Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat tatapan Ilse jatuh pada tangan Dante yang melingkar di pinggangku. Well, salahkan Dante dan sikap 'sok' posesifnya itu. Dan berhubung saat ini emosi Yaki lebih mendominasi dan membuatku sangat ingin menunjukkan kepada dunia kalau Dante sudah menjadi milikku seorang, maka aku membiarkan saja ia bertindak semaunya.
"Selamat datang." Dante tersenyum ramah, sisi yang selalu ia tunjukkan di depan semua orang.
Johanes Pranaja sekeluarga berdiri untuk membungkuk hormat, lalu kami berakhir duduk di sofa yang terletak di ruang tamu. Aku dan Dante duduk bersebelahan, tepat di seberang Ilse yang diapit dua orangtua angkatnya.
Sementara Dante terlibat pembicaraan mengenai politik dengan Johanes, aku dan Ilse hanya saling menatap dengan canggung.
Aku memaksakan senyum, yang dibalas Ilse dengan cengiran manis. Aku melirik teh jahe di gelas yang dihidangkan khusus untukku, mengernyit tidak suka. Aku benci jahe.
"Ilse, bagaimana jika kita bertukar minum?" Ya, teh yang dihidangkan untukku dan Dante berbeda dengan para tamu. Mereka dijamu dengan teh mawar biasa. "Itu pun kalau kamu tidak memiliki masalah dengan jahe."
"Tentu saja, Yang Mulia." Ilse menyodorkan gelas tehnya yang belum tersentuh, begitu juga aku.
"Apa kamu tahu betapa mahalnya teh jahe itu?" Bisikan Dante tidak kuhiraukan.
Semua baik-baik saja, hingga Ilse terbatuk-batuk dramatis yang tadinya kukira hanya disebabkan akibat tersedak. Namun kondisi semakin parah saat Ilse terlihat kesulitan bernapas dengan wajah membengkak parah.
Aku memekik terkejut, pun halnya yang lain.
"Panggil tabib!!" Dante berseru, tetap berusaha mempertahankan ketenangannya.
Sambil menunggu datangnya tabib, Dante melakukan pertolongan pertama dengan memberikan napas buatan bagi Ilse.
Terlepas dari segala rasa panik yang kurasakan, aku tidak bisa bohong kalau ada panas dan sesak di dadaku saat ini. Yaki sialan. Tidak bisakah ia muncul di waktu yang lebih tepat dan kondusif?
Tabib datang dan memeriksa kondisi Ilse yang direbahkan di atas sofa. "Sepertinya Nona Ilse memiliki alergi terhadap kandungan teh yang baru ia minum."
Mataku membulat. "Ilse memiliki alergi terhadap jahe?!"
Tabib itu mengiakan. "Untungnya Nona Ilse tidak mengkonsumsi teh tersebut dalam jumlah banyak, kalau tidak bisa berakibat fatal dan menyebabkan kematian." Tubuhku terhuyung ke belakang yang dengan sigap ditahan oleh Dante. "Saat ini Nona Ilse hanya butuh meminum obat secara rutin dan beristirahat dengan cukup. Proses pemulihannya kurang lebih dua minggu."
Dan dengan begitu, kami—lebih tepatnya aku—memutuskan untuk membiarkan Ilse tinggal di Istana Soma selama masa pemulihannya dan mendapatkan pengobatan intensif dari tabib istana.
"Bukan salahmu, Nou."
Aku masih murung. Kata-kata Dante sama sekali tidak membantu. "Aku hampir membunuhnya, Dante! Bagaimana bisa itu bukan salahku?"
Saat ini kami berada di atas menara jam. Iya. Menara yang dulu pernah kusebut-sebut sebagai latar ikonik bagi Dante dan Ilse.
"Tadi aku sempat berpikir kalau Ilse menenggak racun. Dan kamu tahu apa hal pertama yang melintas di pikiranku?"
"Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle