xlv. the end of us

58.2K 5.1K 448
                                    

prepare yourself!

*

"Yang Mulia!" Aku berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya di langit-langit kamar, lantas berpaling pada Gaz yang kini dirambati kekhawatiran. "Kita harus segera pergi!"

Aku bangkit, masih merasakan pusing pada kepala. "Ada apa?"

"Istana diserang oleh pasukan Geroa. Sepertinya Raja Dante dijebak."

Jantungku melengos tajam. "Apa? Lalu bagaimana kondisi Dante saat ini?"

"Tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan orang lain, Yang Mulia. Saya harus membawa Anda pergi dari istana ini." Gaz menatapku sungguh-sungguh. "Bagaimana kondisi Anda? Apa Anda sanggup berjalan?"

Aku mengangguk, segera beranjak dari kasur dengan bantuan Gaz. Gaz mengulurkan sepotong jubah untuk disampirkan pada bahuku, menaikkan tudungnya hingga kepala. Ia mengangguk sebagai pertanda kalau aku sudah siap untuk 'diselundupkan' keluar dari istana.

Gaz mengintip lewat pintu. "Mereka belum berhasil memasuki kawasan istana. Saya akan membawa Anda ke hutan lewat gerbang belakang, Yang Mulia. Ibu Ratu beserta Pangeran Nyx dan Tuan Putri sudah lebih dulu bergerak."

Kami mengendap dengan kewaspadaan tinggi. Gaz sesekali menengok ke belakang untuk memastikan keamanan kami. Dalam beberapa menit, kami tiba di gerbang belakang yang sudah tidak dilindungi oleh satu pun prajurit. Mereka pasti sibuk mempertahankan gerbang raksasa di wilayah depan.

Bahkan dari jarak sejauh ini, aku masih dapat mendengar suara ribut-ribut yang mengerikan.

"Kita akan baik-baik saja, Yang Mulia." Gaz memberiku senyum tipis yang menenangkan sebelum meraih tanganku untuk ia genggam. Kami berlari beriringan menembus kelamnya hutan yang dihiasi berbagai suara binatang liar. Bahkan cahaya matahari tidak dapat menembus rindangnya pepohonan.

Beberapa kali ranting tajam menggores kulitku, tapi ini bukan saat yang tepat untuk mengeluh. Nyawaku dan Gaz sedang di ujung tanduk. Aku mengeratkan genggaman pada tangan Gaz, memfokuskan pandangan ke depan. Napasku memendek, paru-paruku seperti terbakar, luka di sekujur tubuh semakin nyeri.

"Apa kita sudah aman?" tanyaku terengah.

"Kita akan bersembunyi di gua yang terletak di ujung sungai, Yang Mulia. Mereka menunggu kita di sana."

Aku dibuat menjerit begitu satu sosok muncul dari balik batang pohon, terlihat mengenaskan.

"Sayaka?" Gaz bersuara, mengernyit heran. "Apa yang terjadi?" Bahkan Gaz tidak bisa menyembunyikan kengerian dalam suaranya.

Kondisi Sayaka saat ini sangat memprihatinkan. Wajahnya dipenuhi luka gores dan lebam. Ia berdiri dibantu tongkat karena sebelah kakinya pincang—mungkin patah. Sayaka menyorot lurus ke arahku. Refleks, aku mundur dan menyembunyikan diri di balik punggung Gaz sebagai bentuk perlindungan.

"Anda yang menciptakan dunia ini, maka Anda juga yang harus mengakhirinya." Sayaka berujar tenang dengan suara parau.

Butuh beberapa detik untukku mencerna kalimat Sayaka. Mataku membulat sempurna. Aku maju mendekat, melupakan segala rasa takut yang sempat menyergap. "Apa? Bagaimana kamu bisa—"

"Tidak penting. Ini bukan saat yang tempat untuk bertukar cerita, Yang Mulia." Suara ketukan dari ujung tongkat Sayaka terdengar.

Aku menelan ludah yang terasa pahit. "Apa Dante baik-baik saja?"

"Tergantung keputusan Anda."

"Apa maksudmu?" tanyaku tak sabaran. Sungguh. Aku tidak memiliki waktu untuk basa-basi.

Interlude; The UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang