Makan Malam

422 53 1
                                    

Abra beserta batalion Harimaunya, baru sampai di pesarean Volka saat matahari hendak memasuki waktu senja.

“Saya Abra, Kapten dari batalion Hariamau, saya ingin bertemu dengan Ki Ade atas perintah Raja Mada!” kata Abra dengan penuturan tegas dan jelas pada penjaga gapura pesarean Volka setelah turun dari kuda yang ditungganginya.

“Baik Kapten! Mohon untuk tunggu sebentar,” kata salah satu penjaga yang kemudian bergegas masuk ke bale guna menemui Ki Ade yang sedang sembahyang.

“Maaf telah mengganggu Ki Ade bersembahyang. Di depan, ada Kapten Abra dari batalion Hariamau yang ingin bertemu dengan Ki Ade,” kata penjaga itu dengan sopan.

Ki Ade yang berusaha khusyuk dalam sembahyangnya, menurunkan kedua tangan dan menoleh melihat penjaga itu.

“Suruh mereka masuk, akan aku tunggu di Bale Pesarean,” kata Ki Ade.

“Baik, Ki.”

Penjaga itu segera kembali dan mempersilahkan pada batalion  harimau untuk memasuki wilayah pesarean. Penjaga itu juga mengarahkan Abra ke Bale untuk bertemu secara langsung dengan Ki Ade.

“Kedatangan pasukan besar batalion Hariamau, sungguh mengejutkan bagi saya. Kira-kira, Ada apa sampai Raja Mada meminta kapten datang jauh-jauh kemari?” tanya Ki Ade dengan suara yang agak serak.

“Kedatangan kami kemari untuk memeriksa makam Volka. Raja Mada ingin memastikan, apa mayat Volka masih ada atau tidak, Ki,” terang Abra menyampaikan tugas yang dijalankannya.

Ki Ade sedikit terkejut mendengar alasan batalion Hariamau datang kemari.

“Memeriksa?” celetuk Ki Ade dengan kening mengerut heran.

Ki Ade melihat pesarean Volka yang berada di tepi tebing. Selama ia menjaga pesarean besar ini. Tidak pernah ia merasakan ada yang aneh atau mendapat firasat buruk. Bahkan bentuk dan wujud pesarean itu pun, tetap sama dan selalu dijaga dengan ketat. Namun mendengar alasan Abra datang kemari atas perintah dari Raja Mada, tentu Ki Ade tak punya hak untuk menghalangi.

***

Dibantu penjaga pesarean lain, dan juga dua prajurit harimau, mereka mulai menggali makam Volka. Ki Ade dan Abra menyaksikan penggalian itu dengan raut muka serius.

Sekitar 2 meter penggalian menggunakan alat, sejumput kain yang digunakan untuk membungkus jasad Volka terlihat.

“Gali dengan lebih berhati-hati. Jangan sampai jasadnya terkoyak!” perintah Abra.

Perintah Abra dipatuhi dengan baik oleh prajurit dan penjaga makam yang menggali. Hingga akhirnya semua kain yang membungkus tubuh Volka telihat, barulah bau menyengat khas bangkai tercium. Membuat semua orang menutup hidung mereka rapat-rapat.

“Bawa jasad itu ke atas!” perintah Abra lagi.

Segera jasad itu dikeluarkan dari dalam liang lahat. Bau busuk dan juga amis semakin tercium kental dan sangat menyengat hingga membuat nafas menjadi sesak.

“Apa ada kain lebih untuk membungkus jasad ini, Ki?” tanya Abra pada Ki Ade.

“Ada Kapten,” jawab Ki Ade lalu memerintah salah satu anak buahnya untuk mengambil beberapa kain di ruang penyimpanan belakang.

Sambil menunggu penjaga yang diperintah Ki Ade kembali, Abra melihat selidik liang lahat yang baru tergali itu. Dan beberapa saat mengamati dengan teliti. Matanya yang jeli melihat satu keanehan.

Abra segera turun dan melihat lebih dekat temuannya. Ki Ade yang tetap berada di atas, membiarkan Abra memeriksa, karena ia sendiri tak melihat ada hal aneh di liang lahat tersebut.

Tangan Abra menggali bagian sudut liang lahat yang sebelumnya bagian ini merupakan posisi kepala Volka berada.

Baru menggali sedikit, tiba-tiba bagian yang ia gali itu ambrol kebawah. Membuat Abra terkejut dan langsung mundur selangkah. Dan dari ambrolnya tanah itu, terlihat sebuah celah yang ukurannya seukuran tubuh manusia dewasa.

Semua orang yang mengetahui akan hal itu sangat terkejut.

“Lubang apa itu, Kapten?!” tanya Ki Ade teramat terkejut.

Abra tak menjawab dan naik ke atas.

“Apa Ki Ade tidak tahu mengenai hal ini? Atau mungkin Ki Ade pernah melihat ada orang yang mencurigakan yang terlihat masuk ke pesarean ini?” tanya Abra cemas.

“Sa-saya benar-benar tidak tahu soal hal ini, Kapten! Saya berani bersumpah atas nama leluhur dan keturunan saya! Dan saya juga tak pernah mengizinkan siapapun untuk sembarangan masuk ke pesarean ini. Kecuali jika ada urusan penting yang ada kaitannya dengan perintah Raja Mada. Saya tidak pernah mengizinkan siapa pun Kapten!” jawab Ki Ade dengan wajah pucat dan berkeringat dingin.

Abra tak mendesak atau meragukan pengakuan Ki Ade. Tapi dirinya juga tak bisa percaya seratus persen pada ucapan Ki Ade.

“Siapkan kereta. Kita bawa jasad ini ke kerajaan!” perintah Abra para pasukannya.

Segera, pasukan harimau membawa jasad itu menuju kerajaan tanpa mempedulikan aroma bangkai yang akan menemani perjalanan mereka.


***

Malam sudah datang saat Yena, Raga dan Datuk Setyo berkumpul untuk makan malam bersama.

“Wah, sudah lama sekali kita tidak makan daging kijang seperti ini! Kau pintar sekali bisa menemukan hewan ini di sini!” puji Datuk Setyo pada Raga.

Raga hanya tersenyum senang mendengar pujian itu. Meski sebenarnya pujian seperti ini sungguh biasa baginya. Kecuali pujian karena bisa mengalahkan lawan yang kuat.

Disela dua pria itu berbincang tentang daging kijang yang baru selesai dipanggang di atas api, Yena hanya memperhatikan daging kijang itu dengan tatapan yang entah bagaimana harus dijelaskan.

“Yena? Kenapa kamu diam saja? Ayo makan, ini daging kijang muda. Sangat enak dan lezat!” ucap Datuk Setyo saat menemukan Yena yang masih diam saja dan belum menyentuh daging kijang itu.

“Aku sebenarnya tidak bisa makan daging, Datuk. Aku lebih suka jika makan sayur atau buah-buahan saja,” kata Yena yang sebenarnya ia sedang menyembunyikan sebuah rahasia yang tidak diketahui Datuk Setyo dan Raga, soal dirinya yang hanya bisa makan daging mentah dan minum darah segar saja.

Raga terlihat heran mendengar pernyataan Yena. Ia menoleh ke arah Datuk Setyo dengan mulut penuh daging kijang.

“Aku baru kali ini mengetahui ada orang yang tidak bisa makan daging. Apa kamu sakit?” tanya Raga pada Yena.

Yena tersenyum tipis. “Tidak, dari dulu aku memang begini,” ungkap Yena.

“Jika memang tidak bisa makan daging, mau bagaimana lagi. Raga, carikan buang pisang untuk Yena! Kalau tidak salah dibagian barat desa ini ada kebun pisang. Pergilah kesana dan ambillah beberapa untuk Yena,” perintah Datuk Setyo.

“Ah, tidak perlu repot-repot, Datuk. Aku tidak begitu lapar, jadi tidak perlu mengambilkan aku pisang. Aku akan makan besok saja,” tolak Yena.

“Siang tadi, aku tidak melihatmu makan apa-apa. Apa kamu tidak merasa lapar?” tanya Raga, heran.

“Aku tidak lapar sama sekali. Dari dulu, aku ini memang jarang makan, aku pernah seharian tidak makan. Makanya, tidak perlu repot-repot mengambilkan aku pisang dihutan. Jika aku lapar, aku bisa mencari makan sendiri kok, kalian tenang saja,” terang Yena guna meyakinkan mereka lagi.

Datuk Setyo dan Raga hampir percaya dengan ucapan Yena, sebelum akhirnya suara perut Yena yang berbunyi cukup keras membuatnya tak lagi bisa berkilah.

Yena menggigit tepi bibirnya, ia begitu kecewa dengan perutnya yang mendadak berbunyi. Dirinya akui dia sangat kelaparan seharian ini. Melihat kijang bakar yang lezat dan memunculkan aroma yang lezat membuatnya tersiksa untuk ingin memakannya. Namun, kutukan belati Songgoh Nyowo membuatnya tak bisa memakan daging kijang itu. Alhasil, dirinya hanya bisa menahan diri sambil merasakan rongga mulutnya yang tak henti terasa basah oleh salivanya sendiri.

Tanpa menunggu persetujuan dari Yena, Raga langsung menuju ke hutan untuk mengambil pisang.

“Sambil menunggu Raga kembaki, minumlah air putih ini dulu, agar perutmu tidak sakit,” ujar Datuk kembali melanjutkan makannya.

“Iya Datuk, terima kasih,,” sahut Yena. Namun gelas minum yang terbuat dari bambu itu hanya dipegangnya tanpa sedikit pun ia minum air dalam gelas itu.

“Padahal daging kijang ini sangat lembut dan enak. Tapi sayang sekali kamu tidak bisa memakannya," kata Datuk Setyo.

Yena hanya tersenyum kecut mendengar perkataan Datuk Setyo, dirinya sendiri sangat ingin merasakan daging itu. Ia begitu rindu akan rasa gurih dan nikmatnya daging bakar. Tapi sekali lagi, ia tidak bisa melakukannya. Lidahnya sudah terbalik.

Diam-diam, Datuk Setyo memperhatikan wajah Yena. Ia melihat, bahwa Yena sebenarnya sangat ingin memakan daging kijang itu. Dari cara Yena menelan salivanya dan melihat lekat daging kijang dihadapannya ini, menunjukkan jika Yena sangat ingin memakannya.

Jika Yena memang tidak bisa memakan daging seperti yang dia katakan, tentu saja cara Yena memandang daging kijang itu, tidak akan selekat ini. Malahan seharusnya ia merasa tidak nyaman menatap daging kijang itu.

Tapi penilaian matanya ini hanya ia simpan sendiri dan tidak ia bicarakan dengan Yena.

Hanya berselang 5 menit, Raga akhirnya kembali dengan membawa secengkeh pisang hijau yang telah masak.

“Ini! Aku menemukan pisang Hijau! Pisang ini sangat enak dan pastinya sudah matang. Aku sudah mencicipinya tadi! Makanlah!” seru Raga dengan senyum lebar yang penuh pengharapan agar Yena mau menerima dan memakannya.

Yena menerima pisang itu dengan ragu. Ia melihat bahwa pisang ini memang sudah matang. Tapi tetap saja, ia tidak bisa memakan pisang ini.

“Makanlah, Raga sudah susah payah mengambil pisang itu untukmu!” kata Datuk Setyo.

“I-iya, Datuk," sahut Yena ragu.

Yena mengambil satu pisang dan mulai mengupas kulitnya satu persatu. Aroma pisang yang manis, bisa ia rasakan dirongga hidungnya. Menunjukkan bahwa pisang ini benar-benar sudah masak dari pohonnya. Tapi, tetap saja, lidahnya tak akan membiarkannya merasakan rasa pisang yang semestinya.

Namun, bagaimana dirinya bisa menolak untuk tidak memakan pisang ini? Tak ada lagi cara untuk menolaknya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah berusaha memakan satu buah pisang ini. Sambil menahan rasa tak enak yang akan ia rasakan.

Yena memejamkan matanya sesaat, lalu menggigit pisang itu sedikit. Tanpa berlama-lama, rasa daging bangkai yang sangat busuk langsung memenuhi rongga mulutnya. Membuat dirinya tak bisa menahan pisang itu lebih lama dimulutnya.

Huekk!!! Yena memuntahkan pisang itu segera. Wajahnya dengan cepat memerah dan matanya berkaca-kaca.

Raga yang terkejut segera mendekati Yena untuk membantu. Sedang Datuk Setyo terlihat tenang ditempatnya. Dia duduk sambil memperhatikan wajah Yena yang seperti orang sedang keracunan.

“Bawa dia ke kamarnya, mungkin tubuhnya masih lemah. Biarkan dia beristirahat. Aku akan membuatkan bubur obat untuknya,” kata Datuk Setyo setelah beberapa detik membiarkan Yena kepayahan.

Raga segera melaksanakan perintah Datuk Setyo. Dan membopong tubuh Yena menuju kamar.

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang