Setelah mengembalikanku ke rumah dan memerintahkan beberapa pelayan untuk membersihkan serta membantuku bersiap untuk pindah ke istana, Dante tidak terlihat lagi. Hal bagus, tentu saja.
Yang menjemputku adalah Agas. Orang itu lantas mengantarku ke Istana Soma, 'menyerahkanku' pada seorang kepala pelayan untuk diantar ke kamar. Omong-omong, aku membawa serta Hanum untuk berjaga-jaga.
Kepala pelayan menjelaskan beberapa peraturan dasar istana, lalu mempersilakanku untuk beristirahat. Aku menggunakan waktu itu untuk merenungi nasib, betul-betul merasa sial dan khawatir. Tanganku menyentuh leher yang dibalut kasa, merinding saat mengingat kejadian di hutan tadi. Lihat, kan? Dante lebih dari mampu untuk menebas leher seseorang tanpa berkedip.
Aku membuang napas panjang. Bisakah aku memercayai omongan Dante? Ia bilang akan melindungiku selama aku bersedia membantunya.
Namun, masalahnya, orang itu sangat tidak tertebak dan aneh.
Terlalu larut dalam perang batin, tanpa kusadari matahari sudah kembali ke peraduannya. Seseorang mengetuk pintu kamar dan memanggilku untuk makan malam. Para pelayan Istana Soma serta Hanum meriasku sederhana, merapikan rambutku, lantas mengantarku menuju ruang makan yang sudah lengkap dengan berbagai jenis hidangan.
Istana dan kastil keluarga Yaki tidak ada bedanya. Sama-sama sepi dan hening.
Hubungan Yaki dan ayahnya—Adipati Wisesa—sangatlah kaku. Pria itu jarang berada di rumah, hanya memenuhi kebutuhan putrinya dengan tumpukan harta. Yaki kesepian dan tidak ada satu pun orang di kastil yang berani menegurnya jika ia berbuat salah, membuat Yaki kesulitan memilah mana hal baik dan buruk. Sewaktu bersekolah di akademi khusus bangsawan, Yaki tidak memiliki teman karena karakter dan temperamennya yang sangat buruk.
Aku di kehidupan nyata tidak terlalu berbeda dengan Yaki yang malang. Yang aku punya hanya Mama, tapi wanita itu terlalu sibuk bekerja dan jarang pulang ke rumah, tapi aku mengerti kalau ia melakukan itu demi kebaikanku. Mama adalah tulang punggung keluarga, manusia terkuat yang pernah kukenal.
Aku terlalu tertutup untuk bersosialisasi secara normal dengan anak seumuranku. Selain itu, aku juga sering mendengar desas-desus soal betapa judes dan galaknya aku ini. Padahal aslinya aku sangat mudah menangis karena hal kecil. Mayoritas, sih, disebabkan oleh drama Korea.
Dipikir-pikir lagi, karakterku dan Yaki sangat mirip. Yang membedakan adalah, Yaki lahir di keluarga kaya yang membuatnya memiliki pikiran bahwa ia bisa melakukan segala hal tanpa harus peduli dengan konsekuensi karena nantinya juga akan diurus tuntas oleh sang ayah, sedangkan aku tidak bisa begitu. Aku kerap menahan emosi hanya karena rentetan kemungkinan konsekuensi yang berpotensi memberatkan Mama.
Ada kalanya aku iri dengan keberanian dan keimpulsifan Yaki. Ia selalu berterus terang dengan isi kepalanya, tidak memedulikan opini orang lain terhadapnya, serta gigih dalam mencapai apa yang ia inginkan. Yakira Tazanna bukan pengecut sepertiku.
Mendadak aku rindu Mama. Bagaimana kondisi Nousha asli di sana? Apa benar jiwa Yaki terjebak di tubuh asliku? Apa Yaki menyakiti Mama?! Bagaimanapun, perempuan itu sama gilanya dengan Dante. Pikiran itu berhasil menyurutkan napsu makanku.
"Saya mau berjalan-jalan keluar," kataku pada para pelayan. "Makanannya bisa dibereskan." Hanum sudah hendak mengikuti langkahku, tapi aku langsung melarangnya. Aku ingin sendirian.
"MANA?! MANA CALON KAKAK IPARKU?!" Teriakan heboh itu membuat langkahku terhenti. Dari pintu utama, seorang perempuan muda dengan ujung gaun diangkat tinggi muncul. "Yaki!" Ah, sudah pasti Ran. Aku masih membatu di tempat, membiarkan Ran memelukku erat. "Kata Dante, kamu akan tinggal di istana mulai sekarang?!" Mata bulat itu berbinar penuh harap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle