Yaki harus mengucek matanya sendiri untuk memastikan pemandangan saat ini. Gaz terlihat sangat berbeda dengan pakaian ala pangeran serta rambut ditata ke atas seperti itu.
Si Cupu—yang saat ini tidak terlihat cupu—berdiri tepat di sebelah Dante dengan punggung tegak dan tatapan menyorot lurus pada seluruh tamu yang hadir.
"Nama saya Gazka Abednego Loka Agrapana," kata Gaz dengan suara lantang. "Saya yakin kalian sudah bisa menebak asal-usul saya. Ya, saya merupakan adik kandung Yang Mulia Raja."
Ribut-ribut dari seantero ruangan kembali berkumandang. Fakta yang ada terlalu tidak masuk akal dan mengejutkan, tapi mereka juga tidak berdaya untuk mencari argumen logis perihal rambut pirang Gaz—satu-satunya ciri fisik yang membedakan anggota keluarga kerajaan, lebih tepatnya keturunan langsung Raja Agrapana I, dari kaum awam.
"Saya berdiri di sini untuk mengonfirmasi beberapa hal," ujar Gaz, meredam semua suara. "Apa yang disampaikan Yang Mulia benar adanya. Ratu Mirai menjadikan saya sandera selama belasan tahun, lalu meninggalkan saya di depan kuil dan melupakan tanggung jawabnya sebagai orangtua. Saya diasuh oleh para biarawati dan selama itu juga, saya harus menyembunyikan rambut asli saya. Nama yang saya sandang saat ini diberikan oleh Pendeta Utama, karena selama sebelas tahun hidup bersama wanita itu, dia hanya memanggil saya dengan sebutan 'anak sialan.' Satu-satunya hal yang saya ingat tentang Ibu hanyalah betapa kuat tenaganya saat melayangkan pukulan pada sekujur tubuh saya."
Mata Yaki memanas. Dan ia berani jamin bukan hanya dirinya yang kini dibanjiri iba.
"Kalau benar begitu, kenapa Anda tidak pernah berpikir untuk kembali ke istana dan menemui keluarga Anda sejak lama, Pangeran?"
"Jawabannya sesederhana; saya tidak memiliki informasi perihal identitas asli saya." Gaz menarik napas panjang, mencoba menetralkan degup jantungnya yang menggila. "Ibu tidak pernah menceritakan apa pun kepada saya." Kebohongan itu dirancang oleh Dante. Gaz tidak tahu apa tujuan kakaknya, tapi ia tidak memiliki pilihan lain selain setuju.
"Apa benar Anda diperlakukan dengan baik, Pangeran?" Kening Yaki mengerut begitu mendapati—lagi-lagi—Garda melontarkan pertanyaan yang seolah meragukan kejujuran Dante.
"Yang Mulia tidak mungkin berbaik hati memperkenalkan saya pada publik jika beliau berniat menyingkirkan saya, Tuan." Kali ini jawaban Gaz murni atas improvisasinya sendiri. Terdengar terlalu percaya diri hingga sebersit rasa takut muncul di benaknya. Bagaimana jika Dante tidak menyetujui jawaban barusan dan marah kepadanya?
Tubuh Gaz menegang begitu pundaknya dirangkul dan ditarik ke belakang oleh Dante. "I suppose that's enough. Kalau kalian masih memiliki pertanyaan, kalian bisa langsung menghadap saya."
"Ada rumor yang mengatakan Anda melakukan perjanjian dengan iblis, Yang Mulia."
Dante mengarahkan telunjuknya untuk mengusap alis. Ia mengulum senyum. Ini saat-saat yang ditunggunya. "Selama belasan tahun, Ayah tidak hanya duduk diam. Beliau mengerahkan prajurit terbaik Aptanta untuk mencari jejak Ratu Mirai. Namun orang-orang suruhan itu selalu berakhir mengenaskan. Kami berasumsi bahwa wanita itu dilindungi oleh kuasa kegelapan. Kalau ada pihak yang melakukan perjanjian dengan iblis, it must be her. Segala kekacauan yang terjadi di Aptanta disebabkan oleh wanita gila itu. Mulai dari kasus anak-anak hilang, hingga munculnya wabah mematikan."
"Jadi maksud Anda, Ratu Mirai .. telah melakukan perjanjian dengan iblis?" Ada kengerian dalam pertanyaan tersebut.
"Ya. Satu-satunya cara untuk menghentikan musibah ini adalah dengan memutus kontak antara iblis dan pihak yang bersangkutan. Dengan cara apa?" Gaz meremas kedua tangannya gugup, sementara Dante menjentikkan jari. "Menghabisi nyawanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle