-tiba telinganya menangkap suara seorang pria yang terdengar seperti sedang berlatih. Yena yang penasaran berjalan pesan untuk melihat dari mana asal suara itu, dan siapa yang sedang bersuara.

Sampai dibalik pohon kalpataru yang tumbuh kokoh, Yena melihat Raga sedang berlatih ilmu bela diri seorang diri.

Raga melakukan beberapa gerakan silat dengan hanya memakai celana panjangnya. Bagian dadanya ia biarkan terbuka karena keringatnya mengucur cukup deras dibagian sana.

“Wah, dia benar-benar berlatih sangat keras. Tubuhnya sampai berotot seperti itu!” gumam Yena.

Beberapa saat Yena mengamati Raga berlatih ilmu bela diri, membuat dirinya jadi teringat akan pesan Siluman Merah dan niatnya untuk berlatih ilmu bela diri saat berada di desa Keputeh. Untuk meningkatkan kemampuannya serta memperbesar peluangnya untuk menang melawan kelompok perampok Penunggang Kematian.

Setelah puas mengamati, Yena berniat kembali ke Datuk Setyo untuk menyerahkan semua tanaman obat ini. Sekaligus ingin meminta kepada Datuk Setyo untuk melatinya ilmu bela diri. Namun baru mengambil satu langkah, Raga memanggilnya.

Yena berhenti dan berbalik ke arah Raga. Dirinya tak mengira Raga bisa menyadari keberadaannya.

Raga menghampiri Yena dengan sedikit berlari. Senyumnya tergurat meski nafasnya sedikit terengah-engah setelah berlatih.

“Sedang mengumpulkan tanaman obat?” tanya Raga.

“Iya, emm....” Yena memperhatikan Raga dengan tatapan bingung.

Raga yang sadar langsung memberi tahu namanya. Karena ini pertama kalinya keduanya bisa bertemu.

“Raga, namaku Raga Sujiwo. Panggil saja Raga, kalau Nona?” ucap Raga lalu balik bertanya.

“Yena.”

Raga terlihat senang saat mengetahui nama Yena.

“Nama yang cantik, sama seperti orangnya,” kata Raga tanpa ragu.

Yena hanya tersenyum tipis menanggapi pujian dari Raga.

“Ya sudah, aku akan kembali ke Datuk untuk menyerahkan tanaman obat ini. Kamu sebaiknya berlatihlah kembali,” kata Yena lalu berniat mengambil langkah pergi.

Tapi tangan Raga menghentikan langkah Yena.

Yena melihat tangannya yang digenggam oleh tangan besar Raga yang kokoh.

Raga cepat-cepat melepaskan tangannya. “Maaf, tanganku refleks. Em,,, boleh kita berbicara sebentar?”

**
Raga mengajak Yena ke hilir sungai untuk membersihkan wajah dan tubuhnya dari keringat. Air sungai Kutai yang jernih dan dingin mampu menyegarkan tubuh dan wajah Raga dengan mudah. Setelah selesai membasuh wajah dan tubuhnya, Raga mengeringkan wajah dan dadanya dengan kain baju. Yena mengamati Raga dari atas batu. Dirinya duduk disana sambil memperhatikan Raga yang kini tersenyum ke arahnya.

Setelah cukup yakin tubuhnya bersih dari keringat, Raga ikut duduk disalah satu batu yang ada di sisi Yena. Keduanya saling diam untuk beberapa saat. Memandang arah sungai yang mengalir cukup deras.

“Melihatmu berlatih tadi, aku lihat kamu orang yang bisa diandalkan. Apa kamu sudah lama menjadi murid Datuk Setyo?” kata Yena mengungkapkan penglihatannya sebagai orang awam yang belum mengetahui secara jelas dunia persilatan.

Raga tersenyum simpul, ia senang mendapatkan pujian itu dari Yena.

“Aku berlatih ilmu bela diri bersama Datuk Setyo sejak aku berumur 10 tahun. Jika boleh sedikit bercerita, sebenarnya aku ini anak pungut.”

“Anak pungut?” lirih Yena sedikit terkejut saat mendengarnya.

“Iya. Saat itu Datuk memungutku dari pinggir jalan. Karena kedua orang tua ku meninggal karena terkena sebuah penyakit langkah. Aku pun jadi yatim piatu saat itu dan hidup sebatang kara sebagai gelandangan. Dan untungnya, Datuk Setyo mau memungutku. Menyelamatkanku dari Kejamnya kehidupan.”

“Wah itu berarti–”

“Iya, Datuk Setyo, bukan hanya ku anggap sebagai guru atau penyelamat hidupku saja. Tapi juga sebagai seorang Ayah!” sela Raga dengan bangga.

“Emm...” deham Yena mengangguk. “Lalu sekarang, berapa umurmu?”

“Satu purnama lagi umurku akan genap 19 tahun.”

“Berarti sudah hampir 9 tahun kamu menjadi murid dan mengikuti Datuk Setyo. Itu bukan waktu yang singkat bukan? Tentunya kamu sudah cukup kuat untuk melawan penjahat.”

Raga tertawa kecil. “Kalau pendekar kelas bawah, aku masih sanggup mengatasinya. Tapi kalau pendekar tingkat menengah, aku rasa masih berimbang,” jelas Raga.

“Oh... Apa pendekar ada tingkatannya?” tanya Yena ingin tahu.

“Sebenarnya tidak juga sih, tapi kami para pendekar bisa mengukur tiap kemampuan lawan kami. Terutama bagi pendekar kelas menengah sampai Jawara.”

“Jawara? Aku seperti pernah mendengar kata itu. Apa jawara itu juga disebut pendekar?”

“Iya, Jawara adalah pendekar tingkat tinggi. Seorang pendekar bisa dikatakan sebagai Jawara jika mampu mengungguli kekuatan pendekar-pendekar di satu wilayah, atau memiliki ajian sakti yang hebat.”

“Lalu untuk Datuk Setyo sendiri, sehebat apa dirinya?”

Raga sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan Yena. Karena kekuatan pendekar sejatinya harus dirahasiakan.

“Untuk itu aku sulit menjawabnya. Tapi yang pasti, guru Datuk Setyo adalah pendekar pengelana yang hebat! Hampir setiap pertarungan melawan pendekar aliran hitam, selalu dimenangkan oleh Datuk Setyo tanpa kesulitan.”

“Wah, kalau begitu, Datuk Setyo bukan pendekar sembarangan.”

“Begitu lah. Makanya aku sangat senang bisa menjadi muridnya. Aku harap, suatu saat aku bisa mengungguli kekuatannya! Dan menjadi seorang Jawara tersebut yang pernah ada!” seru Raga penuh semangat.

“Iya, aku yakin kamu pasti bisa.”

Raga semakin bersemangat mendengar Yena mendukungnya.

“Lalu apa alasan kalian berkelana? Bukankah itu sangat merepotkan? Aku membayangkannya saja merasa malas.”

Raga tertawa kecil mendengar penilaian Yena soal pendekar pengelana.

“Ya mungkin banyak yang berpikir demikian. Aku pun awalnya merasa sulit hidup berkelana seperti ini. Tak tentu arah dan tidak memiliki tempat tinggal yang nyaman. Tapi seiring berjalannya waktu, aku jadi terbiasa. Bahkan malai menikmati hidup seperti ini. Karena dengan berkelana, banyak pelajaran dan pengalaman yang bisa aku terima. Bahkan hal yang paling menyenangkan adalah, aku bisa mencicipi tiap masakan khas yang ada diseluruh daerah! Kalau kamu ikut dengan kami berkelana, kamu juga akan merasakan ini,” ucap Raga panjang lebar.

Bibir Yena tersenyum tipis. Tapi sorot matanya meredup.

“Mungkin aku tidak akan betah berkelana. Lagi pula, aku harus menemukan belatiku. Oh iya Raga, apa kamu tidak melihat belati tua yang aku pegang saat kamu menemukan aku?” tanya Yena yang baru teringat jika Raga lah yang menemukan dirinya pertama kali. Jika bertanya pada Raga, mungkin ada jawaban yang bisa memuaskannya.

Raga membuang pandangannya ke arah sungai.

“Tidak. Aku hanya melihat dirimu yang tergeletak dengan bermandikan darah. Aku sama sekali tidak melihat kamu membawa belati atau apa pun,” jawab Raga.

Yena menjadi kecewa. Padahal dirinya kira Raga pasti tahu akan belati Songgoh Nyowo miliknya. Namun ternyata, Raga sendiri tak melihat belati itu.

“Oh iya, aku dengar dari Datuk, kamu berasal dari desa ini.”

“Begitu lah. Desaku dibantai oleh perampok. Tak ada yang tersisa selain mayat dan rumah yang terbakar hingga menjadi arang. Yang tersisa, hanya dirku seorang,” jawab Yena yang sejatinya sudah malas berbicara.

Raga bisa merasakan bagaimana sedih dan pedihnya Yena saat ini.

Yena yang jadi memikirkan soal dimana belati Songgoh Nyowo miliknya berada saat ini, jadi sedikit melamun. Sampai-sampai dirinya tidak menyadari Raga yang telah duduk disampingnya. Yena baru menyadari Raga duduk disampingnya saat tangan Raga merangkul bahu Yena.

“Bisa kamu lepas tanganmu?” tegur Yena melihat tangan Raga mencengkeram lembut bahunya yang kecil.

“Ma-maaf, aku begitu mencemaskanmu sampai-sampai tak sadar,” kata Raga beralasan.

“Aku tahu. Terima kasih telah mencemaskanmu. Kamu pria yang baik, aku jadi merasa aman sekarang.”

Raga merasa sangat tersanjung mendengarnya.

Yena turun dari batu. “Aku akan kembali ke Datuk Setyo. Sebaiknya kamu berlatih kembali. Agar semakin kuat untuk melindungi aku,” kata Yena kemudian mulai berjalan meninggalkan Raga yang masih duduk diatas batu.

“Tenang saja! Aku akan menjadi lebih hebat lagi untuk melindungimu!” seru Raga dengan semangat yang bergelora. 

Dari tempatnya, Raga memperhatiankan Yena yang semakin menjauh, jantungnya berdebar kencang seperti akan meledak. Belum pernah dirinya merasakan jatuh cinta.

“Tubuhnya wangi sekali, aku harus memilikinya!” batin Raga lalu mencium telapak tangan yang ia gunakan untuk mencengkeram bahu Yena tadi.

Yena yang berjalan menjauh, merasa senang mendengar semangat Raga. Ia tersenyum sangat senang, sampai-sampai air liurnya menetes.

“Semakin kuat, maka akan semakin nikmat. Kamu akan menjadi hidangan yang manis,” gumam Yena lalu matanya berubah menjadi merah sesaat.

Apa kabar semua... Ku harap kalian sehat selalu.... Info terbaru untuk Legenda Belati Songgoh Nyowo, cerita ini akan diusahakan update setiap hari Jum'at. Minimal akan update 3 chapter.

Maaf kalau tidak bisa banyak-banyak update nya. Karena Author juga sibuk bekerja. Dan juga karena Author mengalami kecelakaan kerja hari rabu lalu. Jari author sobek dan mendapat 3 jahitan. Jadi agak sulit buat nulis.

Untuk 3 chapter awal ini ku harap kalian menikmatinya.

Bagikan cerita ini jika kalian suka dan jangan lupa likenya. Matur Nuwun....

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang