Iblis Berkulit Dewi (bagian 1)

341 34 0
                                    

Yena sedang berusaha mempertahankan kuda-kudanya. Keringatnya merembas keluar di kening dan leher. Membuat sebagian tubuhnya menjadi basah karena keringat.

"Lebarkan lagi jarak kakimu!" kata Datuk Setyo dengan hati-hati. Dirinya takut saat melatih Yena, iblis yang ada di tubuh Yena bangkit.

Diambang mempertahankan kuda-kuda yang baru dipelajarinya, Yena merasa cukup berat dengan latihan dasar ilmu bela diri. Dirinya tidak menyangka untuk menjadi seorang pendekar harus seberat ini.

Beberapa saat kemudian, Yena tidak bisa mempertahankan keseimbangan kuda-kudanya. Sehingga dirinya jatuh mundur ke belakang.

Di kejauhan, Raga yang diam-diam memperhatikan Yena, tersenyum geli saat melihat Yena jatuh dari kuda-kudanya.

Datuk Setyo mengarahkan Yena untuk melakukan kuda-kuda kembali. Yena yang merasa tak sanggup, ingin menolak perintah Datuk Setyo. Tapi dengan tegas Datuk Setyo menolak permintaan Yena.

"Dunia ini begitu kejam. Kalau kamu dengan berlatih seperti ini saja menyerah, bagaimana kamu bisa melindungi dirimu sendiri?! Bagaimana kamu bisa melindungi orang lain? Tanah Nusantara saat ini sedang tidak dalam keadaan stabil. Kejahatan yang besar di luar saja sedang bangkit. Kalau kamu tidak kuat, kamu hanya akan merasakan penyesalan. Kamu sudah mengalaminya dengan desamu ini. Apa kamu masih akan mengulanginya lagi?" tutur Datuk Setyo. Berharap Yena yang sebenarnya tahu, maksud dirinya melatihnya ilmu bela diri, bukan lain bukan tidak untuk melindungi sesama. Bukan untuk merusak apalagi membunuh orang tak bersalah.

"Aku harap dirimu bisa menekan dan mentakhlukkan roh jahat di dalam dirimu. Karena firasatku keadaan akan menjadi buruk jika roh itu benar-benar menguasai semua tubuh dan kesadaranmu!" batin Datuk Setyo.

Yena kembali bangkit dan menguatkan tekadnya dalam berlatih. Dari pagi sampai sore menjelang, dirinya terus berlatih hingga tubuhnya tak kuat lagi berdiri.

"Hari ini kamu sudah berjuang dengan gigih. Latihannya cukup sampai sini dulu. Kamu bisa beristirahat, agar besok tubuhmu segar kembali untuk berlatih," kata Datuk Setyo pada Yena yang sedang tergeletak sambil mengambil nafas banyak-banyak.

Yena tak menjawab, mulutnya terlalu sibuk mengambil udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya.

Selepas Datuk Setyo meninggalkan Yena sendiri, Raga datang. Dia membawa segelas air untuk Yena.

"Kamu berlatih sangat keras, sampai tidak makan dan minum. Ini! Aku bawakan minuman dari sungai. Masih segar!" kata Raga dengan senyum lebarnya.

Mata Yena yang sayup karena terlalu letih melihat senyum yang Raga pancarkan.

"Terima kasih. Nanti akan aku minum," kata Yena terengah-engah.

"Kenapa harus nanti? Minumlah sekarang, agar tubuhmu segar dan agar pernafasanmu bisa cepat pulih," bujuk Raga.

"Aku sedang tidak ingin minum. Jadi letakkan saja. Nanti akan aku minum."

Raga merasa heran. Melihat bagaimana letihnya Yena, nafasnya yang ngos-ngosan dan keringat yang membasahi hampir semua bajunya, tentu Yena harusnya merasa kehausan.

"Apa kamu enggak haus?" tanya Raga.

Yena menggeleng. Sebenarnya dirinya merasa dirinya merasa heran dengan dirinya sendiri. Sejak mengonsumsi daging mentah dan darah, dirinya jarang merasa haus atau lapar. Dalam keadaan seperti ini pun dirinya tidak merasa begitu haus. Hanya sedikit.

"Baiklah kalau begitu, aku akan menyiapkan makan malam. Oh iya, aku lupa bertanya, perutmu sudah baik, kan? Bagaimana kalau aku bawakan makanan kesukaanmu? Kamu mau di bawakan apa? Biar aku carikan untukmu."

"Tidak perlu. Aku akan mencari makan malamku sendiri."

"Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu."

Yena bangkit dari tidurannya selang beberapa menit Raga pergi. Dirinya lalu duduk bersila dan menutup kedua matanya. Dengan perlahan, dirinya mulai mengambil dalam-dalam lalu di hembuskan pelan. Berulang kali Yena melakukan itu. Hingga setelah melakukan pernafasan dalam sebanyak 10 kali, tubuhnya mengeluarkan uap putih yang tipis. Seluruh tubuh Yena menjadi hangat. Dan perlahan tubuhnya terasa begitu ringan. Sakit-sakit yang ia rasakan di persendian usai latihan juga sembuh.

"Ini adalah ilmu nafas petapa. Dengan ilmu ini, kamu bisa menyembuhkan sakit di tubuhmu. Dan juga sekaligus mengumpulkan tenaga dalam untuk memulihkan tenagamu. Dengan ilmu nafas petapa ini juga, kamu bisa membuat usiamu lebih panjang. Setahun dirimu bertapa dengan nafas petapa ini, umurmu akan bertambah dua tahun," kata Sri Ajeng lewat pikiran Yena.

Yena mengangguk sekali untuk menanggapi ucapan Sri Ajeng. Dirinya tidak tahu apa dengan bekerja sama dengan Sri Ajeng dan mendengarkan semua arahan yang Sri Ajeng berikan bisa membuatnya mencapai tujuannya untuk menghidupkan keluarganya lagi atau tidak. Tapi yang pasti hanya Sri Ajeng satu-satunya hal yang bisa dia andalkan untuk saat ini.

Sebelum malam menjelang, setelah Yena duduk menggunakan nafas petapa selama hampir satu jam dirinya bangkit. Matanya sudah berubah menjadi merah sebelah.

"Malam ini target buruan kita akan berubah," kata Sri Ajeng sambil melihat ke arah Barat Daya.

"Berubah?"

"Iya, malam ini kita akan berburu siluman."

"Siluman?!" celetuk Yena sedikit terkejut.

"Iya."

"Apa siluman ular yang dulu pernah aku temui?" tanya Yena memastikan siluman seperti apa yang Sri Ajeng maksud.

"Siluman ular?" tanya Sri Ajeng sedikit todak mengerti.

"Iya, saat berjalan untuk menemukan Gunung Pengabdian, aku bertemu dengan seekor ular yang gelap dan sangat besar. Saat itu dia hendak menelan aku. Tapi untungnya aku di selamatkan oleh seorang pendekar."

"Di mana kamu menemukan ular itu?"

"Entahlah, aku tidak begitu ingat. Tapi yang pasti ular itu sangat besar."

Sri Ajeng sedikit berpikir untuk menduga siluman ular apa yang Yena temui. Untuk sesaat, Sri Ajeng mengira jika itu siluman ular Xeda.

***

Topan mengalami luka serius di lengan kanannya usai menahan serangan cakar dari siluman harimau. Membuatnya kini menjadi sulit memegang goloknya. Satu prajurit yang membantunya juga tidak bisa di harapkan. Dirinya terlalu takut. Seluruh prajurit penjaga desa yang berjaga di beberapa titik datang setelah Topan mendapatkan serangan serius.

"Di-dia besar sekali!"

"Apa ini yang namanya siluman?"

"Ketua?!"

Semua prajurit penjaga desa terlihat panik. Kebanyakan dari mereka takut bernasib tragis seperti Ketua Topan. Karena di pikiran mereka, Ketua Topan saja bisa di kalahkan. Apalagi mereka yang hanya prajurit desa biasa. Yang kemampuannya hanya sebatas pendekar kelas bawah.

"Jangan gentar! Satukan kekuatan kalian untuk melindungi desa ini!" Seru Topan.

Semua prajurit berusaha untuk tegar, namun tatapan tajam dan aura mencekam yang siluman itu tunjukkan, membuat mereka tetap gemetaran.

Siluman harimau yang tak mau berlama-lama menghabisi Topan, segera bersiap untuk melanjutkan serangan kedua. Serangan yang pastinya akan lebih mematikan dari sebelumnya. Karena saat ini pertahanan dan serangan Topan sudah tidak seefektif sebelumnya.

Kuku-kuku tajam itu di keluarkan dari tempatnya, gigi taring yang panjang dan tajam itu di perlihatkan. Membuat Topan makin sadar akan akhir hidupnya. Dan dalam sekejap waktu yang melesat cepat. Siluman harimau itu melesat dan melompat saat jarak terkamnya sampai.

Topan yang tak mau mati sia-sia berusaha memberi serangan terakhirnya. Golok yang dipegang dengan gemetar itu dihunuskan ke arah perut siluman harimau. Namun saat ujung goloknya menyentuh perut itu, golok itu patah. Dan taring siluman harimau berhasil menggigit leher Topan dan mematahkan lehernya dalam satu kali gigitan.

"Perlu kalian tahu, senjata biasa tidak akan bisa menembus kulitku!" ucap Siluman Harimau dengan masih menggigit leher Topan.

Tak lama setelah berkata demikian, seorang wanita turun dari langit dan mendarat tepat di atas siluman harimau itu sambil menusukkan sebuah belati.


Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang