xlii. conflict

27.2K 3.7K 177
                                    

Setelah kupikir-pikir, Gaz adalah variabel tidak terduga yang kehadirannya tak terencanakan. Aku tidak pernah merancang nama atau karakternya, tapi nyatanya ia ada, hidup. Aneh sekali.

Namun aku mensyukuri variabel tidak terduga itu. Gaz adalah teman yang menyenangkan. Secara mengejutkan, interaksi kami menjadi semakin intens. Kecanggungan Gaz sudah jauh berkurang dan itu membuatku merasa lebih nyaman berada di dekatnya. Gaz juga rutin mempelajari etika sebagai anggota keluarga kerajaan dan menjadi semakin pintar setiap harinya. Well, pada dasarnya, Gaz bukan orang bodoh. He's a fast learner.

"Aku tidak suka."

"Apa?"

"Aku tidak suka kamu terlalu dekat dengan Gaz." Ucapan Dante berhasil membuatku tersedak teh yang tengah kutenggak.

Aku mencoba mencerna kalimatnya sebelum tertawa pelan. "Kamu cemburu dengan saudara kembarmu sendiri?"

"Aku tidak cemburu." Dante mendengus sebelum mengalihkan mata. "Aku tidak mau ada rumor aneh tersebar di istana."

Aku mencebikkan bibir. "Gaz orang baik. Aku senang berteman dengannya."

"Tapi dia adalah seorang pria dewasa yang memiliki naluri," hardik Dante tegas. "Apa kamu bisa bertanggung jawab jika suatu hari dia jatuh hati padamu?"

"Mana mungkin?!" sanggahku cepat dengan kedua alis mendekat. "Gaz dan aku tidak lebih—"

"Ya, itu menurutmu." Dante memotong sembari melipat kedua lengan di depan dada. "Aku mengenal baik tatapan macam apa yang diberikan Gaz untukmu. Jangan terlalu naif."

Aku terdiam, menimbang ucapan Dante. Gaz? Jatuh cinta padaku? Tidak masuk akal. Aku memilih tidak mendebat Dante lebih jauh saat Agas muncul dan membisikkan sesuatu di telinganya. Untuk sesaat, aku dapat melihat perubahan raut di wajahnya. Rahangnya mengeras, disertai kilatan amarah di kedua matanya.

"Ada apa?" tanyaku penasaran.

Dante beranjak berdiri. "Aku harus pergi."

"Ikut!"

"Tidak."

"Kenapa?!"

Si Brengsek Dante tidak memberi jawaban dan meninggalkanku begitu saja. Sial. Kenapa perasaanku mendadak tidak enak?

*

Perselisihan dengan Kerajaan Geroa sudah bukan hal baru lagi bagi Aptanta. Selama tiga generasi—termasuk masa kepemimpinan Raja Ekata—keduanya memilih melakukan gencatan senjata dan tidak menyentuh masing-masing wilayah.

Namun semenjak putra mendiang Raja Delta naik takhta sejak tiga tahun lalu, perselisihan yang sudah sejak lama terkubur itu kembali muncul ke permukaan, mulai dari hal kecil seperti melewati perbatasan secara ilegal dan mencuri sumber daya Aptanta hingga yang paling tidak bisa Dante tolerir dan baru terjadi pagi tadi, orang-orang Gorea menculik ratusan perempuan muda dari desa untuk dibawa dan dijadikan budak.

Dan untuk itu, Dante secara personal mengundang Nawasena Osadha untuk menemuinya.

"Saya tidak akan berbasa-basi." Dante berujar setelah mengusap tepi bibirnya dengan serbet. "Berhenti mengusik Aptanta atau saya akan bertindak."

Sena tersenyum kecil, sama sekali tidak terlihat intimidasi. "Anda ingin mendeklarasikan perang?"

"Bukan tidak mungkin jika Anda terus membuat saya marah." Dante membalas dengan ketenangan yang sama. "Mengerti?"

Interlude; The UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang